Tuesday, October 8, 2013

Kata Sudjiwo Tedjo Soal "Bahasa"

Rencana menghadiri bedah buku “Prahara Suriah”nya Dina Y. Sulaeman, senin kemarin (7/10/2013) saya malah bertemu Mbah Sudjiwo Tedjo. Berikut apa yang bisa saya catat,
kurang lebih seperti ini,
soalnya rekaman yang saya buat ga jelas.
-------------------

Sudjiwo Tedjo, sama-sama meyakini bahwa unsur budaya terpenting adalah bahasa. Jika bahasa rusak maka rusaklah kebudayaan suatu bangsa. Tema ini mewarnai sebagian besar isi buku yang baru saja ia terbitkan, “Dalang Galau Ngetwit” dan “Ngawur Karena Benar”. Keduanya merujuk pada persoalan yang sama.



Budayawan yang membintangi gala misteri “Kafir tidak diterima di Bumi” pada tahun 2004 ini mengaku bahwa Karni Ilyas hobi mengundangnya dalam ILC karena sudut pandang yang ia ambil senantiasa unik, ia mampu mencairkan suasana, berani mengambil sudut pandang yang bukan mainstream, walaupun ngawur tapi benar, katanya, sebagaimana judul bukunya itu.

Kedua buku yang baru saja ia terbitkan itu meski terlihat tak serius tapi sesungguhnya serius dan menyentuh akar persoalan, begitu kurang lebih kata orang-orang yang sudah membacanya. Yang memberikan endorsementnya pun bukan orang-orang sembarangan, yaitu tokoh sekaliber Mahfud MD yang seorang mantan ketua mahkamah konstitusi sebelum Akil, Ahmad Mustofa Bisri, Kang Abik sastrawan kenamaan dengan segudang karyanya yang berharga, Dewi ‘Dee’ Lestari novelis, dan lain-lain.

Kata Tedjo, orang Indonesia iki aneh, moso orang romantis dibilang galau, orang ngasih pendapat dibilang curhat, orang ingin tahu dibilang kepo, kapaaaan Indonesia ini bisa maajuuu???? Ia begitu semangat sambil melotot mengucapkannya. Audience yang memenuhi kursi di ruangan utama Pameran Buku Bandung 2013 itu pun riuh bertepuk tangan sembari tertawa lepas melihat aksinya itu. Belakangan saya tahu kalau kalimat-kalimat yang pernah saya share dari status seorang teman saya itu asalnya dari celetukan Mbah Tedjo di Twitter.

Singkat cerita audience puas dengan talkshownya itu. Sesungguhnya banyak fenomena-fenomena yang ia bahas di sana, dari skripsi hingga demokrasi, terkait ketololan-ketololan dan kekonyolan-kekonyolan manusia lainnya, terkait paradoks-paradoks yang ada dalam hidup ini.

Bermaksud meminta dukungan asumsi-asumsi terkait sesoalan kebahasaan yang telah lama saya bangun, di sesi pertanyaan saya kemudian bertanya, “Apakah menurut Mbah persoalan kekeliruan penggunaan bahasa ini menjadi akar kekacauan yang terjadi di sekitar kita? Lalu apa solusi yang menurut Mbah tepat?” “ya,” jawabnya. “Saya sedang menyusun sebuah esai terkait ini, begini…..” katanya, dengan gaya tutur dan gesturnya yang khas ia coba membangun imajinasi audience untuk juga memikirkan apa yang ia pikirkan. Katanya kurang lebih begini, ini khusus bagi seorang yang percaya bahwa bahasa itu muncul begitu saja. Saya pun tak mengerti sesungguhnya bagaimana proses pengajaran itu, atau barangkali Tuhan menitipkan memori tertentu dalam otak manusia sehingga menciptakan bahasa itu?? entahlah, wallaahu a'lam.

Begini, katanya, dulu…. Duluuu sekali…. sebelum manusia punya bahasa, sebelum manusia tahu kata (tekannya), Sebelum berdiri masjid-masjid, gereja, vihara……
Unsur Tuhan yang ada pada sepoi angin, riak air, lambay daun, cantik manusia, begitu disadari manusia. Dan manusia tahu cara mengaguminya, ia sadar Tuhan ada di sana, karena itu ia tahu cara menjaganya dari kerusakan, karena ia sadar jika tidak menjaganya maka rusaklah keseimbangan alam, enyahlah kekaguman padanya, hilanglah kenyamanan.

Namun, setelah ia menemukan ‘kata’, tahu cara menandai apa yang ia temukan dengan suara yang keluar dari mulutnya, ia namailah apa yang ia temui, lalu ia pengaruhi orang lainnya untuk menamai hal-hal serupa yang mereka temui dengan cara ia menamainya. Kemudian muncullah agama. Agama adalah cara orang-orang mengagumi semesta, cara itu ditemukan seseorang, ia pun menginstitusikannya, lalu menyebarluaskannya.

Agama-agama ini bagi Tedjo membuat kemerdekaan pikiran manusia terkurung karena cara-cara segelintir orang dipaksakan kepada orang lainnya untuk menjadi cara-cara kolektif. Agama adalah dogma, katanya. Namun, lanjutnya, manusia ini inkonsisten, ia beragama, namun ia pun banyak menyimpan ketakutan-ketakutan lain dari selain kepada yang ia ikrarkan untuk ia sembah dalam caranya beragama. Manusia punya rasa ragu, punya rasa bimbang, itu artinya tak cuma satu yang ia Tuhankan (bagi mereka yang mengimani Tuhan yang satu), tak cuma apa yang ada dalam agamanya. Manusia seringkali takut melakukan ini itu karena ada dia di situ. Manusia, pun saling memengaruhi satu sama lain dengan apa yang ia yakini, maka sejak saat itulah kekacauan-kekacauan terjadi. Bagi Tedjo, agama lah yang menjadi sumber kekacauan yang ada di dunia ini.

Apa yang diyakininya ini, terkait agama sebagai sumber dari segala konflik juga banyak diyakini orang-orang semisal nama-nama yang dikutip oleh Adian Husaini dalam bukunya yang terkenal “Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam”. Lenon misalnya, seorang musisi kenamaan yang mengungkapkannya dalam lirik-lirik lagunya.

Di sisi lain, ketika ia tahu bahwa saya seorang mahasiswa jurusan Sastra Arab di Unpad, begini katanya, saya paham jika anda kemudian memberi pertanyaan seperti ini, orang yang bergelut di bidang sastra memang punya kepekaan lebih terhadap bahasa. Lanjutnya, saya akui, bahasa Arab itu memang bahasa yang paling logis, dengan strukturnya yang teramat baik, teratur. Ia mempunyai akar-akar kata yang dari situ dapat muncul banyak kata lainnya, bentuknya menjadi sedikit berbeda, namun ikatan semantiknya tetap mantap bertahan. Maka itulah mengapa struktur bahasa Arab itu tak banyak mengalami perubahan. Lain dengan bahasa Indonesia, yang mudah berubah dengan bahasa alay, bahasa Vickys, dan lain sebagainya. Inilah mengapa, katanya, budaya Indonesia menjadi kacau.

Unsur budaya yang paling penting dan paling kentara itu bahasa, tekannya, bukan batik. Rusaknya budaya Indonesia bukan karena sejauh mana manusia Indonesia kurang intens berinteraksi dengan hasil karya lokal yang ia miliki, namun karena sejauh mana manusia Indonesia mampu menggunakan bahasanya dengan baik.

(Ini tak jauh berbeda keadaannya dengan orang-orang Arab dengan bahasa ‘aamiyyahnya, mulai menjauhi bahasa fushhaa yang sturkturnya teramat sempurna rapi itu. Selain itu bahasa Arab kini banyak mengalami pengasingan. Maksudnya, terakulturasi oleh budaya asing, sehingga manusia Arab semakin jauh –tak begitu—mengenal lagi kekayaan luhur bahasa yang dimilikinya. Bahasa Arab bukan mengalami kerusakan, namun telah banyak terlupakan karena tergerus arus pembaratan)

Jadi, solusinya, simpulnya, banyak-banyaklah menulis..!!

Pemilik akun twitter @sudjiwotedjo yang pernah menjadi seorang wartawan Media Kompas ini pun menyinggung soal “shodaqoh”, bukan “sedekah”, katanya fasih. Begini katanya, jika seseorang yakin bahwa semesta ini Tuhan, dalam lingkupan Tuhan, maka ia akan yakin bahwa antara pemberi dan yang diberi merupakan juga salah satu keteraturan yang ditetapkan Tuhan atas semesta. Artinya, antara pemberi dan yang diberi tak perlu ada rasa tinggi diri maupun rendah diri. Maka keadilan yang merata akan tercipta di dunia ini.

-------------------------
Saya simpulkan, keberadaban itu setengahnya terdapat dalam nurani manusia, selain dalam aturan-aturan yang menghandaki keteraturan (keberadaban) yang muncul baik dari manusia maupun Tuhan dalam bentuk otoritas (perintah dan larangan). Maka saya berdo’a, 
mun ku Allah teh dijanggilekkeun we saeutik hatena… aamiin… pamugi Allah maparin anjeunna hidayah.

Bahwa dalam Islam dia akan menemukan bahwasanya Allah Swt. itu berkomunikasi kepada manusia melalui manusia pilihanNya yang Dia utus, Allah sesungguhnya memberitahu pada manusia cara-cara mengagumiNya.

Bahwa Islam mengajarkan bahwasanya bahasa pun bukan melulu produk budaya manusia, melainkan Allah mengajarkannya kepada manusia, sekali lagi, melalui manusia pilihanNya (al-Baqarah: 30-31). Bahwasanya pula Allah Swt. memilih Bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran karena Bahasa Arab memiliki sifat ilmiyyah sebagaimana yang ia sadari dan ungkapkan sebelumnya, kemudian Islam menyempurnakan, lagi mengabadikan kesempurnaannya itu --sifat ilmiyyahnya dalam berbagai bidang keilmuan turunan sehingga Bahasa Arab menjadi Bahasa yang bernilai tinggi, dan upaya menginspirasikan agama ini hingga mendunia mendorong kemajuan peradaban dunia dengan segenap kebudayaan luhurnya.

Bahwa, tak semua agama muncul dari kebudayaan, dari spekulasi-spekulasi filosofis semata yang kemudian menghasilkan cara-cara subjektif untuk disebar secara luas hingga menjadi cara-cara kolektif. Islam, merupakan agama yang menghimpun cara-cara yang Tuhan kehendaki, Islam pula satu-satunya yang dikehendakiNya sebagai agama. Islam bukan cara-cara mengagumi hasil spekulasi filosofis sebagaimana yang ia yakini.

Bahwa, Allah Swt. memelihara agama Islam ini sebagai syariat hingga akhir zaman, hingga semesta benar-benar rusak serusak-rusaknya, hancur sehancur-hancurnya. Bahwa Tuhan, Empunya semesta ini, Allah Swt. membuat keteraturan bukan semata yang telah tercipta (sunnatullah), melainkan juga diciptakan oleh manusia yang meninggalinya, keteraturan yang diciptakanNya dengan caraNya mengatur manusia, itulah syari’atNya, cara mengagumiNya yang dikehendakiNya, karenanya perlu ada ketaatan manusia terhadap ketentuan-ketentuanNya ini.

Sakali deui kuring ngado’a: Muuuuun we ku Allah teh dijanggilekkeun saeutik hatena…..

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,