tag:blogger.com,1999:blog-69607895582303087872024-03-13T07:45:12.848-07:00لؤلؤ الكنينكن عالما أو متعلما أو مستمعا أو محبا و لا تكن خامسا فتهلك :: من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله به طريقا إلى الجنة (رواه مسلم) :: العلم صيد و الكتابة قيده، قيد صيودك بالحبال الواثقlulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comBlogger76125tag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-88729510382066984012014-09-30T05:47:00.003-07:002014-09-30T05:47:27.442-07:00?Selama perbudakan seseorang atas orang lain --juga atas dirinya sendiri-- masih terjadi, selama manusia tak bebas seutuhnya, selama itu pula alam ini takkan pernah mencapai harmoni.
Orang-orang linglung keterlaluan banyak jumlahnya. Saking banyaknya, ada di antara mereka yang mengaku-aku tak linglung lalu berujar: "Kami ini orang-orang waras, bukan seperti mereka yang tak waras, kami ini orang-orang lurus, bukan seperti mereka yang tersasar, kami berjuang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan sejati, nilai-nilai ketuhanan," demikian semangatnya, sampai mulut mereka penuh busa dan ludahnya muncrat-muncrat ke mana-mana. Padahal tiada beda dengan orang-orang yang mereka kata 'sesat', mereka pun tengah tersesat. Tanpa sadar mereka membuat kerusakan di muka bumi, sebagaimana orang-orang yang mereka sesatkan.
Atas nama agama mereka berupaya, namun kesesatan mereka alangkah nyata. Mereka berujar, bahwa dunia hanya sementara, bahwa manusia adalah musafir yang tengah berjalan-jalan di atasnya, namun jalan mereka pun tengah sesat terlalu dalam. Mereka berujar bahwa ilmu yang benar akan menuntun manusia menuju tuhannya, namun sekali lagi, mereka telah menyimpang terlalu jauh. Mereka, keterlaluan asyik dalam tipu daya 'kata' ilmu, ilmu, ilmu, namun nyatanya, kata itu membelenggu, menabiri mereka dari tuhannya. ---jika ilmu adalah bekal perjalanan menuju Tuhan, mengapa mereka menyimpang sedemikian jauh?
'Pendidikan' menuju ilmu, menuju Tuhan, adalah pendidikan yang telah menyimpang selama tak membebaskan, selama dalam prosesnya masih ada perbudakan-perbudakan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik sadar ataupun tidak. Tak ada keberpasrahan secara sukarela pada Tuhan (fitri), selama masih ada paksaan, selama seseorang masih dipaksa atau terpaksa oleh orang lain ataupun dirinya sendiri untuk tunduk patuh pada orang lain. Kebebasan macam apa jika seseorang mesti manut-manut mengikut telunjuk guru?
Guru bukanlah Tuhan. Bagaimana dikata 'menuju Tuhan' sementara orang-orang yang mengaku-aku sebagai guru masih memelas minta dihargai seolah benar punya harga diri, minta diberi nilai seolah benar punya nilai, minta dikeramatkan, disucikan, dispesialkan? Sekali-kali manusia itu tak berarti apa-apa kecuali Tuhan.lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-57126458548511865872014-09-28T17:10:00.003-07:002014-09-28T17:12:35.988-07:00Bersikap Beradab Terhadap Ulama?Saya kira takkan akan ada habisnya kalau kita membahas hal-hal partikular semisal kepartaian, kejam'iyyahan, kebangsaan, demikian juga ketokohan.
Kritik mengkritik antar ulama sudah biasa terjadi. Mungkin tak sesulit apa yang kita fikirkan persoalannya, hanya para pengikut biasanya membesar-besarkan, karena tak mau terima.
Jika Imam adz-Dzahabi tak boleh mengkritik Imam al-Ghazali, lantas mengapa ada yang membolehkan orang-orang tak selevel dengan adz-Dzahabi mengkritik Beliau lantaran Beliau mengkritik al-Ghazali? Kalau hal-hal seperti ini masih saja dipersoalkan, barangkali konflik takkan pernah ada habisnya; akan terus beranak cucu.
Fenomena kritik mengkritik antar ulama tak semestinya kita sikapi dengan cara menyerang balik --itu seperti balas dendam lantaran tak terima orang yang dikultuskannya (seolah) diserang/dicaci.
Sikap kita terhadap itu barangkali alangkah lebih baik dengan mengambil 'ibrah, semisal, bahwa ilmu AlLâh itu keterlaluan luas serta teramat dalam; setiap orang akan menjadi spesialis terhadap suatu ilmu lantaran pengalaman-pengalamanya yang berbeda. Dan mestinya yang demikian itu tidak lantas membuat kita menihilkan peranan mereka yang amat besar; tidak nila setitik rusak susu sebelanga, lalu kita pun pada akhirnya jadi tenggelam dalam persoalan-persoalan cabang seperti ini yang nyaris tidak ada gunanya dan kontraproduktif --sementara kita jadi lupa dengan apa yang menjadi 'pokok' / 'benang merah' ilmu yang masing-masing mereka dilebihkan tentangnya.
Tidakkah kita punya fikiran bahwa mungkin saja kesilapan saat terjadi mengkritik itu cuma kesilapan sesaat? Dan lagipula, kita memang tak tahu apakah dalam mengkritik itu ada 'niatan mencari ridla AlLâh' atau sebaliknya 'karena dengki (penyakit hati)' --yang memang iya sebentuk kesilapan. Bukankah AlLâh Maha Tahu apa yang nampak dan apa yang tersembunyi, sementara kita tak tahu? Dan AlLâh itu betapa Maha Pengampun (sementara kita tidak, kita hanya mampu fokus pada setitik noda hitam dan melupakan yang putih yang begitu luas terbentang). Lagipula, saya pribadi sangsi kalau dikata para ulama memelihara penyakit hati, ketika penghambaannya pada AlLâh saja sudah terbukti total, tidakkah kita melihat betapa mereka sungguh-sungguh dengan karya-karyanya? Kritik mengkritik yang terjadi di antara mereka in syâ-alLâh bukan lantaran dengki, niatan untuk menjatuhkan orang, melainkan niat 'meneguhkan agama AlLâh'.
Saya kira memandang seperti ini lebih beradab bagi kita yang awwam --apatah lagi kita tak mampu membaca hati orang--ketimbang mempertimbangkan dan mempersoalkan ketakberadaban seorang ulama.
AlLâhumma -ghfirlanâ, wa na'ûdzu biKa min waswasati s-syaythân... Semoga kita terhindar dari perkara sia-sia, âmîn...""lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-37861375191978281402014-09-26T23:50:00.001-07:002014-09-26T23:50:46.434-07:00Profil Ibn Hajar al-'AsqalânîIbn Hajar al-'Asqalânî (773-752 H / 1372-1448 M)
Nama Beliau Syihâbuddîn Abul Fadl, Ahmad bin 'Ali bin Muhammad bin Muhammad bin 'Ali, al-Kinânî, al-'Asqalânî, asy-Syâfi'î. Seorang penulis Syarah Shahih Imam Bukhari yang terkenal itu. Berasal dari 'Asqalan-Palestina, sementara lahir dan wafat di Kairo.
Seorang Alim, Muhaddits, Faqih, Pujangga yang melahirkan banyak puisi, kemudian beralih mempelajari hadits. Ia seorang yang banyak menyimak, melakukan banyak perjalanan, mengakrabi syaykhnya al-Hâfizh Aba l-Fadl al-'Irâqî. Ia melakukan perjalanan ke Yaman, Hijaz, dsb. untuk menyimak pelajaran dari para syaykh. Maka kemudian Beliau menjadi terkenal. Orang-orang banyak mengambil pendapatnya. Kemudian ia menjadi seorang Hâfizhu l-Islâm (benteng Dîn Islam) pada masanya.
Pada saat menjelang wafat, al-'Irâqî pernah ditanya: "Siapakah kiranya yang akan menjadi penggantimu?" Beliau menjawab: "Ibn Hajar, kemudian anakku Abu Zar'ah, kmudian al-Haytsami.
Ia seorang yang fashih lisannya, seorang pujagga yang banyak puisi, seorang yang 'ârif (tahu betul) terkait ulama terdahulu, riwayatnya, kehidupannya, serta tune in terhadap wacana kekinian. Ia pernah menjadi qadhi di Mesir beberapa kali.
Adapun buah tangannya amat kaya, di antaranya: Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari; al-Ishâbah fî Tamyîzi Asmâ-i s-Shahâbah; Tahdzîbut Tahdzîb; Taqrîbut Tahdzîb fî Asmâ-i Rijâli l-Hadîts; Lisânu l-Mîzân; Asbâbun Nuzûl; Ta'jîbul Manfa'ah biRijâli l-A-immati l-Arba'ah; Bulûghul Marâm min Adillati l-Ahkâm; Tabshîrul Muntabih fî Tahrîri l-Musytabih; Ittihâful Mahrah bi Athrâfi l-'Asyrah; Thabaqâtul Mudallisîn; al-Qawlu l-Musaddid fî dz-Dzabbi 'an Musnadil Imâm Ahmad, dan masih banyak lagi.
Terjemah bebas dari http://www.mawsoah.netlulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-28466540031233647662014-03-25T04:28:00.001-07:002014-03-25T04:28:42.572-07:00Aceng Zakaria<br /><br />Merhatiin rak,<br />Tiba2 pndangan st tertuju pada kitab alHidaayah fii Masaa-ila fiqhiyyah muta'aridlah. Lama brgelut dgn aktivitas & buku2 lain mmbuat sy rindu mereguk ilmu dari kitab tersebut, lagipula sy telah lupa dengan bnyak hal yg diajarkn d sana.<br />kitab ini mgkin mnjadi pegangan & scara intensif dipelajari santri2 pesantren Persis d seluruh Indonesia (eh seluruh pulau jawa). Pengarang kitab ini adalah alUstaadz Aceng Zakaria gelar "alUstaadz" (profesor) memang nampaknya pantas disematkan kepada beliau karena kepakaran dlm berbagai bidang ilmu agama meski secara formal tak ada satupun gelar kesarjanaan yg disandangnya. Ulama asal Garut ini telah menulis lebih dari 50 judul buku baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Bahkan klau tdk salah kitab alHidayah yg sy sebut d atas itu telah mndapat sambutan yg teramat baik dari seorang guru besar ilmu hadits sekaligus rektorJaami'atu lAzhaar Qahirah. Meski secara formal pndidikannya hnya smpai mu'allimin (setingkat aaliyyah), namun kepakaran beliau tak diragukan. Sy sndiri tdk mngetahui ada berapa bnyak ulama di Indonesia -kini- yg produktif mnulis dalam bahasa Arab. <br />Koleksi kitab beliau yg baru sy punya itu ada alMuyassar fii ilmi nnahwi (sebuah kitab linguistik bahasa Arab yg relatif mudah dicerna dengan sistematika pnulisan yg khas) jilid 1 & 2, kemudian ilmu lmanthiq (logika), hadyu rrasuul, ilmu ttauhiid, alKaafii fii illmi ssharfi dn masih bnyak lainnya yg beliau tulis berkenaan dengan 'aqidah, linguistik, fiqh, bahkan filsafat yg sy lupa judulnya & sebagian besar belum sy punyai --apalagi mngkhatamkannya <br />Mnurut sebuah riwayat (yg ntah sanadnya bersambung atau tidak), sewaktu masih muda (/kanak2?) beliau senantiasa terbangun di sepertiga malam utk menghafal sambil mrendamkan kakinya di air dingin spaya terhindar dari rasa kntuk. Karena etos belajar yg sedemikian beliaupun kbarnya hfal juga nazham2, seperti alfiyyah Ibn Malik, gramatika bahasa Arab yg tersusun dalam rima irama sebagaimna puisi, dll..<br /><br />Smoga Allah memanjangkn umur beliau & mmberinya maqam yg layak untuk segala jihad ilmiyyahnya.. Aamiin..<br /><br /><br /><br /><br />AlMuyassar fii 'Ilmi nNahwi<br />almujladu tstsaanii<br />Karya Ulama Asgar (Asli Garut) alUstaadz Aceng Zakaria<br />atThab'atu lUulaa-nya keluar saat sy baru disapih<br />meskipun namanya alMuyassar, tp percayalah buku linguistik bahasa Arab ini tak lebih mudah dicerna daripada Matn Jurumiyah.<br />Ustadz Sulaeman alMarhuum yg pertama kali mngajarkannya pada saya sambil menulis d blackboard sambil terbatuk-batuk tapi sebagian murid takmenghiraukannya.<br /><br /><br /><br /><br /> Tapi menurut beliau dalam pngantarnya terhadap buku Belajar Nahwu Praktis sistem 40 Jam, alMuyassar ini pertama kali terbit pada tahun 1987 M / 1408 H (berarti 5 tahun sebelum sy lahir) (dibuat sekitar 27 tahun yg lalu). Sejak itu sampai tahun 2004 kitab ini telah mengalami cetak ulang sebanyak 25 kali (best seller dong hehe) telah tersebar dan digunakan di pesantren2 di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan. Dosen2 sy sngat mrekomendasikn buku ini pda mhasiswa. I think Arabic linguist around the world should read this. Nanti klau ke Mesir saya ingin tunjukkan ini pada adDuktuur Ayman Amiin penulis kitaab al-Kaafi fii Ilmi nNahwi What so amazing...lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-82621956295708696082014-02-13T04:42:00.001-08:002014-02-13T04:42:22.683-08:00download recording hasil diskusi kami bersama Ust Abdullah Beik,MA dari ABI (Ahlul Bait Indonesia)Silahkan download recording hasil diskusi kami bersama Ust Abdullah Beik,MA dari ABI (Ahlul Bait Indonesia) di Jakarta, 19 Januari 2014..<br />File 1:<br /><a href="http://www.4shared.com/file/aEoYFFL2ba/Dialog1_syiah_19_jan_14.html">http://www.4shared.com/file/aEoYFFL2ba/Dialog1_syiah_19_jan_14.html</a><br /><br />File ke 2:<br /><a href="http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.4shared.com%2Ffile%2FfS-KVcIQce%2FDialog2_syiah_19_jan_14.html&h=AAQGGCjHM&enc=AZNIo9Ueepqk4danqiewuE0B9YtOoBepD5yKWRQSnWvHmmRbo3GrfPZ3DUryuDi2P8kBj5QoK00-5St4zl18DABOLnqIgFLuBBzvwe8D2AH7RbCHOwJLkaR00oxfku4K7ksb4S7esePlD_beGrzfMOsC&s=1">http://www.4shared.com/file/fS-KVcIQce/Dialog2_syiah_19_jan_14.html</a><br /><br />File ke 3:<br /><a href="http://www.4shared.com/file/Bjx7YOxlba/Dialog3_syiah_19_jan_14.html">http://www.4shared.com/file/Bjx7YOxlba/Dialog3_syiah_19_jan_14.html</a><div>
<br /></div>
<div>
diambil dari status facebook Ust. Amin Saefullah Muchtar</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-88031697920507327242014-02-13T04:25:00.001-08:002014-02-13T04:25:37.385-08:00Apa Kabar Manhaj dan Uslub Pendidikan Islam?3 Feb 2014<div>
<br /></div>
<div>
Ide "jangan mengatakan 'jangan' pada anak" pertama kali saya dapatkan beberapa tahun lalu saat membaca karya Quantum-nya Bobbi DePorter & Mike Hernacki, <i>Quantum Learning</i>. Karya-karya semacam ini sebagaimana (juga) karya Dale Carniege yang menurut sebagian orang memiliki muatan 'humanisme' setidaknya menjadi karya revolusioner sejak pertama kali diterbitkan dan menjadi bestseller yang mampu menginspirasi juga mengubah paradigma banyak orang --termasuk pakar dan praktisi pendidikan-- tentang metode pendidikan.<br /><br />Di Indonesia, Kak Seto, Arif Rahman & Munif Chatib juga mungkin menjadi salahsatu di antara sekian banyak yang terinspirasi. Mahasiswa UPI dan lainnya yang berlatar pendidikan pasti tak asing dengan buku ini.<br /></div>
<div>
Buku ini juga sempat masuk ke dalam list buku 'the most inspiring' saya. Banyak hal terkait pendidikan yang membuka mata saya terhadap kekeliruan cara mendidik yang saat ini banyak dilakukan orang tua, lingkungan, bahkan lembaga pendidikan itu sendiri. Efeknya, selain menginspirasi keseharian saya memperlakukan orang lain, saya juga sempat merasa sangat kecewa pada sekaligus sok merasa lebih tahu dari orangtua saya karena beberapa cara mendidik mereka yang menurut buku tersebut salah << mungkin ini efek buruknya).<br /><br />Di Indonesia, lihat ada berapa banyak karya yang dihasilkan Munif Chatib berkat inspirasi metode <i>global learning</i>-nya DePorter ini, juga karya-karya serupa yang merupakan pengembangan darinya yang banyak diterbitkan Kaifa Publishing.<br /><br />Nah, sekarang, ini mengemuka dengan 'wajah yang lain'. Walau saya belum membaca banyak.<br />'Agak' sayang memang beberapa abad terakhir ini muslim terbelakang --shingga tidak mampu memproduksi ide-ide dan konsep-konsep segar yang dapat memenuhi kebutuhan manusia yang senantiasa berubah-ubah. <i>(tapi tak ada gunanya 'kukulutus')</i><br /><br />Semoga saja sesuatu mampu menggenjot stamina Muslim untuk dapat bergerak lebih dari biasa sehingga mampu mengejar ketertinggalan itu >>berkarya tanpa cacat, karya yang Islamii. Aamiin..</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>wallaahu a'lamu bi shshawaab</i></div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-80682027362506181412014-02-13T04:09:00.000-08:002014-02-13T04:09:02.505-08:00Belajar alQuran itu MudahDalam pertemuan kuliah The Worldview of Islam (Pandangan Alam Islam) ke-3 PIMPIN yang entah ke berapa, Dr. <a href="https://www.facebook.com/nashruddin.syarief">Nashruddin Syarief</a> dalam materi terkait Konsep Wahyu dan Kenabian mengingatkan saya tentang ayat ini:<br /><br />ولقد يسرنا القرآن للذكر فهل من مدكر<br /><br />Ayat ini memang entah kapan lewat dan kemudian singgah di memori saya, yang jelas ketika Ust. Nashruddin membacakannya ayat itu terasa begitu akrab di telinga. Dengan ayat ini beliau ingin menegaskan bahwa al-Quran benar-benar telah Allah <i>subhaanahu wa ta’ala</i> mudahkan utk dipelajari ummat Muhammad.<br /><br />Setelah ditype di kolom ‘cari’ sebuah aplikasi alQuran bernama Aayah –yang juga memuat translate alQuran berbagai bahasa dan sekitar tujuh buah tafsir virtual yg pernah diinstallkan salah seorang teman saya <i>(baarakallah fiih)</i>–, ternyata ayat ini Allah ulang sebanyak 4 kali dalam 4 tempat pada surat yg sama, yaitu pada ayat ke 17, 22, 32, dan 40 surat alQamar. Sebelum lebih jauh menelusuri tafsirnya juga membaca keseluruhan surat ini yang mengandung peringatan keras, ke-4 ayat yang sama dalam 1 surah ini sudah menunjukkan ‘betapa’ penekanan Allah bahwa ilmu alQuran itu sebenarnya mudah. Hanya memang kita saja yang lebih banyak menyerah sebelum bertanding, menumbuhkan sugesti bahwa bahasa alQuran adalah bahasa yang sulit.<br /><br />Selain dalam alQamar, penekanan yang sama juga terdapat dalam ayat yang ditunjukkan Ibn Katsier dalam pembukaan tafsirnya terhadap ayat ke-17 alQamar, yaitu pada surat Maryam [19]: 97 dan Shaad [38]: 29. <i><<check these out)</i><br /><br />Ibn Katsier menafsirkan ayat ini sebagai <i>“sahhalnaa lafzhahu wa yassarnaa ma’naaahu liman araadahu liyatadzakkara n-naas”</i> (telah Kami mudahkan alQuran baik lafazh maupun maknanya bagi siapa saja yang menginginkannya agar mereka senantiasa ‘ingat’) dilanjutkan dengan menyebut Shaad: 29 dan Maryam: 97 sebagai dalil atas tafsirannya tersebut. Selanjutnya Beliau mengutip perkataan Mujaahid bahwa kalimat pertama ayat ini berarti ‘Kami mudahkan membacanya’ yang senada dengan asSuddiy. …. (baca sendiri sampai akhir kelanjutannya dalam kitab tafsir yang dimaksud)<br /><br />Ust. Nashruddin di tengah penyampaiannya pada saat itu mencandai Dr. <a href="https://www.facebook.com/wendizarman">Wendi Zarman</a> yang juga hadir memantau kuliah ini dengan ungkapan (kurang lebih seperti ini): “Mempelajari al-Quran itu lebih mudah daripada mempelajari fisika, sewaktu masih kuliah (S3) di UIKA, bnyak teman saya yang berlatar belakang sains. Hanya beberapa termasuk saya yang bukan. Karena alQuran itu mudah ‘lidzaatihi’ utk dipelajari, sementara fisika tidak. Teman saya seperti Pak Wendi ini bisa mempelajari sains sekaligus alQuran, sementara saya bisa mempelajari alQuran tetapi tidak sanggup dengan fisika.” (dengan sedikit modifikasi) Katanya dengan dialek Sundanya yang kental.<br /><br />Terakhir sekali menjelang sesi diskusi beliau memberi penekanan kepada peserta kuliah PAI 3 untuk memiliki kitab tafsir >> SEKURANG-KURANGNYA <i>Tafsir alQuraani l’Azhiim-nya alHaafizh</i> Abul Fida Ibn Katsier dengan tahqiiq yg terbaik oleh Ahmad Syakir atau Syaykh Nashiruddin alAlbaniy* –selain tafsir-tafsir terjemahan atau susunan mufassir Indonesia seperti alAzhaar-nya Buya Hamka dan alMishbaah-nya Quraish Shihab.<br /><br />*Syaykh Nashiruddin alAlbani –sebagaimana diungkapkan Dr. Nashruddin di lain kesempatan dalam kuliah Ilmu Haditsnya– adalah seorang seorang alHaafizh era kontemporer yang belum ada tandingannya, yang mana alHaafizh dalam istilah ilmu hadits berarti seorang yang hafal sebanyak minimal 100.000 hadits berikut untaian sanadnya, beliau seorang ahli ilmu hadits riwaayah (yg kemampuan ini teramat jarang dimiliki). <br /><br /><div>
Akhir kata, “Belajar alQuran itu mudah.”</div>
<div>
Allah telah menetapkan kemudahan itu dan mengabarkannya kepada kita ummat Muhammad shallallaahu 'alayhi wa sallam sebagai berita gembira bahwa petunjuk Allah itu teramat dekat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>wallaahu a'lamu bi shshawaab</i></div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-39282341315087318272014-02-13T03:53:00.001-08:002014-02-13T03:53:24.675-08:00Miithaaq dan Kerusakan OthaqOleh: Risna Inayah*<br /><br />Penghujung paruh pertama abad ke-21 ini di mana hasrat industrialisasi umat manusia modern semakin menjadi dan malah menggila, robot-robot dengan program yang semakin canggih mulai diproduksi massal untuk menggantikan peran manusia. Program yang dicanangkan untuk mempermudah kehidupan manusia ini niscaya membuat jasa manusia menjadi tak begitu berarti. Karena jasa manusia berbanding mesin dalam beberapa hal adalah kalah jauh.<br /><br />Meski dicanang sebagai mempermudah kehidupan manusia, pada kenyataannya industrialisasi hanya mampu mempermudah kehidupan segelintir manusia saja. Sementara itu, di sisi lain, jumlah massa yang jauh lebih banyak justru mengalami kehidupan yang semakin sulit. Tenaga/jasa manusia yang pada mulanya berharga dan mempu menghasilkan nilai untuk pemenuhan kesejahteraan hidupnya, kini dengan seleksi alam (manusia) modern ia pun telah lumpuh atau dilumpuhkan. Maka kualitas hidup kebanyakan manusia malah menjadi semakin mengkhawatirkan –walau sebagian kecilnya merasa mudah hidup karena memeroleh keuntungan yang bukan main besarnya.<br /><br />Robot-robot yang berkembang semakin canggih yang karenanya mulai diproduksi massal tersebut diprogram sedemikian rupa untuk menjalankan tugas tertentu sesuai kebutuhan manusia dalam bidang-bidang kehidupan tertentu.<br /><br />Euis E-41, adalah seri/nama bagi robot perawat pertama yang diproduksi massal oleh industri robotika di kawasan Tatarsunda Westjava. Ialah industri yang akhir-akhir ini namanya melambung tinggi di pasaran teknologi global, PT. UjangMencrang Industries. Co. ltd. Ia menjadi salah satu yang begitu banyak diperbincangkan dunia setelah mengeluarkan beberapa seri produk canggih berdaya jual tinggi dan mampu memenuhi pasaran Asia dan Eropa untuk bidang pelayanan masyarakat. Produknya kini menjadi salah satu yang unggul dan paling banyak diminati di kedua benua tersebut. Perlu diketahui PT. UjangMencrang Industries menjadi industri kebanggaan Westjava setelah mampu mengalahkan pesaingnya dalam beberapa tender yang dicanangkan akan didanai penuh oleh Worldbank sekitar 5 tahun yang lalu di Kanada. Dalam waktu yang relatif singkat bagi berkembangnya perusahaan yang dinilai masih muda tersebut, PT. UjangMencrang telah menjadi industri yang taringnya ditakuti beberapa nama yang mewakili industri teknologi yang telah berpengalaman ber-puluh tahun di percaturan global, mendampingi manusia dalam menjalankan berbagai aktivitasnya.<br /><br />Untuk industri bertaraf global, tentu proses produksi sebuah produk dilakukan sedemikian cermat dengan mekanisme yang dinilai ‘cukup rigid’ bagi kalangan industri menengah ke bawah. Dalam hal ini, meski robot merupakan produk canggih yang dalam hal-hal tertentu mengalahkan keterampilan manusia, ia pada hakikatnya tetaplah benda yang sejak tahap awal hingga akhir proses produksi memerlukan pengawasan manusia. Dalam prosedur produksinya tetap tak bisa lepas dari keterlibatan manusia sebagai pengasas ide penciptaannya.<br /><br />Euis, setelah melalui proses finishing sebelum dikemas, kemudian harus melalui serangkaian proses quality control, yakni pengecekan tahap akhir untuk memastikan kualitasnya. Yang harus dilalui Euis pada proses ini di antaranya adalah pengecekan daya intelejensia.<br /><br />Robot yang diprogram sebagai jelmaan perawat itu ditanyai seorang insinyur (penciptanya) tentang siapa dirinya dan siapa penciptanya, tentulah berikut tugas/tanggung jawabnya. Dengan sigap dan lantang ala robot Euis memperkenalkan siapa dirinya, perusahaan apa yang telah memproduksinya berikut siapa insinyur yang menciptakannya (sebagai pernyataan hak cipta), juga tentu tugasnya sebagai perawat. Gestur yang ia tampilkan dalam perkenalannya di hadapan insinyur itu tak kalah santun dengan apa yang bisa dilakukan perawat manusia yang santun. Ketika diinstruksikan untuk melakukan beberapa tindakan medis, ia pun melakukannya dengan cekatan, dan, penuh dedikasi <i>(ajhiiaaa…)</i><br /><br />Quality control usai, robot itu pun sudah dinilai pantas menjalankan tugas. Ia lalu dikemas. Secara pantas. Di kemasannya tercantum petunjuk agar jangan sampai terkena terik matahari yang panas. Supaya kualitas tetap terjaga untuk selanjutnya ia lekas bergegas untuk menjalankan tugas.<br /><br />Beberapa lama berlalu Euis menjalankan tugasnya sebagai perawat di rumah sakit di berbagai belahan dunia. Meski telah melalui berbagai level uji coba sebelum diputuskan untuk diproduksi massal, dalam perjalanan waktu Euis, robot perawat tersebut mengalami beberapa hal tak terduga ketika menjalankan tugasnya. Singkat cerita, rumah sakit yang merupakan konsumen robot tersebut di beberapa negara mengadukan keluhannya. Beberapa complain pasien atas pelayanan medis yang tidak sesuai harapan hingga perlakuan yang betul-betul tidak menyenangkan yang dilakukan robot-robot perawat tersebut beritanya sudah beredar luas menjadi konsumsi publik dunia, hingga menjadi bahan diskusi WHO yang melibatkan berbagai pihak otoritatif. Beberapa hal tak terduga bahkan sempat terjadi sebelum akhirnya diketahui ia mengalami kerusakan program (otak), salah satu di antaranya adalah apa yang dirilis sebuah surat kabar kenamaan di Amerika, BNN (Badan Narkotika Nasional (oops, salah, bukan, lupa, apa yah singkatannya??)) tertanggal 24 Juni 2042 yakni sebuah laporan terkait adanya satu unit robot produksi PT. UjangMencrang yang tiba-tiba mengamuk dan melakukan perusakan fasilitas kesehatan di sebuah rumah sakit di Seoul-Korea, nampaknya kerusakan program yang terjadi pada unit robot tersebut telah mencapai taraf fatal.<br /><br />____________________<br /><br />Demikianlah, pula, keadaan manusia yang lupa akan miithaaq. Ruhnya-pemikirannya, jua sedang mengalami kerusakan. Manusia, dengan intelejensia tinggi dan kemampuan nalar di luar kemampuan makhluk lainnya (apalagi robot, yang cuma ciptaan manusia sekelas Ujang) sebetulnya mampu menghurai kerusakan tersebut, oleh dirinya sendiri, dengan membuka pintu jiwanya agar hidayah dapat masuk dan secara perlahan memperbaiki kerusakan sistem berpikir tengah rusak tersebut.<br /><br /><i>Wallaahu a’lam bi sh-shawaab.</i><br /> <br /><br />_____________________<br /><br />Terinspirasi oleh:<br /><ol>
<li>Mohd Farid Mohd Shahran berjudul “Miithaaq Sebagai Landasan Agama dan Akhlak” dalam Adab dan Peradaban: Karya Pengi’tirafan untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas (Kuala Lumpur: MPH Publishing, cet. II, 2012), hlm. 115-131.<b><(disarankan untuk dibaca)</b></li>
<li>Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pimpin, 2010) <<b>(disarankan untuk dibaca)</b></li>
<li>Filem berjudul Battle of The Damned <(cuma inspirasi sekunder, tidak disarankan)</li>
</ol>
<div>
<br />________________<br /><br />*Mahasiswi (pasca)sarjana yang tengah menjalankan studi di dua jurusan sekaligus, jurusan Buahbatu-DayeuhKolot, dan Cijerah-Ciwastra.</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-60828760271235521192013-12-04T17:36:00.001-08:002013-12-05T02:49:44.327-08:00Memahami Diinul Islam: al-Attas's Concept of Religion of Islam[1]<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-Lhw8J0c9XdQ/UqBZcbjKJOI/AAAAAAAAAXU/cH_8OoWsrPc/s1600/Islam.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://3.bp.blogspot.com/-Lhw8J0c9XdQ/UqBZcbjKJOI/AAAAAAAAAXU/cH_8OoWsrPc/s200/Islam.jpg" width="200" /></a></div>
Oleh: Risna Inayah<a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_edn2">[2]</a><br /><br />Agama dan teologi menjadi problem yang begitu rumit sekarang ini. Tuhan kini bisa dipahami dengan beragam macam cara dan pandangan, yang dapat menyebabkan pandangan yang beragam pula terhadap memahami agama. Jika pemahaman akan Tuhan keliru maka keliru pula pemahaman terhadap agama. Problem ini terjadi seiring dengan intensitas interaksi manusia yang semakin masif. Informasi dengan mudah dapat diakses sehingga berbagai kekeliruan akan semakin takterelakkan. Begitu kira-kira Dr. Wendi Zarman –direktur PIMPIN—membuka kuliahnya dalam pertemuan ke-3 Kuliah Pandangan Alam Islam III yang diselenggarakan Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) pada sabtu, 19 Muharram 1435 (23/11/13) di ruang Lab Fisika lantai 2 Kampus Unikom Jl. Dipatiukur 112-114 Bandung.<br /><br />Sebagai pengantar kepada inti materi, kepada lebih dari 30 mahasiswa perwakilan berbagai institusi itu Wendi menerangkan akan pentingnya memberi perhatian terhadap “bahasa” dan penggunaannya. “Sangat banyak persoalan kekacauan disebabkan oleh kekeliruan dalam penggunaan bahasa.” tuturnya. Bahasa adalah identitas. Ia merefleksikan pikiran manusia terhadap suatu objek. Mengutip ide Prof. Al-Attas,<a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_edn3">[3]</a> Wendi menjelaskan bahwa bahasa mencerminkan bagaimana kita memahami realitas atau objek pengetahuan. Jika suatu nama disalahpahami maka akan terjadi kesalahan pula dalam memahami realitas, sehingga sesuatu akan dipahami tidak sebagaimana mestinya.<br /><br />"Materi ini kuliah ini penting agar kita memahami apa dan bagaimana sesungguhnya Islam. Jangan sampai ia dipahami dengan konsep yang dikelirukan oleh pandangan dari luar Islam yang sering membawa efek merusak terhadap konsep yang sudah mapan." Tutur Wendi.<br /><br />Memperjelas pendapatnya Wendi mencoba memberikan beberapa contoh kekeliruan penggunaan bahasa (baca: terminologi) yang banyak terjadi yang menyebabkan timbulnya beragam masalah pelik lainnya.<br /><br />Kata "Allah" adalah salah satu yang belakangan hangat mencuat di alam Melayu. Konsep "Allah" yang selama ini kita ketahui sebagai milik Islam menjadi persoalan ketika digunakan penganut Kristen untuk menyebut Tuhan mereka. Bagaimana tidak, konsep Tuhan yang dimiliki keduanya jelas sangat lain. Jika hal ini dibiarkan maka kerancuan dan kekeliruan berpikir akan terjadi dalam masyarakat.<br /><br />“Pluralisme” adalah contoh lainnya. Pluralisme diketahui luas sebagai pengakuan terhadap keberagaman, bahwa tak hanya agama tertentu yang eksis namun juga agama yang lain. Ia disamakan dengan toleransi, padahal tak sesederhana itu. Ia merupakan istilah filosofis yang mewakili keyakinan bahwa agama-agama memiliki kebenaran yang sama. Tidak ada yang lebih benar. Maka tak ada yang boleh dicela. Istilah ini tidak menghendaki adanya truth claim. Ia pun takkan pernah mengizinkan pernyataan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Padahal, lanjut Wendi, tidak ada gunanya beragama tanpa<i> truth claim.</i> "Jangankan dalam agama, dalam berorganisasi atau berpartai pun <i>truth claim</i> selalu ada," tegasnya.<br /><br />Selanjutnya, suara-suara yang ramai bergema saat ini adalah “humanisme”. Ia umumnya hanya dipahami sebagai kepedulian terhadap nasib-nasib orang yang tertidas. Padahal lebih dari itu, secara konseptual “humanisme” menyimpan paham bahwa standar kebenaran ada pada manusia. Tentu sangat bertolak belakang dengan Islam yang menjadikan wahyu tanzil sebagai standar. Maka kemudian istilah “Islam humanis” menjadi istilah yang takbisa diterima karena rancu. Keduanya memliki konsep tersendiri. Muslim adalah muslim, dan humanis adalah humanis, tegas Wendi.<br /><br />Setelah memaparkan beberapa contoh kekeliruan penggunaan bahasa (baca: istilah) Wendi lalu menerangkan bahwa kekeliruan ini pun terjadi pada istilah “Islam”. Islam yang kita pahami sebagai agama yang Allah turunkan melalui Muhammad saw. kini coba direduksi maknanya menjadi “penyerahan diri” semata. Padahal tak setiap yang menyerahkan diri itu Islam.<br /><br /><b>Spiritualisme dan Pengalaman Traumatik Barat<a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_edn4">[4]</a></b><br />Pemikiran keagamaan Barat masa kini oleh Wendi dibagi menjadi dua. Pertama, keyakinan bahwa suatu saat akan terjadi di mana akibat intensitas interaksi antar manusia yang begitu masif akan membuat pemahaman manusia akan keagamaan sama. Inilah yang disebut dengan Kesatuan Transendens Agama-agama <i>(Global Theology)</i> yang diusung salah satunya oleh John Hick.<a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_edn5">[5]</a> Sementara yang ke-dua, intensitas interaksi manusia yang semakin masif justru akan membuat manusia berkesimpulan bahwa agama tidak lagi diperlukan sebab semua rahasia sains sudah terungkap. Hal ini diungkapkan oleh Auguste Comte. Meski lain, kedua pemikiran ini lahir dari rahim yang sama, yaitu perjalanan sejarah Kristen yang traumatik.<br /><br />Doktrin Kristen pada masa lalu sangat membatasi peranan akal. Dalam teologi kristen hidup adalah hukuman. Adam telah bersalah, dan diturunkannya ia ke bumi adalah hukuman. Bagi mereka dunia adalah kelam. Tidak ada gunanya bagi mereka mengetahui apa itu dunia. Maka Kristen pernah melarikan diri dari kehidupan dunia. Maka pada masa yang disebut sebagai <i>"the dark age"</i> itu pengetahuan tentang alam samasekali tidak berkembang di Barat.<br /><br />Wendi lalu menggambarkan bagaimana tindakan mahkamah inquisi Spanyol sebagai tangan Tuhan mengebiri kerja akal manusia dengan memberi penyiksaan yang luar biasa terhadap apapun yang berpotensi menggugat otoritas Gereja. Penyiksaan yang Wendi sebut ‘kreatif’ ini pun tejadi pada para beberapa ilmuwan yang mencoba mengungkap teori hasil penelitiannya namun bertentangan dengan otoritas gereja. Hal ini juga tak lepas dari persoalan teologi dalam Kristen memang tidak jelas (problematik). Maka pengalaman traumatik ini membuat Barat menyingkirkan agamanya dari kehidupan.<br /><br />Sementara di Barat demikian, di belahan dunia bagian Timur pengetahuan tentang alam sedang berkembang begitu pesatnya. Hal yang tiada lain berangkat dari konsepsi Islam dalam memandang alam <i>(kawn)</i>. Ayat-ayat al-Quran sendiri banyak memerintahkan untuk mencari tahu apa itu alam.<br /><br />Ada sebuah ungkapan bahwa ilmu pengetahuan Islam maju karena agama, sementara ilmu pengetahuan Kristen maju karena menjauhi agama. Ini memang benar, kata Wendi. Kemajuan sains Barat berlatar belakang pengalaman traumatik tersebut kemudian membuat revolusi pada alam pikir Barat yang mengalihkan perhatiannya dari akhirat menuju dunia. Agama adalah perhatian kepada akhirat . Agama adalah dongengan dan takhayul. Maka ia pada akhirnya tersingkir atau disingkirkan dari kehidupan karena dianggap sebagai problem yang menghalangi kemajuan. Inilah yang dikenal dengan sekularisme.<br /><br />Namun demikian keterpisahan Barat dari agama menimbulkan kekeringan spiritual yang mendalam. Mereka kemudian mencoba meraih kembali agama namun didekatkan dengan sains untuk menghilangkan takhayulnya, dicari-cari kejelasan rasionalnya untuk menjadi masuk akal. <br /><br />Ia bernama spiritualisme. Spiritualisme adalah cara beragama yang tak menghiraukan Tuhan. Spiritualisme dan agama tentu berbeda. Malas dengan <i>"Organized Religion"</i> karena dianggap sebagai terlalu banyak mengatur, maka ia diganti dengan spiritualisme. Para penganutnya meyakini bahwa secara fisik dalam otak manusia terdapat yang disebut sebagai <i>"godspot"</i>. Inilah perangkat tempat di mana keyakinan akan ketuhanan bekerja. Titik ini yang membuat manusia merasa relijius. Dengan inilah mereka mengklaim sebagai sudah berserah diri (Islam).<br /><br />Padahal, menyinggung pertemuan sebelumnya terkait Konsep Tuhan yang disampaikan oleh Irfan Habibi Martanegara, kata Wendi, kita tak bisa berbicara agama tanpa berbicara tentang tuhan. Mengutip al-Attas seorang filsuf sekaligus mujaddid masa kini Wendi menjelaskan "Bagaimana mungkin kita berbicara agama tapi tidak berbicara tentang Tuhan?" Ini sama halnya dengan pernyataan "Bagaimana mungkin seseorang mengelusnya rambutnya sementara ia botak?" lanjutnya.<br /><br />Intensitas interaksi manusia yang semakin masif yang meniscayakan pemikiran tertentu berlalulalang secara bebas ini pada akhirnya singgah dan mengendap juga dalam pemikiran sebagian muslim. Mereka umumnya adalah yang kecewa dengan pengalaman keagamaannya. Mereka pun menjadi penentang paling keras terhadap Islam walau secara formal mengaku beragama Islam.<br /><br />Maka sejalan dengan yang terjadi di Barat, di Indonesia pun paham spiritualisme ini mengemuka. Ia disajikan dalam berbagai seminar bertema kecerdasan spiritual. Spiritualisme menjadi dagangan yang laku sebab mampu menarik simpati berbagai kalangan dengan berbagai latarbelakang agama dan keyakinan. Maka tak heran seminar ESQ bisa menjadi begitu laku dan Quantum Ikhlas Erbe Sentanu bisa menjadi sebuah buku bestseller. Mencampuradukkan berbagai keyakinan keagamaan sebagai materinya, spiritualisme juga menjadi akar dari penyamaan semua agama (pluralisme), sebuah persoalan akidah masa kini.<br /><br /><b>Agama dalam Pandangan Islam</b><br /><br />Kekeliruan pemaknaan Islam yang sedemikian genting tentu perlu diakomodasi, tutur Wendi. Tradisi keilmuan Islam yang mengagumkan –atas dasar agama ini—menghendaki perkembangan pengetahuan yang juga begitu mengagumkan dalam hal bahasa, selain sains dan teknologi. Para Ulama ilmuwan muslim sejak dulu telah mengodifikasi konsep-konsep kunci Islam dalam berjilid-jilid kitab untuk menjaga keutuhan maknanya. Maka dalam hal ini sangat perlu merujuk kepada literatur otoritatif tersebut untuk mengembalikan kemurnian makna-makna pada tempatnya, termasuk dalam memaknai Islam.<br /><br />Konsep <i>diin</i> Islam yang akan coba menjawab persoalan ini merujuk kepada konsep yang diterangkan Prof. Al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme –sebuah karya yang Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud sebut sebagai bersifat <i>kulli</i>. Ia merupakan konsep yang dinilai baru sebab pemaparan konsep yang seperti ini memang ‘lain’–walau sesungguhnya jika dilihat pada literatur ulama muktabar lainnya akan dapat ditemukan benang merah konsep tersebut. Konsep <i>diin</i> yang tegas akan mampu menghalau kekeliruan yang coba mencampuri konsepsi Islam yang sesungguhnya, bahwa tidaklah benar Islam berarti berserah diri dan berserah diri adalah Islam sehingga siapapun yang berserah diri menjadi layak dikatakan Muslim.<br /><br />Saking pentingnya materi tentang konsep Diin ini, kata Wendi, <i>"The Religion of Islam"</i> menjadi mata kuliah tersendiri di ISTAC <i>(International Institute of Islamic Thought and Civilization)</i><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_edn6">[6]</a> yang wajib diikuti mahasiswa dari berbagai konsentrasi studi.<br /><br />Prof. Al-Attas dalam menuangkan konsepnya ini merujuk pada definisi yang diberikan Ibnul Manzhur dalam <i>Lisaanu l-'Arab</i> –sebuah kamus leksikon bahasa Arab klasik yang disusun sekitar abad ke 7-8 H.<a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_edn7">[7]</a> Lebih lanjut Wendi memaparkan bahwa <i>Diin</i> secara etimologis berasal dari kata <i>daana (dyn)</i>.<a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_edn8">[8]</a> Daana ini memiliki berbagai makna. Salah satu di antara maknanya adalah <b>keberhutangan</b>. Hutang ini sebagai modal perniagaan yang dipinjamkan Allah swt. kepada manusia. إن الإنسان لفي خسر (Q.S. al-‘Ashr [103]: 2). Modal yang dipinjamkan itu adalah kehidupan manusia sendiri. Maka segala yang dimiliki manusia bukanlah miliknya. <br /><br />Modal ini semakin lama akan semakin menyusut nilainya dan tentu semuaya akan berujung pada kemusnahan. Maka, agar manusia tidak merugi keberhutangan ini harus disadari sebagai tidak mungkin terbayar kecuali dengan kewujudannya sendiri di bumi, yakni dengan beribadah dan beramal shaleh. Pengembalian (pembayaran hutang) ini lanjut Wendi ibarat hujan yang dikembalikan ke langit. Hal ini merujuk pada firman Allah: و السماء ذات الرجع<i> (ar-raj')</i> (Q.S. ath-Thariq [86]: 11). <i>Ar-raj'</i> dimaknai para ulama sebagai hujan, sebab air hujan itu senantiasa akan kembali naik ke atas. Air hujan yang naik kemudian akan turun sebagai berkah. Siklus yang sama terjadi pada manusia jika mereka mengembalikan hutangnya. Ia pun akan mendapat berkah.<br /><br />Dalam setiap pengembalian hutang atau modal pinjaman biasanya seseorang akan mendapat laba. Maka <i>diin</i> adalah perniagaan dengan Allah. Laba dalam perniagaan dengan Allah berarti pahala/balasan sebagaimana firmanNya dalam Q.S. as-Shaf [61]: 10: <i>"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?"</i> dan Q.S. Fathir [35]: 29: <i>"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,"</i><br /><br /><i>Diin</i> yang kedua bermakna <b>kekuasaan Hukum</b>. "Permberi hutang akan dapat menguasai orang lain dengan memberinya hutang." kata Wendi. Maka ketika seseroang dihutangi, ia akan melakukan apapun untuk yang memberinya hutang. Artinya karunia Allah swt. terhadap manusia memberiNya kekuasaan hukum atas manusia sehingga manusia menghamba kepadaNya. Di sini ada pengakuan manusia atas otoritas Allah. Otoritas yang menyebabkan kekuasaan, penghakiman, dan pengadilan oleh Allah swt. atas manusia sebagaimana bunyi Q.S. al-A’raf [7]: 172 <i>“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",”</i><br /><br />Makna lain <i>Diin</i> yang ketiga adalah <b>penyerahan diri</b>. Ini dari sisi manusia. Manusia telah dibebani/memiliki kewajiban (dayn) karena diberi kehidupan sebagai hutang, maka ia berserah diri dan taat terhadap pemberi hutang (Allah). Namun penyerahan diri ini dilakukan secara sadar bukan terpaksa (bukan takluk/pemaksaan diri), ia melibatkan komponen hati, lisan, dan perbuatan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nisa [4]: 125 bahwa berislam yang terbaik adalah berserah diri secara sukarela,<i> "Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya."</i><br /><br />Terakhir, <i>Diin</i> berarti <b>kecenderungan alamiah (fitrah)</b>. Ketaatan manusia pada Allah swt. adalah suatu kecenderungan alamiah, sebab memang itulah tujuan penciptaannya (eksistensinya). <i>“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”</i> terang Allah swt. dalam Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56. Maka kezhaliman/kekacauan berarti sesuatu yang telah bergeser dari tempat yang semestinya. Ini keadaan yang melenceng dari fitrah. Maka jika fitrah/kecenderungan ini ditaati sebaliknya akan timbul keadilan, keharmonisan, keselarasan, kesejahteraan, dan keselamatan dalam kehidupan manusia.<br /><br />Keempat makna ini (Keberhutangan => kekuasaan hukum => penyerahan diri => kecenderungan alamiah) berada dalam satu medan semantik yang membentuk konsep yang ajeg dalam <i>"Diinul Islam"</i>. Dengan demikan makna ini tak lagi dapat diubah dan dimaknai dengan pelbagai makna yang sembarang. Begitulah kesimpulan Wendi menutup kuliahnya.<br /><br /><br />Bandung, 27 November 2013_<br /><br /><br />=========================<br /><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_ednref1">[1]</a> Tulisan ini berdasarkan catatan kuliah Pandangan Alam Islam #3 pertemuan ke-3 PIMPIN pada sabtu, 19 Muharram 1435 H (23/11/13) di ruang Lab Fisika lantai 2 Kampus Unikom Jl. Dipatiukur 112-114 Bandung. <div>
<br /><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_ednref2">[2]</a> Mahasiswi Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, aktif di Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Islam (PIMPIN) Bandung. <br /><br /><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_ednref3">[3]</a> Gagasan Prof. Al-Attas terkait bahasa salah satunya dapat dibaca dalam karya beliau berjudul <i>“The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education” </i>atau terjemahan dalam Bahasa Indonesia berjudul: “Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam” oleh Haidar Bagir, diterbitkan Mizan pada Sya’ban 1407 H/April 1987 EB. <br /><br /><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_ednref4">[4]</a> Lebih lanjut tentang pengalaman traumatik keagamaan di Barat ini dapat ditemukan dalam karya Prof. Al-Attas berjudul <i>“Islam and Secularism”</i> atau terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul “Islam dan Sekularisme” yang diterjemah dan diterbitkan PIMPIN Bandung pada tahun 2010 M. Atau juga dapat dibaca dalam “Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal” karya Dr. Adian Husaini, (Jakarta: Gema Insani, 2005 EB). <br /><br /><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_ednref5">[5]</a> Kajian terhadap konsep ini dapat juga dibaca dalam buku yang baru saja diterbitkan <i>Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization</i> (INSISTS) berjudul “Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim”. <br /><br /><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_ednref6">[6]</a> Sebuah fakultas pemikiran dan peradaban Islam di <i>International Islamic University of Malaysia</i> (IIUM) yang direkabangun oleh Al-Attas sendiri untuk mewujudkan gagasan Islamisasi-nya. <br /><br /><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_ednref7">[7]</a> Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1407 H/1987 EB), hlm. 18. <br /><br /><a href="file:///D:/Memahami%20Diinul%20Islam%20(3).docx#_ednref8">[8]</a> Konsep <i>Diin</i> ini secara khusus dan komprehensif dapat dibaca pada sub judul III "Islam: Faham Agama dan Asas Akhlaq" dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN, 2010 EB), hlm. 65-120.<div>
<div id="edn8">
</div>
</div>
</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-61122482848430363822013-12-01T17:50:00.001-08:002013-12-04T17:23:07.251-08:00Media Krabby<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-4pCQFhT4Ujs/Upw8e2L88cI/AAAAAAAAAW0/r-MISiJEa1k/s1600/media.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="http://4.bp.blogspot.com/-4pCQFhT4Ujs/Upw8e2L88cI/AAAAAAAAAW0/r-MISiJEa1k/s200/media.jpg" width="149" /></a></div>
Beberapa hari yang lalu tak sengaja saya nonton Spongebob Squarepants. Tayangan ini walau konyol, saya akui tiap episodenya seru. Tetap menarik walau udah nonton berkali-kali.<br />
<br />
Sebagaimana biasa, Mr. Crab matanya beruang-uang yang berbinar kalau melihat peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan berlipat-lipat. Imajinasinya tentang keuntungan tersebut selalu susunan uang yang rapi memenuhi ruangannya. Ia lalu duduk di atas singgasana yang terbuat dari susunan uang hijau berlogo kerang itu.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Suatu hari ia terkesan dengan sebuah mesin Koran (Mesin yang dalam cerita ini cara kerjanya sama seperti mesin minuman, pembeli memasukkan koin ke mesin itu lalu keluarlah minuman yang diinginkan). Kotak itu bisa dibuka dan diambil isinya hanya kalau dimasuki koin. Pokoknya, Koran di kotak itu laku keras sampai pelanggan mengantre untuk mendapatkannya. Itu berbanding terbalik dengan kotak Koran sebelahnya yang sudah lama mendrakula (grrrrr), maksudnya bersarang laba-laba dan berkarat, di dalamnya setumpuk koran sudah berjamur.<br />
<br />
Mr. Crab membantu seorang ibu-ibu pelanggan membuka kotak Koran dan mempersilakan si ibu mengambil satu eksp. koran setelah si ibu memasukkan koinnya. Bukan karena ikhlas dan penuh adab sampai-sampai ia dihadiahi ucapan terimakasih oleh si ibu, tapi agar dia bisa mengambil Koran untuk kedua kalinya tanpa harus membayar.<br />
<br />
Ya, Koran yang ia ambil secara licik itu untuk keperluan observasi –koran seperti apa yang kira-kira mampu memenuhi keinginan pasar—setelah sebelumnya berpikir bahwa bisnis surat kabar seperti ini akan begitu menguntungkan baginya. Maka, ya (lagi). Koran yang laku di pasaran adalah yang memuat berita sensasional.<br />
<br />
Seperti biasa ia pun memerintahkan karyawannya yang paling rajin dan setia setia (walau rela tak digaji) yaitu Spongebob untuk tugas ini. Sementara waktu, Spongebob cuti membuat KrabbyPatty bersama spatulanya.<br />
<br />
Hari pertama, Spongebob mulai mencari berita. Saking profesionalnya ia sampai masuk cerobong asap rumah-rumah penduduk BikiniBottom. Tangannya di dahinya sambil menoleh ke kanan ke kiri menerawang setiap penjuru kota BikiniBottom bak radar yang mencari sinyal. Banyak bahan berita yang bisa ia liput sebenarnya, mulai dari kecelakaan, tindak kriminal yang terjadi di jalan-jalan, tapi semua itu diacuhkannya. Ia lebih tertarik untuk meliput kawannya Patrick yang sedari pagi memandangi sebuah tiang di pinggir jalan. -_-“<br />
<br />
Dibuatlah berita tentang “Patrick yang memandangi tiang seharian” semalam suntuk pakai mesin tik sampai brewokan. Begitu bagusnya etos kerja Sponegbob sampai semua tahapan pembuatan berita ia lakukan sendiri, dari peliputan sampai pencetakan. Pagi harinya tumpukan Koran sudah menjaja di KrustyCrab sampai menyentuh langit-langit restoran cepat saji itu. Namun, sampai siang Koran-koran tersebut sepi pembeli. Mr. Crab pun bangkrut setelah mengeluarkan biaya cetak yang menguras brangkasnya. Ia lalu memanggil Spongebob untuk rapat evaluasi. Mr. Crab memberi saran (baca: menuntut) agar berita tersebut “dipoles lah sedikit”. “Kalau bisa si Patrick diberitakan jatuh cinta pada tiang itu lalu menikahinya,” saran Mr. Crab sambil coba memanipulasi foto Patrick di Koran itu dengan pensilnya, menggambari 'si tiang' dengan gaun pernikahan.<br />
<div>
<br />
============<br />
Hari selanjutnya, berbekal saran Mr. Crab Spongebob mulai nongkrong lagi di cerobong asap rumah-rumah penduduk BikiniBottom mencari bahan pemberitaan. Ia lalu menemukan Larry, udang lobster berotot itu berjalan keluar dari tempatnya ngegym. Larry bertemu dengan salah satu penduduk BikiniBottom yang postur tubuhnya jauh lebih kecil. Dan, seperti biasa fansnya Larry selalu ingin mencoba memukul Larry. Karena Larry kebal pukulan, takkan merasakan sakit. “Oh, silakan” kata Larry. Fansnya pun segera menonjok perut kotak-kotak enam si Larry. Keduanya pun tersenyum.<br />
<br />
Melihat kejadian itu, otak iblis Spongebob segera menyembul. Ia lalu menangkap gambar Larry yang ‘seolah’ kesakitan dengan pukulan itu, padahal ekspresi itu biasa ditampilkan Larry untuk berpura-pura sakit sebelum kembali berekspresi biasa-biasa saja, ia sesungguhnya tak merasa kesakitan sedikitpun.<br />
<br />
Spongebob pulang gembira dengan hasil liputannya itu. Dengan semangat ia mengetik berita dengan mesin tik nya –bahwa Larry sudah bukan lagi orang kuat, ia dikalahkan seekor ikan yang jauh lebih kecil darinya--, sampai bercucur peluh, sampai mata menghitam karena lesu, sampai brewokan.<br />
<br />
Singkat cerita, Koran itu habis terjual. Mr. Crab memanggil spongebob untuk memberinya pujian sekaligus menugaskan proyek berita untuk hari selanjutnya. “Semangat Spongebob karyawan terbaikku, aku bangga padamu!” katanya.<br />
<br />
Dari hari ke hari spongebob menulis berita dengan cara yang demikian, sampai habis seluruh penduduk BikiniBottom diberitakannya dengan cara yang demikian pula, seiring itu pula pundi-pundi Mr. Crab terus bertambah semakin menghijaukan brangkasnya, menambah tinggi singgasananya. Semua penduduk BikiniBottom gerah dengan pemberitaan-permberitaan manipulatif yang merugikan itu. Larry sampai ditendang jauh dari tempat nge-gym yang telah sekian lama dirajainya, Plankton sampai ditangkap polisi karena produk baru Chumbucket nya yang diberitakan harian itu sebagai berbahaya bagi kesehatan. Dan lain-lain kerugian.<br />
<br />
Spongebob kehabisan akal. Untuk hari berikutnya, Spongebob tak tahu siapa lagi yang harus ia jadikan subjek pemberitaan. Dengan dukungan yang tak kenal lelah dari Mr. Crab di rapat evaluasi, ia pun menemukan ide.<br />
<br />
Singkat cerita penduduk BikiniBottom berhamburan mendatangi KrustyCrab (Mr. Crab udah ge`er membayangkan pundi-pundi yang akan ia peroleh dengan pengunjung sebanyak itu) untuk protes meminta kembali uang yang telah mereka keluarkan untuk sekian edisi koran yang mereka beli.<br />
<br />
Itu karena berita sensasional Spongebob selanjutnya tentang bahwa Mr. Crab-lah yang ada di balik pemberitaan manipulatif (terhadap subjek beritanya)-eksploitatif (terhadap dirinya) yang terjadi di BikiniBottom selama ini.<br />
<br />
hahaha<br />
<br />
<br />
episode yang ini 'nyentil' :D</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-38672680729181176642013-12-01T06:13:00.000-08:002013-12-04T17:23:31.444-08:00Aku, Bangkuku, dan Peradaban Barat**judul ini memang sengaja dibuat dramatis, padahal sebetulnya dramatis bangetttz.<br />
<br />
===========================<br />
<i>(Dulu bacaanku nggak bener. Sekarang ‘mungkin’ ‘sedikit’ ‘agak’ bener)</i><br />
===========================<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-CL0TC5e_nVQ/UptDgr_-PKI/AAAAAAAAAWU/WOpBVixMvi4/s1600/bangku+jadul.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://3.bp.blogspot.com/-CL0TC5e_nVQ/UptDgr_-PKI/AAAAAAAAAWU/WOpBVixMvi4/s200/bangku+jadul.jpg" width="200" /></a></div>
<div>
Kelas 5 SD aku masih di SD Bojongsalam I. Maklum kampoeng, –meski jadi SD favorit di kampoeng itu—sekolahku itu amat langka tersentuh pembangunan. Jadi tak pernah ada pemugaran setidaknya sampai aku pindah sekolah.<br />
<br />
Lantai sekolahku waktu itu masih hitam jaman doeloe yang terbuat entah dari apa, yang kalau tiba musim hujan mendadak nggak bisa menolak untuk ditempeli lempung sana-sini yang <i>emblog-emblogan</i> bawaan sepatu-sepatu para muridnya. <br />
<a name='more'></a>Seminggu sekali lempung yang menempeli lantai kelas sekolah itu kami bersihkan lewat kerja bakti murid satu sekolah yang 'agak' sering diadakan kalau musim hujan. Lempung itu kami kerik atau bahkan kami keruk menggunakan kape saking tebalnya.Tahu kape? Kape itu biasanya terlihat saat digunakan para pembuat roti bakar atau martabak untuk memudahkan membolak-balik makanan itu di wajannya. Kape terbuat dari besi sehingga bisa juga kami gunakan untuk mengeruk lempung itu.<br />
<br />
Selain lantai hitam dengan lempungnya, sekolah kami pun punya ventilasi sekolah yang kaca-kacanya entah sudah pada ke mana saking seringnya dilempari batu (bukan) anak sekolahan di belakang sekolah. Ventilasi yang kerusakannya paling parah –karena bolong-bolong semua takada kaca tersisa selembar pun—ada di sebuah ruang kelas takterpakai yang difungsikan sebagai gudang. Ruangan itu biasa kami gunakan untuk main-main waktu istirahat walau sangat horor. Horor karena di ruangan itu banyak alat peraga IPA (tengkorak-tengkorak dan manikin yang terburai jantung, usus, paru-paru, hatinya) juga kapas-kapas berbercak seperti darah yang diterbangkan angin melalui ventilasi itu dari sebuah pohon kapuk yang buahnya sudah matang. Kami sebenarnya tahu kapas-kapas berbercak darah itu kapuk yang sudah terlalu matang, tapi kapas-kapas itu tetap kami duga sebagai . . . . . kapas orang mati. Dan kesan horor ruangan itu tak pernah hilang. Ruangan itu menjadi tempat buli paling asik.<br />
<br />
Selain lantai dan ventilasi yang mengkhawatirkan, tak kalah mengesankan adalah bangku yang kami gunakan untuk belajar. Bangku yang kami gunakan di sekolah itu adalah bangku jati jadoel yang meja dan kursinya tak berantara, alias menyatu. Tentu saja kalau kami angkat sangat berat. Karena itulah kolong-kolong bangku kami serupa tempat sampah yang takpernah kami bersihkan karena takpernah terjangkau sapu. Apalagi di bangku paling belakang. <i>hiiiii</i><br />
<br />
Suatu ketika,</div>
<div>
Sekolah kami tiba-tibaa dapat sumbangan bangku baru entah dari mana. Singkat cerita bangku-bangku baru itu menggantikan bangku-bangku lama yang berat di kelas kami. Bangku yang lama direlokasi ke ruang kelas yang horor yang terletak disudut itu, sampai pada akhirnya ruangan tersebut tak pernah lagi bisa kamigunakan untuk main-main :(.<br />
<br />
Bangku-bangku baru itu memang bagus. Kursi dan mejanya terpisah. Dan tentu takterlalu berat kalau diangkat. Jadi kami bisa menjangkau sampah-sampah di kolong-kolongnya kalau piket. Bau sampah pun tak lagi terlalu menyengat.<br />
<br />
Dengan senang hati aku duduk di atasnya sembari bersedekap penuh takzim. Tak lupa senyam senyum saking bahagianya. Ku elus-elus bangku mulus itu. Kami pun menjadi lebih nyaman belajar di atasnya.<br />
<br />
(lama kelamaan)<br />
<br />
Kami terbiasa meruncingkan pensil di atas bangku dengan gillete goal yang kami beli dari warung Bi Enci seharga Rp. 250,- perak atau kadang Rp. 200,- perak kalau diwarung Bi Eros dekat rumah. Bangku berwarna coklat muda itu sedikit demi sedikit bernoda bekas meruncingkan ujung pensil itu, selain memangtangan-tangan ‘kreatif’ kami tak tahan untuk tak menulis (corat coret maksudnya) di atasnya dengan ejekan-ejekan kepada genk musuh. Bangku yang mulus itu pun semakin penuh dengan coretan.<br />
<br />
Tak lupa, di tengah kesibukan guru yang entah sangat senang sekali meninggalkan kami ke mana dan untuk keperluan apa, kami main-main dengan silet itu untuk mengiris-iris penghapus yang kami anggap sebagai daging atau leupeut untuk lotek. Kami main masak-masakan ceritanya. Kadang aku harus potong dua silet itu –atau bahkan empat—untuk kubagi dengan teman-teman sebangku, saking kerepotannya melayani pesanan agar cepat terpenuhi. Tidak<i> overlap.</i><br />
<br />
Dengan irisan-irisan itu, bangku yang mulus tentu menjadi berubah tersayat-sayat. Cat pernisnya terkelupas. Tak puas kami kerik-kerik cat itu untuk dijadikan bumbu tabur di atas daging atau leupeut dan lotek sebagai pengganti bumbu kacang setelah makanan itu disajikan di atas pincuk yang menyerupai bungkus lotek. Kami sengaja sobek kertas-kertas di bagian belakang buku kami untuk bungkus lotek itu.<br />
<br />
Ditengah kesibukanku itu . . . . . (aku tak peduli bagaimana perubahan nasib dan rupa yang dialami si bangku mulus itu, yang penting aku bermain dan senang)<br />
<br />
Masih saja tak puas. Kami buat permainan serupa catur (yang entah apa namanya waktu itu, aku lupa). Permainan yang biasa kami mainkan di buruan sekolah atau di atas lantai hitam kelas itu kami pindahkan ke atas bangku. Kubuat beberapa titik kemudian sketsa gambar alas permainan itu di atasnya sementara teman yang lainnya mencari batu-batu kerikil. Teman-teman sekelas mengerubungi bangkuku yang mendadak menjadi arena permainan untuk menyaksikan permainan kami secara langsung.<br />
<br />
Belum masuk permainan <i>(denk)</i>. Aku masih menggaris membuat sketsa dengan penggaris dan pensil yang keras yang cukup untuk meninggalkan ‘bekas’ di bangku tersebut. Ternyata tak terlalu sulit untuk melakukannya karena bangku tersebut tak sekeras bangku jati jadoel sebelumnya. Ku tak menyadari apapun (tak peduli dengan nasib bangku itu). Singkat cerita permainan selesai diiringi riuh rendah sorak sorai kepuasan dan ledekan para pendukung permainan di kedua belah pihak.<br />
<br />
Di lain hari, suasana kelas tak ramai sebagaimana biasa karena separuh temanku tak sekolah. Malam harinya memang hujan besar. Ku paham mereka pasti terjebak banjir karena mereka tinggal di kawasan rawan banjir, kampoeng Bojong Monyet namanya.<br />
<br />
Ku jadi melamun sendirian di atas bangku itu. Sembari merindukan teman-teman bermainku itu kusasar-pandangi berbagai ‘karya’ di atasnya. Ku pun buat yang baru di area yang agak kosong. Tahukah, aku senang menemukan cara baru untuk berkarya di atasnya. Ku memang kreatif. Kutusuk-tusuk bangku itu dengan pensil kerasku sampai berbekas lubang-lubang kecil hitam. Ku buatlah dengan cara itu bentuk-bentuk serupa gambar-gambar bebek, kucing, wajah teman-teman, dan lain-lain diatasnya.</div>
<div>
<br />
==============================</div>
<div>
Dan, aku baru sadar kalau ternyata selain kayunya yang tidak terlalu keras (memang kayu kualitas rendah seken), bangku itu juga dibuat dari kayu-kayu lama yang sudah berlubang-lubang. Ia dibentuk kerangkanya kemudian didempul sedemikian rupa sebelum dipernis sampai menjadi mulus. Kukerik-keriklah bangku itu. Kucungkil-cungkil dempulannya. Aku senang dengan ‘mainan’ baru itu. Memang sangat menyenangkan ^_^ . Kucungkil-cungkil dempulannya sampai habis di banyak titik di bangku itu, sampai bolong-bolongnya pun disana-sini.<br />
<br />
Bagian dempulan memang lebih rentan (empuk) ketimbang kayu-kayu-lamanya, sehingga ‘ukiran’ kami itu bisa dengan mudah kami bentuk (kami temukan bentuknya). Pensil keras kami mudah mengukir bagian dempulannya. Kadang juga dibantu silet. Bagian kayunya dibiarkan, bagian dempulannya dicungkil habis ke dalam. Kukira dulunya di bagian bolong-bolong itu sebuah peradaban rayap berkembang. Ku tak tega meneruskan bayangan tentang bagaimana caranya peradaban itu bisa hancur.<br />
<br />
Kuteruskanlah hobi itu sampai pada saat aku harus pindah sekolah ke Bandung. Entah masih berapa dempulan yang kusisakan di bangku itu untuk dicungkili. Kuwariskan ia secara sukarela kepada siapapun yang menempati bangku itu selanjutnya seltelah kutinggalkan.<br />
<br />
(Aku duduk di bangku terdepan saat itu. Tapi kini aku berpikir entah kenapa guruku itu membiarkan ulah kami… tapi Tidak. Memang guruku itu baik sekali. Kreativitas anak-anak memang tak boleh dihambat)<br />
<br />
Entah sudah berapa banyak bolong yang kutemukan lalu kugali hingga mengungkap kebenaran akan rupa bangku itu sebenarnya. Teman-temanku yang kemudian melanjutkan ekskavasi itu. Mungkin. (di Bandung aku tak bisa melakukan hal serupa. Guruku di SD Batununggal sangat perhatian )<br />
<br />
=================================<br />
Begitulah peradaban Barat.<br />
=================================<br />
<br />
Sampai akhirnya entah bagaimana nasib teman-temanku itu belajar di atasnya. Mungkin sesekali pensil yang keras itu melubangi kertas buku mereka saat menulis pelajaran. Padahal bangku itu belum genap setahun usianya (tapi keburukannya sudah terungkap sedemikian jelas hihi…).<br />
<br />
Perludi ketahui, bukan hanya bangkuku yang nasibnya seperti itu. Teman-teman sekelasku pun sama kreatifnya. Semua bangku itu seiring dengan perkembangan zaman menjadi bolong-bolong.<br />
<br />
Semua bangku di kelas itu bolong-bolong. Hehe…<br />
<br />
Sekian_<br />
(cape aku -_-)<br />
<br />
<i>(Written firstly inspired by</i> Tan Sri Syed Muhammad Naquib al-Attas’s “Islam dan Sekularisme” yang diterbitkan dan diterjemah dari teks asli berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan [PIMPIN] Bandung pada tahun 2010)<br />
<br />
<br />
<i>wassalaamu‘alaykum warahmatullah wabarakaatuh_</i></div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-59990004676725484912013-11-21T09:01:00.002-08:002013-12-04T17:23:53.899-08:00Shalat dan Baca Quran di Luar Kebiasaan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-DlZ7q084JK0/Uo46lGyQPGI/AAAAAAAAAV4/uAOzUt97p7o/s1600/shalat.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="141" src="http://1.bp.blogspot.com/-DlZ7q084JK0/Uo46lGyQPGI/AAAAAAAAAV4/uAOzUt97p7o/s200/shalat.jpg" width="200" /></a></div>
Sebetulnya orang Indonesia jaman sekarang itu mudah saja kalau mau faham al-Quran.....<br />
<br />
(Orang luar biasa adalah orang yang mampu berakselerasi di luar kebiasaan. Jika orang lain dalam setiap harinya biasa(nya) hanya membaca al-Quran (itupun tuntutan mutaba’ah dari si teteh), kita bisa berinteraksi dengannya di luar/lebih dari itu. Memerhatikan tiap kalimatnya lebih dekat, mencoba menganalisanya lebih dalam.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Itu. Yang juga mungkin dilakukan para ulama kita dulu. Sekelas Imam asy-Syafi’I, tak bisa saya bayangkan bagaimana intensifnya, bagaimana dalaaaam perhatiannya terhadap al-Quran, juga as-Sunnah, juga ayat-ayat kauniy, yang membuatnya mampu membuat formulasi kaidah-kaidah ushul dengan cara yang begitu jenius. Bagaimana juga seorang Sibawayh yang keluarbiasaan interaksinya dengan al-Quran membuatnya mampu memformulasi kaidah-kaidah gramatika bahasa Arab (setiap mereka memberi perhatian lebih pada aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan minatnya masing-masing, menunjukkan kedalaman ilmu yang sedia dalam al-Quran. Al-Quran meminjam istilah Prof. Al-Attas begitu saintifik. Kompleksitas keteraturannya berada dalam setiap jihat, dimensi, aspeknya).<br />
<br />
Semua yang para ulama di atas itu lakukan bukan tanpa keluarbiasaan ghirah, ikhtiyar, dan mendalamnya pengenalan mereka terhadap hakikat.<br />
<br />
Saya tak bermaksud menuntut agar kita dapat berdiri sejajar dengan mereka. Tak mengapalah kita selevel lebih rendah. Nggak nggak, Maksud saya, ambillah target minimalnya, yaitu kita faham isi al-Quran. Memang itu kewajiban setiap Muslim (kan?)<br />
<br />
Al-Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab itu Allah swt. katakan “agar kamu berpikir.” Nah, kita belajar berpikir, lebih, tentang ini, berpikir sedikit saja (tak usah banyak-banyak), tak usah ingin seperti mereka-mereka karramallaahu wujuuhahum yang di atas itu. Lagipula kita ini bukan empunya bahasa, bukan penutur asli, kita tak memahaminya. Jadi kita sebetulnya masih punya satu ekstra tanggungjawab, yaitu “mengerti bahasa Arab”.<br />
<br />
(Biarlah mereka para ulama itu seperti itu, dan biarlah kita seperti ini. Biarlah para ulama itu dilahirkan di tanah arab, menjadi penutur asli bahasa arab sehingga memahami al-Quran mudah bagi mereka, sementara kita dilahirkan di tanah bukan-arab dan tidak menjadi penutur asli bahasa Arab sehingga membuat kita ‘agak’ kesulitan memahami alQuran. Karena toh mereka mengajarkan kita, dan kita belajar dari mereka. Mereka yang lebih dulu paham al-Quran, kita menjadi objek ajar ilmu mereka untuk juga memahami al-Quran. Adil bukan? Kita membantu mereka mengalirkan ilmunya sebagai amalan yang takterputus (itu juga kalau kita mau, harus mau, takada pilihan lain). Mereka, membantu kita memahami alQuran. Jadi impas, kita saling ketergantungan. Semoga suatu saat nanti kita dapat bertemu dengan mereka. Allaahumma Aamiin….,))<br />
<br />
Isshhh.... Enough. To the point.<br />
<br />
<div>
Terjemahan al-Quran yang sudah ada saat ini sebetulnya sudah sangat memudahkan kita (kita sangat perlu bayangkan bagaimana dulu seseorang berusaha menerjemahkannya pertama kali dengan susah payah --A.Hassan di antara yang mula memperkenalnya lewat tafsir al-Furqan--, supaya kita bersyukur sudah ditinggali barang jadi). Bahkan penerbit al-Quran kini tak kehabisan akal menciptakan inovasi juga varian yang pelbagai untuk memenuhi kebutuhan ummat akan hal ini. Diterbitkanlah al-Quran versi tajwid yang memudahkan kita untuk men-tahsin bacaan Quran kita. Diterbitkan juga al-Quran dengan terjemah per-kata untuk memudahkan memahami maknanya perkata. Bahkan belakangan diterbitkanlah al-Quran yang lengkap dengan sabab nuzul juga tafsirnya dari berbagai mufassir. Jadi, akan sangat mudah bagi kita untuk belajar, hanya dari Quran terjemahan itu. Tak perlu kita cari-cari kitab Sibawayh yang ‘berat’ itu, atau manzhumat alfiyyahnya Ibn Malik yang ‘berat’ juga, atau Ahmad Musthafa alGhulayayniy dengan Jami'u d-durus-nya jika kita tak mampu membelinya, juga mencernanya. Pun tak perlu kita kesulitan cari kitab-kitab kaidah bahasa Arab lainnya yang lebih enteng dari itu, karena tanpa guru yang ‘memadai’ mereka itu... 'agak' sulit dicerna.<br />
<br /></div>
<div>
Sebaliknya, kita hanya perlu memberi perhatian pada alQuran & terjemahannya itu dengan cara yang ‘lebih’. Lebih dari sekedar membaca, lebih dari sekedar memenuhi tuntutan mutaba’ah, lebih dari hanya melafalkan simbol-simbol bahasa Arab dengan suara nyaring tanpa paham apa yang dibaca dan mengacuhkan terjemahnya, atau lebih dari membaca al-Quran dan terjemahnya yang bergantian setiap satu ayat.<br />
<br />
Caranya, misal, kita perhatikan kalimat “alhamdu lillaahi” ini cocok dengan terjemahan yang “segala puji bagi Allah” ini. Kata yang “rabbi l’aalamiin” itu cocok dengan terjemahan yang “Tuhan semesta alam” itu. Kalimat-kalimat tersebut masih bisa dipotong-potong lagi menjadi beberapa kata-kata berarti tersendiri. Jika sudah terbiasa dengan kata-kata itu, saking intensnya, saking perhatiannya (lagipula kosakata alQuran takterlalu), di kemudian (pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi akan hal ini) akan nampak dalam pikiran kita bahwa: oh ternyata pola bahasa arab itu seperti ini ya, oh ternyata susunan kalimat dalam bahasa Indonesia dan bahasa arab itu begini bedanya ya, dan ooooh oooooh lainnya.<br />
<br />
Lamaaaaa kemudian, setelah kita ulang-ulang berkali-kali khatam al-Quran dengan cara ini, coba kita baca dengan perhatian yang ‘lebih’ lagi, cerapi ‘lebih’ mendalam setiap katanya, lalu ke susunan kalimatnya, seterusnya cobalah berusaha untuk memahami alur cerita di dalamnya melalui bahasa Arab yang banyak di antara kosakatanya telah terrekam memori kita. Gulirkan mata kita untuk menatap bergantian dari teks arab ke teks terjemahan untuk mencocok-cocokkan antara kata dan artinya, bukan antara satu ayat dengan terjemahannya. Ketika suatu saat dalam pikiran kita sudah tergambar asosiasi sedemikian rupa yang membentuk sebuah alur cerita tertentu ketika membacanya, saat itulah kita telah benar-benar membaca al-Quran. Membaca, sebagaimana kita membaca tulisan dalam bahasa ibu. Semakin lama, semakin pandangan kita akan jarang menatap terjemahan, karena konsep bahasa Arab beserta banyak kosakatanya telah bersepadu seirama dalam pikiran kita. Suatu saat kita akan dapat benar-benar membaca sebagaimana seorang native membaca, tak perlu lagi alat bantu terjemahan. >> karena makna al-Quran terlalu dalam untuk sekedar dipahami lewat terjemahan, terjemahan tak selalu mampu (selalu tak mampu) mengalihkan makna yang ada dalam teks bahasa sumber secara keseluruhan.<br />
<br />
Dengan demikian, akan sangat mudah bagi kita menghafalnya, juga menjaganya. Hafalkan dengan cara seperti ini, gunakan dalam shalat, shalat kita pun insyaAllah akan khusyu’, karena kita tahu apa yang kita ungkap dan adukan pada tuhan kita. Selanjutnya kita akan betah berlama-lama shalat. InsyaAllah shalat yang kita lakukan pun efektif. Tanhaa ‘ani l-fahsyaa wa l-munkar.<br />
<br />
Ini baru namanya “mendirikan” shalat.<br />
<br />
Shalat, amalan apa yang pertama kali ditanyakan di alam barzakh.<br />
<br />
(Lalu, saya tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang hanya menghabiskan 5 menit saja untuk 4 raka’at shalat? apa yang sebenarnya ia baca? Saya jadi kebingungan pertanyaan seperti apa yang harusnya saya tanyakan di sini. Oh, mungkin ia membaca sebagaimana seharusnya, namun, seberapa cepat ia membaca? Apa dengan kecepatan seperti itu ia bisa menghayati setiap untaian kalimatnya? atau, apa yang membuatnya bisa tergesa-gesa seperti itu? Apa yang ia dapat dari shalatnya jika tergesa-gesa? Apa yang lebih penting dari momen-momen saat shalat itu?)</div>
<div>
__________<br />
<br />
Memahami bahasa Arab hanya satu aspek ketika berbicara soal shalat, meski aspek yang sangat penting, yang utama. Aspek lain yang tak kalah penting untuk menunjang kekhusyu’an shalat adalah aspek ruh, jiwa. Shalat tanpa komitmen untuk tulus melakukannya insyaAllah takkan khusyu’. Sebab, pikiran begitu liar. Ia bisa berlari ke mana saja yang ia mau. Karenanya kita coba ikat ia dengan komitmen. Kita panggil kembali kesadaran kita bahwa shalat adalah doa. Ia adalah sebentuk ritus yang tak sekedar untuk menunjukkan ketundukkan kita kepada Empunya alam raya (sekedar lepas tanggung jawab), melainkan juga menghendaki kedekatan secara langsung antara seorang hamba dengan yang ia ritusi. Karena Allah tak serigid itu. Allah swt. bisa sangat dekat dengan hambanya. Ia adalah Raja, namun Ia mau blusukan mendekat kepada yang Ia rajai. Allah baik hati. Tidak sangar. Maka kita bisa curhat padaNya, mengeluhkesahkan kesulitan hati dalam menangani hidup kepadaNya, sehingga Ia akan menenteramkan hati kita (Itulah pentingnya kita tahu apa yang kita ucapkan dalam shalat).<br />
<br /></div>
<div>
Maka dari sebanyak jam yang kita gunakan untuk beraktivitas di dunia ini, takkan mengapa jika kita luangkan barang minimal limabelas menit saja setiap kali shalat (Itu tak lama, berbanding curhat pada teman kita yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam). Tapi kita takkan bisa bayangkan nikmatnya kedekatan itu jika kita hanya baru melafalkan bacaan shalat dengan cara yang biasa-biasa saja, tanpa ruh, tanpa penghayatan, shalat yang kosong dari makna. Ia hanya dapat diperoleh ketika kita faham dan tulus melakukannya.<br />
<br /></div>
<div>
Sekali lagi, pikiran kita memang liar. Apalagi dikatakan dalam beberapa hadits bahwa godaan syetan lebih intens kala kita mencoba mendekat dengan Tuhan kita dalam ibadah. Secara halus ia meniup buhul-buhul kita, atau merasuk mengaliri urat-urat nadi kita bersama darah untuk mengalihkan fokus kita kepada yang lain. Mengingatkan barang yang hilang misalnya, mengingat-ingatkan kita pada komentar seseorang dalam status fesbuk, mengingat-ingatkan kita akan apa yang terjadi di waktu-waktu lalu, atau menelusupkan kepada pikiran kita angan-angan tentang sesuatu. Tak masalah sebetulnya kalau pikiran-pikiran itu menjadi maudlu’ yang terkoneksi ke dalam shalat kita. Yang masalah adalah pikiran-pikiran “yang lain-lain” di luar maudlu’ shalat yang tak terkoneksi ke shalat.<br />
<br />
Nah, ketika hilang fokus (hilang khusyu’) itu terjadi, seberapa keras usaha kita untuk mengembalikan pikiran pada komitmen semula. Mengembalikan kesadaran bahwa kita ini sedang shalat yang benar-benar ingin “mendirikan” shalat. InsyaAllah fokus akan kembali.<br />
<br />
Nikmatnya shalat.... juga bila shalat berjama'ah seorang imam membaca dengan penuh penghayatan, makhrajnya sempurna, intonasinya mantap, suaranya lugas, dan… tentu saja makmum juga faham apa yang dibaca imam. Maka takkan lagi ada alasan untuk berpaling dari fokus shalat.<br />
<br />
Saat bertakbir, kita memujiNya. Saat berifitah, kita memuja, memohon perlindunganNya. Saat berfatehah, kita memuja-mujiNya, menyatakkan keagunganNya, lalu memohon untuk senantiasa dibimbing di atas jalan yang benar. Juga puja-puji lainnya dalam gerak dan baca lainnya. Dalam sujud, atau akhir tahiyyat, kita keluhkan tentang apa yang pernah menimpa pada diri. kita minta, dan meminta. Allah senang jika hambaNya meminta, sambil membanggakan karya-karya agungNya…. Apapun itu….<br />
<br />
Jadi, khusyu’nya shalat memerlukan sinergi berbagai aspek.<br />
Jika shalat setiap orang benar-benar benar, jika setiap orang “mendirikan” shalatnya, setiap individu dalam suatu masyarakat akan mawas diri, masyarakat yang beradab akan tercipta.<br />
karena >> inna sh-shalaata tanhaa ‘ani l-fahsyaa`I wa l-munkar……<br />
<br />
<br />
Wallaahu a’lamu_<br />
<br />
#entahlahlagikepinginngoceh, geremett sama yang shalatnya sebentar amatt -_-"<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-8359657936020278572013-11-11T20:03:00.004-08:002013-11-11T20:03:58.782-08:00the impressionscukup banyak mahasiswa Malaysia yang kuliah di Unpad, entah berapa persentasenya, utamanya di Fak. Kedokteran. dulu, setiap pagi, pagi sekali sebelum angkot berjejer di gerbang lama, kami senantiasa susul menyusul berjalan dari gerbang lama -menuju fakultas-, lalu berpisah di perempatan bawah tanjakan cinta.<br />tapi tak pernah ada tegur sapa di sana. masing-masing hanya memburu kuliah. berjalan, menatap lurus ke depan atau tertunduk fokus ke bawah, entah sedang mencari semut, entah menghitung paving blok trotoar. saya sering sengaja mendahului mereka yang terlihat sngat kompak dengan seragam kurung bunga-bunganya itu.<div>
<br />entah, seperti ada dinding cukup tinggi yang menyekati saya (kami) untuk membina hubungan dengan mereka. sebabnya, katanya, terjadi diskriminasi pelayanan pendidikan oleh kampus lah, termasuk yang ramai diberitakan di media-media soal pencaplokan, pengklaiman, dll yang menurut Dato' Sahlan tadi itu justru akibat ulah "orang luar" yang tak suka terhadap hubungan rekat Indo-Malay. <br />dalam 4 tahun, cuma seorang saja dari mereka yang berhasil sy ajak berkenalan. agak lama kami berbincang berusaha mengenal satu sama lain. tapi, suatu saat bertemu ia sudah tak ingat lagi sy (hehe)<br /><br />tp, dlm dua hari saja, kedekatan kami sudah begini rupa, kegiatan luar biasa ini mengubah pandangan saya terhadap mereka, samasekali. mereka, seperti saudara sedarah, bertemu bertukar pikir pun layaknya dengan sahabat dekat. mereka begitu sama (dengan kita). hanya bahasa. tapi itu justru membawa kami pada kerekatan.<br />alhamdulillah kami dipertemukanNya di sini. silaturahim pun silatulfikr semoga terjalin smakin erat dalam 4 hari mendatang.<br />semoga semakin banyak jg 'ibrah & hikmah yang bisa diserap untuk kemudian dapat bermanfaat, sebagaimana yang menjadi cita-cita bersama penduduk alam Melayu. ^^</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-69089039600055417492013-11-11T20:01:00.000-08:002013-11-11T20:01:51.606-08:00Menuju BogorLamanya belasan tahun. Waktu itu karcis KRD-ekonomi masih seribuan, dari stasiun Haurpugur ke stasiun Kircon, atau dr st. Kircon k st. Haurpugur. Bapa slalu nekat loncat sambil menggendong kami di sebelah kiri & kanannya saat kreta masih melaju kencang, agar mndapat akses yg lbh mudah menuju sekolah kami, memburu waktu agar kami tdk kesiangan. St. Haurpugur memang stasiun kecil & tua, tp sana tempat kami menuju, sana kami menunggu, sana kami berharap cemas, sana jg kami tersenyum ketika senja yang bermega mengizinkan jutaan capung bermain2 brsma kami, atau ktika memasuki gelap kami trtawa2 brsama jutaan 'siraru' yg mengerubungi neon2 di atas kepala kami yg sdg menunggu kreta, sayap2nya lepas, kami hentakkannya dgn sepatu kami hingga beterbangan ke sana kemari. Kreta pun tak terasa datang. kami segera tersenyum lebih lebar krna hendak brtemu Mbu & adik2 kami d kota sana.<div>
<br />d kreta, kami brdesakan. wlau bgt kami slalu trharu ktika Ibu2 d sana mnawarkan lututnya spya kmi tak kelelahan brdiri. Smbil duduk d ats lutut ibu baik hati itu kami memerhatikan Bapa yg menggantungkan tangannya di temali atap kreta smbil trkntuk2.</div>
<div>
<br />Ad yg brjualan pulpen duaribu lima, ad jg yg brjualan boneka2 mini dr kain2 perca seribulimaratusan, pnjualnya menggeser2 karung besarnya dr satu calon pmbeli k clon pmbeli lain sampai berlalu brkali2 d hdpan kami spnjng prjlnan, ohya yg paling brkesan adlh penjual "enoog parinang enooog..." bgtu jargonY ktika mnjajakan jualannya.<br /><br />tak kalah berkesan adlah terowongan. ia yg paling kami tnggu, wlau paling kami takuti. KRD-ekonomi memang gelap, ktika memasuki trwongan kami serasa menghilang, wlau msh bisa mrasakan tnggorokan sndri brgetar krna menjerit. jeritan yg bersahutan antara kami & anak2 lainnya d gerbong itu.<br />sampailah d kircon. tak lengkap rasanya klau tak mmbwa buah tngan utk Mbu & adik2. Waktu itu 'sagebleg' martabak spesial yg 'lunyu' & leker masih limaribuan. Kita naik becak dr situ mnju sekelimus. Sesampainya, sisa tenaga kami gunakan utk mkan martabak itu keroyokan..<br /><br />^^"<br /><br />kereta ini berbeda. Ada asenya. Tempat duduknya jg empuk. D depan belakang ada elsidi. Sy pun bisa ngecas hape sambil ngetaip & sesekali melirik k jndela d sblah kiri.<br />takada sensasi yg trlalu berarti ktika mmasuki terowongan, krna chaya d kreta ini maksimal, sy pun mnempelkan wajah k kaca jndela, menutupi celah2nya dgn tangan agar dpt menemukan gelap itu lg,<br />sy jd ingat waktu itu.<br /><br />Terowongan yang cukup panjang. Tp akhirnya berakhir juga. Tatapan diminta brpaling k arah timur, di sana ad cahaya yg lembut hangat mengintip di sebalik tebing. Subhaanallah___</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-17118059435148281212013-11-11T18:12:00.001-08:002013-11-11T18:12:22.104-08:00Lirik Gemuruh - Faizal Tahir<a href="http://liriklagu-lyricsongs.blogspot.com/2009/12/lirik-gemuruh-faizal-tahir.html#.UoGLvLE8iyA.blogger">Lirik Gemuruh - Faizal Tahir</a><br />
<br />
Pasca penutupan workshop Kepemimpinan Muslim Muda Indonesia-Malaysia selama 7 hari 6 malam di beberapa kawasan di kota Bogor, lagu ini menjadi bulan-bulanan peserta yang diputar berkali-kali, dibuat status berkali-kali, pasalnya lagu ini mampu menjadi penutup yang manis. Diputar mengiringi video berdurasi 18 detik 56 detik berisi memori kedekatan serumpun Malindo............<div><br />
________________________<br />
Bila bertalu rentak di kalbu<br />
Hasrat yang tersirat semakin ku buru<br />
Bila bergema laungan gempita<br />
Harapan bernyala nadiku berganda<br />
<br />
Gemuruh jiwa semangat membara<br />
Dari puncak ingin ke angkasa<br />
Berkalungkan bintang berkelipan<br />
Menyerlah jauh dari yang biasa<br />
<br />
Bila bertalu rentak di kalbu<br />
Hasrat yang tersirat semakin ku buru<br />
Bila bergema laungan gempita<br />
Harapan bernyala nadiku berganda<br />
<br />
Gemuruh jiwa semangat membara<br />
Dari puncak ingin ke angkasa<br />
Berkalungkan bintang berkelipan<br />
Menyerlah jauh dari yang biasa<br />
<br />
Ungkapan ini bukan sekadar bermimpi<br />
Segalanya pastikan terbukti nanti<br />
<br />
Gemuruh jiwa semangat membara<br />
Dari puncak ingin ke angkasa<br />
Berkalungkan bintang berkelipan<br />
Menyerlah jauh dari yang biasa</div><div><br />
</div><div>dengar <a href="http://www.youtube.com/watch?v=L9R-vFzuTv4">di sini_</a></div>lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-85487748730803096852013-11-11T06:18:00.001-08:002013-11-11T06:18:19.926-08:00Where are we going???(Saya tulis ketika mengunjungi grup FB Keluarga Akademisi Persis Unpad. Sengaja grup tersebut saya tampangi gambar jalan di tengah hutan)<br />
<br />
krik. krik.. krik... krik....<br />
masih,<br />
suara jangkrik yang mendominasi di antara rimbun dedaunan yang bergesekan satu sama lain<br />
di sana gelap<br />
karena ia jarang dijamah manusia<br />
entah kenapa<br />
padahal sebuah jalan sudah dibangun beberapa tahun lalu<br />
untuk membelah hutan tersebut.<br />
<br />
maksudnya,<br />
agar ada yang mau membuat peradaban di seberang hutan sana.<br />
tahukah?<br />
di sana,<br />
ada mentari yang jika terbit alangkah indahnya.<br />
ada embun yang masih setia menggelayuti setiap serat tetumbuhan.<br />
ada cekungan yang sedia menampung aliran embun itu jika terjatuh,<br />
agar cinta bisa dibagi ke semesta,<br />
menumbuhkan senarai elok berwarna warni,<br />
penyegar mata<br />
dan kalbu.<br />
<br />
tapi hanya<br />
krik.. krik... krik....<br />
dan sesekali suara gagak<br />
yang seramlulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-52204216283790017362013-11-11T03:14:00.000-08:002014-12-17T04:00:03.144-08:00Siapa Dina Y. Sulaeman?? (4)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-6SqPAtAMed0/UoChgukYBTI/AAAAAAAAAVg/InjEXXrspeM/s1600/dina.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="116" src="http://4.bp.blogspot.com/-6SqPAtAMed0/UoChgukYBTI/AAAAAAAAAVg/InjEXXrspeM/s200/dina.png" width="200" /></a></div>
Ini komentar Dina Sulaeman terhadap catatan saya beberapa waktu yang lalu, cek <a href="http://risnainayah.blogspot.com/2013/09/teori-menulis-efektif-temuan-pemula.html">di sini, </a> Dina menuduh saya memfitnahnya tanpa mau bertabayun kepada saya, bahkan malah saya diblok dari friendlistnya di facebook.<br />
<div>
<br /></div>
<div>
Tapi, usut punya usut, ini ternyata memang kebiasaannya, ia tak segan akan memblokir seseorang dalam friendlistnya di FB jika tak sepaham dengannya (menyatakan ketidaksepahamannya). Sebab ini pun pernah terjadi pada beberapa teman saya lainnya. Seorang di antaranya adalah bu Erma. Saya masih ingat, ketika itu, sebelum saya berteman dengan Dina Y. Sulaeman di facebook (apa setelah berteman sebentar ya? saya lupa, pokoknya gitu deh) Bu Erma pernah mengeluhkan dirinya diblock Dina dari friendlistnya hanya karena tak sepaham pandang soal konflik Suriah. Jika Bu Erma ‘secara kebetulan’ sepandang dengan media mainstream barat (begitu juga media-media Islam Indonesia lainnya), Dina ‘tetap konsisten’ menunjukkan ketakberpihakannya pada Israel, dan tentu sejurus dengan itu Dina mengambil sikap ‘anti barat’ dan ‘anti media barat’. Dina dalam berbagai tulisannya mengampanyekan bahwa (apa yang disebutnya sebagai) konflik antarmadzhab (antarmadzhab yee :P) sengaja secara kompak diblow-up oleh media mainstream Barat ‘didukung’ oleh media mainstream Islam Indonesia itu untuk mengalihkan perhatian dari konflik sebenarnya, yaitu konflik Israel-Palestina. ooyeeaaaahh!!!<br />
<br />
____________<br />
Ohya, Dina memang seharusnya tak terusik tak bergeming ketika ada tulisan yang mencoba menyerangnya, Ia seorang publik figur kontroversial, tentu hal biasa baginya. Merasa terusik seperti itu hanya akan menunjukkan kelemahannya. Tapi sepertinya Dina menuruti saran saya itu, sebab ia tak pernah lagi membahasnya. :P<br />
<br />
Tapi, btw, untuk apa pula saya masih saja membahas Dina Y. Sulaeman?<br />
<div>
<i>Cukupi saja lah, apa anda tak takut dengan ancaman konsekuensi ‘mengghibah’ dan ‘memfitnah’ sebagaimana hadits yang oleh Dina kutip dalam komentarnya terhadap tulisan anda tempo lalu??</i></div>
<div>
<i>Oh no, this is not a part of ‘me’</i>. Saya hanya sekadar merenung tentang beberapa hal yang bertubrukkan dalam otak saya lalu saya curhatkan di sini. Semoga dengan begitu keterpusingan saya bisa terobati. <i>Bukan begitu, saya hanya merasa bersedih karena kecewa didepak olehnya dari friendlistnya, padahal saya ngefans. </i>Tapi, tidak tidak, bukan begitu, saya hanya kecewa karena Dina yang baik hati ternyata bersekongkol dengan mereka untuk mengecewakan saya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ya, Dina menelanjangi media Islam mainstream untuk menunjukkan seolah ia seorang jurnalis yang adil. Namun ia adil hanya tatkala menyerang sunni. Di kemanakan fakta-fakta kekejian Bashar al-Asad yang banyak itu? tak pernah ia sebut. Begitukah jurnalis yang adil?<br />
<br />
Ssttt…. Sudah lah, jangan bersedih…. Coba simak dulu di bawah ini, lalu kamu bisa melanjutkan kesedihanmu. <i>Hiks hiks..</i><br />
<br />
Di jumlah total pembaca ke-2000an tulisan sederhana saya soal siapa Dina Y. Sulaeman, Ada beberapa perkembangan informasi terkaitnya yang perlu saya catat di sini. Pertama, Otong Sulaeman, suami dari Dina Sulaeman yang sedang menempuh pendidikan doktoralnya di Filologi FIB Unpad yang prodi tersebut diketuai oleh dosen pembimbing skirpsi saya Prof. syarif Hidayat (panjang juga keterangannya, maaf ya kalau gak bisa nafas dulu bacanya) kini sedang melakukan penelitian filologi penting di Iran. Dina ikut dalam penelitian tersebut bersama suaminya ke Iran. <br />
<br />
Dari situ saya tahu, Dina, mahasiswi teladan pertama se-fakultas sastra & teladan kedua se-Universitas pada masanya ini memang sangat berprestasi. Ini saya ketahui dari tulisannya yang berjudul <a href="http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/10/04/pentingnya-sejarah/">Pentingnya Sejarah</a> yang menceritakan sekelumit pengalamannya dan suaminya saat melakukan penelitian itu di Iran beberapa waktu yang lalu. Dina dan suaminya selain pandai berbahasa Inggris dan Arab, juga bahasa Persia, lisan maupun tulisan.<br />
<br />
Dina dalam berbagai tulisannya memang kerap membuat terjemahan dari bahasa Inggris maupun Arab. Terjemahan itu selalu mengikutkan link tulisan aslinya, meski tak yakin juga apa para pembacanya suka mengakses link tersebut atau tidak. Terjemahannya sangat baik, mengalir, enak dibaca, dan mudah dicerna, seolah bukan terjemahan.</div>
<div>
<br />
Soal bahasa Persia, sejak pertama menerima beasiswa studi di Iran, Dina barang tentu sudah mempelajarinya. Sebab tak mungkin sekolah di luar negeri tanpa menguasai bahasa setempat. Ini juga ditonjolkan Dina dalam beberapa tulisan terakhirnya ketika menceritakan soal penelitian filologi suaminya. Otong berdiskusi dengan seorang Rektor Univ. Ferdowsi terkait naskah-naskah kuno ketika berusaha menjelaskan apa itu arti filologi dalam bahasa Persia. Katanya, orang Iran tak mengerti apa itu filologi karena memang akademisi Iran tak menemukan kesulitan yang berarti ketika membaca naskah-naskah kuno tersebut, jadi tak perlu memelajari ilmu-ilmu khusus seperti itu. Hal ini lain dengan di Indonesia, yang bahkan menurut filolog Titin Nurhayati Makmun pun penelitian terhadap naskah-naskah kuno yang penting ini masih teramat minim, hanya dapat dihitung jari. <i>Huh</i>, apatah lagi kalau semua orang Indonesia bisa mengakses (baca: memahaminya), malahan ia dikeramatkan oleh sebagian orang karena dianggap suci.<br />
<br />
Kedua, Dina Suleman yang beberapa bulan yang lalu masih mengurusi administrasi untuk melanjutkan studi doktoralnya di HI Unpad, kini sudah pede memajang namanya dengan embel-embel “Mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Peneliti Global Future Institute” di setiap tulisannya. Nampaknya memang, ia serius, bahkan sangat serius dengan studinya, sangat kompak dengan suaminya.<br />
<br />
<i>Saya jadi tambah galau (walau skripsi saya belum kunjung selesai), studi apa ya yang selanjutnya mau saya ambil? Budaya, Linguistik, atau filologi?</i><br />
<br />
Alternatif terakhir ini baru saya tertariki setelah membaca beragam buku terkait hermeneutika dan usaha pengaplikasiannya dalam studi al-Quran, juga buku-buku terkait sejarah melayu-Indonesia, terutama buku Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu Prof al-Attas, juga makalah Titin Nurhayati Makmun terkait studi naskah keagaamaan di nusantara yang ternyata di nusantara (baca: Melayu) ini khazanah budaya dan intelektual keIslaman teramat melimpah, sementara studi terhadapnya sangat minim. Ditambah keseriusan Otong Sulaeman yang bikin saya mendidih, pasalnya, <i>koq saya nggak serius sejak awal????!!!!! Saya baru sadar kalau ternyata kuliah di jurusan sastra Arab itu beeeeerrrrraattt sekali</i>. Maka saya pernah mempertanyakan, mengapa Unpad tak membuka fakultas khusus soal <i>Oriental dan Islamic Studies?? Bahan kajiannya itu luas banget broo!! Nggak kuat!!</i><br />
<br />
<i>Alaa kulli haal,</i> ini barangkali patut kita jadikan renungan dan pelajaran, bahwa dalam kompetisi antara haqq dan bathil ini kita tak semestinya membuang-buang waktu untuk hal-hal tak berfaidah. Dina dan keluarganya ini tentunya cukup untuk dijadikan inspirasi, bahwa kita harus semakin keras berusaha. Peluh harus semakin banyak tercucur, mata harus semakin sedikit terlelap,</div>
<div>
semoga Allah memberkahi siapapun yang berjuang di jalanNya.. aamiin..<br />
<br />
Selain itu, ketiga, hal lain yang ingin saya ungkapkan di sini. Pasca dua seri memoir saya tentang Dina saya terbitkan (memang kedua tulisan tersebut belum agak cukup untuk menunjukkan siapa Dina), seorang aktivis Muslimah Hizbut tahrir Indonesia yang juga ngefrend di FB tiba-tiba mengirim message/chat ke saya<br />
<blockquote class="tr_bq">
"hei<br />
Risna saya baca postingan blog kamu tentang bu Dina<br />
Masalah kamu sepertinya kerangka berfikir<br />
Kamu harus melepaskan label, gerenalisasi, dan menilai orang dari fakta yang zhahir saja.<br />
kenapa kamu gak nanya langsung ke bu Dina saja tentang beliau.<br />
Bu dina itu orangnya terbuka. Beliau pernah main ke DPP Muslimah HT untuk penelitian<br />
dia ngoblol banyak dan secara pandangan politik banyak kesamaan walaupun dalam banyak hal lain dia gak setuju.<br />
Syi'ah di Indonesia lebih banyak prasangkanya daripada faktanya.<br />
Ada banyak aliran syi'ah dan kita gak bisa generalisasi."</blockquote>
</div>
<div>
Barangkali si Teteh itu tak membaca tuntas tulisan saya, apatah lagi membaca tulisan-tulisan Dina di blognya (???). Bahwa Dina tak pernah sedikitpun menaruh simpati pada Hizbut Tahrir. Untuk membuktikannya, silakan saja baca tulisan-tulisannya, tak pernah ada pujian untuk HT, apalagi untuk usaha-usahanya ideologisnya, bahkan justru secara tidak langsung mencacinya, membongkar aib-aibnya, lihat saja pada tulisannya yg memuat gambar MHT sedang berdemonstrasi di ….. soal gambar yang MHT muat di situsnya. Atau baca tulisan Ainur Rofiq yang secara sukarela dimuat Dina dalam Blognya yang menunjukkan bahwa Dina mendukung benar-benar gagasan Ainur Rofiq itu, bahwa HT bagi Dina termasuk dalam kategori takfiri (selain salafi wahabi) yang kekuatannya jika tidak dibendung akan mengancam keutuhan NKRI, tidakkah itu saja sudah jelas?<br />
<br />
Then,<br />
<br />
<i>Allaahu a’lam bi sh-shawaab_</i></div>
</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-53052816078827872842013-11-02T01:38:00.001-07:002013-11-02T01:38:40.354-07:00Pengajian Agama Islam: Sejarah Berdarah Syi'ah Rafidhah (Bagian 1) - Ust...http://www.youtube.com/v/_nrPHPDrbg8?version=3&autohide=1&autohide=1&autoplay=1&attribution_tag=RPfFxSH1DQUFjhgbBAJSdA&showinfo=1&feature=sharelulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-64445817622866432542013-10-28T21:14:00.000-07:002013-11-01T06:49:35.887-07:00"Capruk" Soal Musik<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-AInFtlV3nd4/Um83bWz6ooI/AAAAAAAAATg/DMbjcNu0WxY/s1600/piano.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="154" src="http://1.bp.blogspot.com/-AInFtlV3nd4/Um83bWz6ooI/AAAAAAAAATg/DMbjcNu0WxY/s200/piano.jpg" width="200" /></a></div>
Mendengar <i>Love Story</i>nya Richard Clayderman, <i>Simphony</i>nya Bethoven, saya jadi ingat berbulan-bulan ke belakang, ada seorang mahasiswa FIB memainkan piano klasik yang dipajang begitu saja di lobi dekanat FIB Unpad (sekarang piano itu entah dipindah ke mana).<br />
<br />
Saya pernah mencoba memencet-mencet tutsnya saat lobi dekanat itu sepi. Karena ungkin terlihat aneh, saya pun menghentikan usaha saya itu, sebab ada orang melihat saya (seperti baru memegang benda semacam itu :D )<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
Tapi dia, yang saya tak tahu siapa –yang jelas saya terkesan—memainkan beberapa lagu klasik & pop Indonesia dengan begitu lihainya. Saya pun selama setengah jam mematung mendengarkannya.<br />
<br />
<i>And it’s so amazing</i>, saya tak pernah mendengar lantunan piano secara langsung seperti itu. Ia memainkannya begitu rapi. Tak bisa saya lupakan.<br />
<br />
Tempat saya berdiri dan tempatnya memainkan piano itu berjarak sekitar sepuluh meter, sayangnya terhalang tiang yang cukup besar, jadi saya tak bisa melihat siapa dia. Baru saat dia beranjak, saya pun beranjak dari tempat saya mematung, saat itu saya baru ingat kalau punya keperluan yang cukup penting, saya langsung berlari dari tempat itu tanpa sempat melihat siapa dia.<br />
__________________________<br />
<br />
Btw,<br />
<br />
Pun saya selalu terkesan dengan petikan dawai gitar dengan melodi klasik.<br />
<br />
Kata Mbu yang bisa main gitar (sementara saya tidak bisa), ada dua cara memainkan gitar, pertama digambreng, kedua dipetik. Itu entah teori dari mana, yang jelas begitu kata Mbu. Yang pertama, yaitu gambreng, adalah ketika seseorang meminkan gitar dengan memetik keenam senar secara bersamaan, kamu bisa bayangkan bagaimana dan bagaimana suara yang keluar dari sana. Ini bukan dipetik melainkan disentuh. Artinya ibu jari atau kuku telunjuk kita menyentuh/mengusap keenam senar secara bersamaan sampai muncul suara yang mirip dengan “gambreng” atau “genjreng”. Ya, itulah mungkin mengapa Mbu menamakannya “gambreng”.<br />
<br />
Yang kedua, petik, yaitu ketika seseorang memainkan gitar dengan cara memetik/menyentuh satu-satu senarnya. Yang ini sepertinya lebih sulit, dan memang demikian menurut Mbu. Permainan seperti inilah yang biasanya digunakan dalam instrument gitar klasik, Depapepe juga sering memainkannya. Ini memadu-padankan antara kepiawaian mengambil nada juga memilih dawai. Karena itulah, kelihaian memainkannya perlu intuisi yang tajam. <i>Ajhiiaaa ….</i><br />
<br />
Ah, entahlah, ini Cuma yang bisa saya tangkap soal gitar dari Mbu. <br />
<br />
Mbu itu katanya dulunya, waktu mudanya, seorang personil sebuah band bernama “Rawatas”. Rawatas itu singkatan dari <i>rawatan sarerea</i>. Mbu sebagai pemain bass, yang senarnya Cuma 4 itu. Katanya, selain piawai bermain gitar dan bass, Mbu juga berbakat bermain angklung, kecapi, dan perangkat gamelan lainnya. Itulah mengapa Mbu sering terpilih untuk mewakili sekolahnya dalam ajang-ajang seni-budaya-sunda. Itu dilakoninya sejak masih di bangku sekolah dasar sampai kuliah. Suara Mbu juga bagus, setidaknya sampai menikah, Mbu jarang bernyanyi lagi, kecuali di rumah. Sekalinya Mbu tampil menyanyi untuk dalam walimah saudara misalnya, pun nafasnya sudah pendek-pendek.<br />
<br />
Bakat ini diperolehnya turun temurun dari nenek. Nenek pandai menyanyi keroncong, nyinden, dll. Saya kagum sama vibranya<i> hhee</i>. Sesekali nenek juga sering menyanyikan lagu-lagu Belanda dan Jepang ketika bercerita soal masa mudanya. Di usianya yang kepala delapan pun kini, nenek masih ingat lirik lagu anak-anak Belanda, ketika ada teman si Teteh yang berkunjung ke rumah untuk pamitan setelah lulus seleksi tahap ke-dua beasiswa studi pascasarjana ke Utrech Belanda Jurusan Matematika, nenek mengajarkannya sebuah lagu anak-anak Belanda.<i> Ah sayang sekali saya lupa liriknya.</i><br />
<br />
<i>Whoalaah, jadi ngelantur gini saya!!</i><br />
__________<br />
<i>Akhirul kalam,</i> saya masih galau dengan kedudukan hukum musik dan nyanyi dalam Islam. Buku “Ketika Nyanyian dianggap Halal”nya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, seorang ulama salaf murid dari Ibn Taimiyyah yang dalam buku setebal 2 senti itu membahas terkait secara komprehensif, pun belum kunjung saya tamatkan.<br />
<br />
Halal-haramnya Yusuf al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer, memang ‘agak’ moderat memandang musik dan nyanyian ini, artinya baginya ada musik yang dibolehkan, ada juga yang tidak.<br />
<br />
Meski begitu, reputasi Ibnul Qayyim yang di mata saya jauh lebih tinggi ketimbang Yusuf al-Qardhawi membuat saya lebih percaya Ibnul Qayyim, yang mana cenderung memandangnya tegas.<br />
<br />
Tapi entahlah, ada pernyataan yang lebih moderat saya malah jadi moderat. Hati cederung pada yang pendapat yang tegas, tapi nyatanya masih senang mendengar instrumen-instrumen itu, karena mereka memberi efek tersendiri untuk suasana hati saya.<br />
<br />
Tapi, sekali lagi, saya buku Ibnul Qayyim itu belum saya tamatkan.<br />
<br />
Memang nurani saya berkata, tak sepantasnya seorang muslim mencari ketentraman hati dari apa yang tidak Rasulullah sendiri anjurkan.<br />
<br />
<i>(dicekapkeun wae caprukan simkuring)</i><br />
<i><br /></i>
<i>Wallaahu a’lamu bi sh-shawaab_</i><br />
أرنا الحق حقا و ارزقنا اتباعه و أرنا الباطل باطلا و ارزقنا اجتنابهlulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-55110861093510767842013-10-25T06:48:00.000-07:002013-10-28T22:36:03.085-07:00Counter Isu Pluralisme, Elemen Mahasiswa Unpad Gelar Bedah Buku “Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim.”<br />
<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<img border="0" height="150" src="http://1.bp.blogspot.com/-xTJmzT3-A2o/UmuaLvgdi2I/AAAAAAAAAS0/f3HJorWPk9E/s200/859828_627631127275936_575797856_o.jpg" style="text-align: center;" width="200" /></div>
Untuk pertama kalinya INSISTS <i>(Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations)</i> ‘merambah’ satu lagi kampus besar di negeri ini, Universitas Padjadjaran. Bekerjasama dengan Hima-Himi Persis Unpad dan DKM al-Muslih Fakultas Ilmu Budaya Unpad, INSISTS pada sabtu (19/10) menggelar bedah buku yang baru saja diterbitkannya yaitu “Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim”.<br />
<br />
Bedah buku ini merupakan yang kedua kalinya diselenggarakan atas kerja sama dengan elemen kampus. Sebelumnya, bedah buku ini diselenggarakan di Universitas Indonesia atas kerjasama dengan DISC <i>(Depok Islamic Study Circle)</i> Masjid Ukhuwwah Islamiyyah UI pada sepekan sebelum ini, Jum’at (11/10) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.<br />
<br />
<a name='more'></a>Kini, bedah buku yang diselenggarakan di Aula Gedung B (Ruang B.303) FIB Unpad-Jatinangor sejak pukul 09.30 hingga pukul 11.30 WIB ini menyulut antusiasme puluhan mahasiswa yang datang dari beberapa perguruan tinggi di Bandung lainnya seperti UIN Sunan Gunung Djati dan STAI Persis Bandung.<br />
<br />
Hadir sebagai pembicara Adnin Armas, M.A., direktur eksekutif INSISTS yang juga salah seorang penulis buku tersebut sekaligus penyunting keseluruhannya. Adnin juga seorang pakar filsafat Islam yang jebolan ISTAC-IIUM bidang pemikiran Islam (Islamic Thought) dengan Tesis berjudul <i>Fakhruddin al-Razi on Time </i>pada tahun 2003. Acara ini dipandu oleh Muhammad Dzikri –mahasiswa tingkat akhir Jurusan Sastra Jepang FIB Unpad, penyiar radio MQ FM—sebagai moderator.<br />
<br />
Adnin membuka bedah bukunya dengan penjelasan bahwa buku tersebut merupakan kumpulan makalah terkait isu pluralisme agama yang sebelumnya pernah terbit dalam majalah ISLAMIA –sebuah jurnal yang menjadi wajah terdepan dakwah INSISTS. Karena jurnal yang terbit rutin setiap tiga kali dalam setahun ini sudah langka maka, tambah Adnin, timbul inisiatif untuk menerbitkannya kembali dalam format buku, mengingat ummat pun masih sangat membutuhkan pencerahan mengenai isu ini.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-CtU6CoQHF7U/Um9HTHWcQRI/AAAAAAAAAUM/Sb_rDm0e_Q8/s1600/1395975_3651167054112_109411603_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://2.bp.blogspot.com/-CtU6CoQHF7U/Um9HTHWcQRI/AAAAAAAAAUM/Sb_rDm0e_Q8/s200/1395975_3651167054112_109411603_n.jpg" width="200" /></a></div>
Buku ini terdiri dari tulisan-tulisan kritis para cendekiawan muslim yang mendalami bidang-bidangnya. Di antaranya, pada buku tersebut terdapat penjelasan historis dari mana dan dari siapa gagasan ini bermula, yang dijabarkan oleh Adnin dalam tulisan berjudul “Gagasan Fritjhof Schuon tengan Titik Temu Agama-agama” yang diletakkan di muka. Juga terdapat bantahan terhadap pandangan-pandangan para penggagas isu ini yang mana seringkali mencatut nama Ibn Arabi untuk mencari pembenaran-pembenaran dan justifikasi. Hal terkait secara lengkap dibahas oleh Mohd Sani Badron pada tulisan setelahnya. Sani Badron ini seorang cendekiawan asal Malaysia yang specialist Ibn Arabi. Beliau mendapat gelar akademik M.A dan Ph.D di bidang pemikiran Islam atas karya-karya yang juga membahas terkait Ibn Arabi, dalam tesis berjudul <i>Ibn al-‘Arabi’s Conception of Religion</i> dan disertasi berjudul <i>Ibn al-‘Arabi on Divine Unity</i>. Maka telaah kritis pada buku ini merupakan bantahan argumentatif dan sangat bisa dipertanggungjawabkan nilai keilmiahannya. Selain itu juga terdapat beberapa tulisan terkait apa yang seringkali membingungkan ummat, yakni konsep ahlul kitab, terkait ayat-ayat semisal al-Baqarah: 62 yang seringkali ditukil dan ditafsirkan sedemikian rupa untuk menjustifikasi bahwa al-Quran menghalalkan gagasan pluralisme.<br />
<br />
Ada beberapa hal yang menurut Adnin mengalami penyesuaian dalam kumpulan makalah yang diterbitkan dalam format buku ini, di antaranya kata Adnin dalam pengantar buku ini “Mengangkat kembali kosa kata Bahasa Arab yang mulai dihilangkan sembari menghindari sebisanya berbagai ungkapan yang keingris-inggrisan,” misalnya mengubah istilah-istilah ‘absolut’ menjadi <i>‘mutlak’</i>, ‘relatif’ menjadi <i>‘nisbi’</i>, definisi menjadi <i>‘takrif’</i>, atau istilah ‘terma’ menjadi istilah <i>‘istilah’</i>, termasuk juga istilah ‘masehi’ yang diganti menjadi ‘Era Bersama’, karena makna ‘masehi’ mengandung unsur ‘ketuhanan’ dalam agama Kristen, sementara ‘Era Bersama’ punya makna yang lebih umum.<br />
<br />
Selanjutnya, pada sesi pertanyaan, ketika menjawab pertanyaan salah seorang peserta Adnin menuturkan bahwa pemikiran destruktif ini sesungguhnya dapat dengan mudah kita kendalikan hanya dengan logika, membolak-balikkan logika. Dengan catatan, lanjutnya, logika kita terlatih. Contohnya mengenai relativisme. Seorang mahasiswa lalu bertanya terkait paham yang juga berakar dari filsafat perennial ini, katanya, seseorang pernah mengajukan premis bahwa “Jika Rasulullah saja menganjurkan untuk berempatik, mengapa tidak kita sebagai ummat Islam juga berempatik terhadap agama yang lain? itu artinya saat kita berinteraksi dengan mereka kita merasakan berada pada posisi mereka,” Jawab Adnin tegas: “Jawab saja, jika anda menawarkan kepada saya untuk berempatik, kenapa tidak anda dulu yang berempatik? Jika anda punya empatik itu, anda tak seharusnya memaksakan ide anda kepada saya, berusaha memengaruhi saya dengan gagasan anda!”. Demikianlah, Adnin emnyimpulkan bahwa toleransi bukanlah menyamakan perbedaan, melainkan membiarkan perbedaan, itulah empatik yang sebenarnya.<br />
<br />
Berikutnya, dari beberapa interaksi bersama peserta bedah buku, diharapkan kemudian muncul karya-karya dengan tema serupa namun dalam genre berbeda sehingga mudah dicerna semua kalangan terlebih masyarakat awam. Mengingat justru nilai-nilai pluralisme ini sudah menjadi konsumsi publik sehari-hari yang digelontorkan penganutnya secara masif namun halus melalui media massa, tontonan-tontonan, drama, karya-karya sastra yang menyentuh kemanusiaan, dan lain-lain.<br />
<br />
Adnin menutup bedah buku ini dengan ungkapan bahwa kita tidak boleh sekali-kali merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki, yang kita pelajari di kampus, karena sejatinya setiap muslim memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal bermu’amalah (kehidupan sosial), yakni dakwah. Adnin menyebut Adian Husaini yang menelurkan puluhan karya terkait perlawanan terhadap pemikiran Barat, padahal secara latar belakang akademik Beliau adalah seorang dokter hewan lulusan IPB. Juga dirinya yang berlatar belakang pendidikan filsafat namun menelurkan sebuah karya berharga seputar kajian kritis terhadap metodologi Bibel dalam studi al-Quran yang kini mulai marak dilakukan di perguruan tinggi – perguruan tinggi. Juga karya-karya cendikiawan muslim lainnya yang menunjukkan kegigihan jihad pena mereka.<br />
<br />
Selanjutnya, komunitas mahasiswa Islam di Unpad dan Insists sama-sama berharap di kemudian terjalin kerjasama yang lebih erat dalam dakwah ini, mengingat masyarakat akademis merupakan agen utama perubahan, sebagaimana konsep-konsep ishlah yang dirumuskan pemikir Islam kontemporer SMN al-Attas.<i><br /></i>
<i>Wallaahu a’lam bi sh-shawaab_</i><br />
<span style="font-size: x-small;"><br />(Rep: Risna Inayah)</span>lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-53260291537274063362013-10-14T09:37:00.000-07:002013-10-28T22:30:38.534-07:00Ada Bedah Buku "Pluralisme Agama, Telaah Kritis Cendekiawan Muslim" di Unpad<div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-IKmi079gJJk/Ul-8jE3PyKI/AAAAAAAAASg/FDFOyuQfgx0/s1600/pamflet+bedah+buku+insists.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="153" src="http://4.bp.blogspot.com/-IKmi079gJJk/Ul-8jE3PyKI/AAAAAAAAASg/FDFOyuQfgx0/s200/pamflet+bedah+buku+insists.png" width="200" /></a></div>
Di tengah makin maraknya konflik antarumat beragama dan juga pertanyaan mengenai nasib umat agama lain di akhirat sana, muncul pemikiran baru memberikan alternatif pandangan bagi sebagian orang. Pemikiran ini bernama pluralisme agama.</div>
<br />
Paham ini mengangankan robohnya sekat-sekat antar agama dimana semua agama dapat berdamai dan berjalan bersama menuju keselamatan dan kebenaran yg diinginkan semua manusia. Paham ini juga mewartakan pandangan baru tentang kebenaran, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah dan sama pula benarnya menuju Tuhan yg sama.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
Akibatnya kebenaran dan keselamatan menjadi begitu lumer. Setiap agama apapun nama dan bagaimana pun bentuk ritusnya, ialah sama-sama jalan yg sah menuju keselamatan dan kebenaran yg diangankan sebagai abadi. Buku ini mencoba memberikan jawaban bagi kerancuan paham pluralisme agama tersebut. Bahwa tidaklah benar kebenaran dan keselamatan ada di semua agama.<br />
<br />
Buku ini diikhtiarkan untuk menjawab pandangan-pandangan rancu yg membahayakan akidah ini.<br />
<br />
(dikutip dari <i>backcover</i> buku)<br />
<br />
<i>Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization</i> (INSISTS) bekerjasama dengan Hima-Himi Persis Unpad, Dkm Al-Mushlih FIB Unpad, dan FKDF Unpad mengundang sahabat maya untuk menghadiri bedah buku ini pada:<br />
<div>
<br /></div>
<div>
Sabtu, 14 Dzulhijjah 1434 H / 19 Oktober 2013 M,<br />
Pukul 09 :00 - 13:00 @Aula PSBJ (Pusat Studi Bahasa Jepang)<br />
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Jatinangor-Sumedang<br />
<div>
<div>
<br />
Pembicara : Ust. Adnin Armas, M.A. [Direktur Eksekutif Insists]<br />
Pakar Filsafat Islam, Penulis Buku "Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran".<br />
<br />
Moderator : Muhammad Dzikri [Penyiar Muda MQ FM]<br />
Sastra Jepang FIB Unpad angkatan 2009<br />
<br />
Daftar ketik Nama_institusi<br />
ke<br />
Narahubung:<br />
085715773185 (akhawat)<br />
085794980900 (ikhwan)<br />
<br />
<b>Gratiiis!</b></div>
</div>
</div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-39335667098256480032013-10-09T08:30:00.000-07:002013-10-28T22:31:04.297-07:00Adab dan Urgensinya dalam Pembangunan Umat“Adab bukan semata tata cara atau sopan santun yang nampak secara zahir, melainkan lebih dari itu ia bermakna ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya yang tepat’,” kurang lebih demikianlah Prof. Madya Dr. Ugi Suharto mengungkapkan batasan terkait apa yang disebut dengan “Adab” ketika menyampaikan materi bertajuk “Adab dan Urgensinya dalam Pembangunan Umat” dalam Daurah yang diselenggarakan Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (Pimpin) Bandung Ahad lalu (18/8/2013) di ruang GSS Masjid Salman ITB.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
Tema yang disampaikannya ini menjadi begitu teramat penting mengingat hilangnya adab <i>(the loss of adab) </i>merupakan salah satu faktor terpenting dari kerusakan umat Islam saat ini. <i>The loss of adab</i> ini menurut Ugi disebabkan oleh kekeliruan dalam memahami apa itu ilmu. Kekeliruan tersebut selanjutnya dapat mengakibatkan kekeliruan dalam menempatkan sesuatu. Tak ayal oleh sebab itu maka kini banyak muncul pemimpin-pemimpin palsu, juga para ‘ahli’ palsu yang dianggap laik disebut sebagai pakar pada bidang-bidang tertentu di dalam kehidupan.<br />
<br />
Ugi Suharto selanjutnya mengungkapkan bahwa antara ilmu <i>(khobar shadiq)</i> dan informasi <i>(khobar)</i> itu berbeda. Beliau menjelaskannya dengan membuat perumpamaan, yaitu ketika seseorang mendapati kabar bahwa rekannya telah meninggal dunia. Jika kabar yang sampai kepadanya itu belum terbukti benar, maka ia masih berupa informasi. Sementara itu, kabar tersebut dapat kemudian menjadi ilmu bila kebenarannya sudah terbukti. Pembuktian kebenaran ini menurut Ugi dapat melalui pengalaman secara langsung; atau kabar yang disampaikan oleh orang-orang terpercaya. Dengan cara seperti itu maka akan muncul keyakinan dalam diri si penerima kabar bahwa kabar tersebut memang benar adanya.<br />
<br />
Kekeliruan dalam membedakan apa yang disebut dengan ‘ilmu’ dan ‘informasi’ ini, lanjut Ugi, dapat mengakibatkan kekeliruan dalam meletakkan keduanya pada tempat yang tepat –‘informasi diangkat derajatnya sebagai ilmu, sebaliknya ilmu malah direndahkan sebagai informasi.<br />
<br />
Sementara itu pada derajat yang lebih tinggi ‘ilmu’ dapat membimbing seseorang untuk dapat mengenali tempat-tempat yang tepat. Ilmu ini disebut juga sebagai hikmah. Hikmah adalah ilmu dengan derajat tertinggi, karena melaluinya seseorang mampu mengenali tempat yang tepat bagi segala sesuatu, bagaimana kedudukannya, serta bagaimana hubungannya dengan Sang Pemilik dan Penguasa ‘alam, Allah <i>Subhanahu wa Ta’ala</i>. Karena tempat bagi segala sesuatu sudah diatur dalam Islam, maka ia menjadi acuan sekaligus panduan bagi bersikap dan bertindak secara benar. Kebenaran dalam meletakkan segala sesuatu inilah yang disebut sebagai ‘adab’. Dengan adab keadilan dapat terbit. Maka adab merupakan sebaik-baik akhlak, karena implikasinya yang begitu besar –yakni keadilan. Selanjutnya, maka ukuran bagi keberhasilan pendidikan dalam pandangan Islam pun adalah ketika adab tersebut tertanam dalam segenap diri-diri manusianya <i>(ta’dib).</i><br />
<br />
Ada beberapa tingkatan keadilan yang disebutkan Pria yang tengah mejabat sebagai salah seorang staf pengajar <i>College of Business and Finance di Ahlia University Kingdom of Bahrain</i> ini, yakni keadilan yang dibangun seorang muslim dalam memerlakukan Allah <i>Subhanahu wa Ta’ala</i>, inilah yang pertama sekaligus paling utama. Selanjutnya adil dalam memerlakukan diri sendiri, baru kemudian adil dalam memerlakukan masyarakat. Ini bukan berarti menyifati keadilan sebagai relatif dan dikotomis, namun justru bermakna bahwa seseorang yang sudah berlaku adil terhadap Allah Swt. –dengan caranya menunaikan kewajiban-kewajiban untuk memenuhi hak-hakNya—maka ia telah juga berlaku adil pada dirinya sendiri, karena hak-hak nya yang telah terpenuhi. Namun bila menempatkan posisi keadilan ini saja keliru, maka yang akan berlaku adalah sikap tidak beradab pada Allah <i>Subhanahu wa Ta’ala </i>sekaligus juga dirinya. Ini sebagaimana yang banyak terjadi saat ini, keadilan selalu diusahakan untuk tegak dalam masyarakat, namun banyak yang lupa memenuhi kewajibannya pada Allah <i>Ta’ala </i>juga dirinya sendiri. Kondisi ini kemudian disebut sebagai <i>zhalim.</i><br />
<br />
Terakhir, Pria yang tengah berada dalam bimbingan langsung Prof. Dr. SMN Al-Attas ketika masih mengampu mata kuliah <i>History and Methodology of Hadith</i> di ISTAC ini menegaskan, bahwa keberhasilan individu-individu dalam membangun keadilan dalam dirinya akan dapat membentuk paradigma <i>ummatan wasathan</i>, ini yang akan menghantarkan mereka menjadi <i>khayru ummah</i> (sebaik-baik ummat) kelak. <i>Wallahu a’lam.</i><br />
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<span style="font-size: x-small;">Rep: Sakinah Fithriyah</span></div>
<div>
<span style="font-size: x-small;">Ed: Risna Inayah</span></div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-5453008062281837232013-10-08T23:54:00.000-07:002013-10-28T22:31:36.161-07:00Kata Sudjiwo Tedjo Soal "Bahasa"<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-zoB_ORgEsJ8/UlT-2K1h_hI/AAAAAAAAARk/XEuVuUjJ9QA/s1600/dalang.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="http://2.bp.blogspot.com/-zoB_ORgEsJ8/UlT-2K1h_hI/AAAAAAAAARk/XEuVuUjJ9QA/s200/dalang.jpg" width="125" /></a></div>
Rencana menghadiri bedah buku “Prahara Suriah”nya Dina Y. Sulaeman, senin kemarin (7/10/2013) saya malah bertemu Mbah Sudjiwo Tedjo. Berikut apa yang bisa saya catat,<br />
kurang lebih seperti ini,<br />
soalnya rekaman yang saya buat ga jelas.<br />
-------------------<br />
<br />
Sudjiwo Tedjo, sama-sama meyakini bahwa unsur budaya terpenting adalah bahasa. Jika bahasa rusak maka rusaklah kebudayaan suatu bangsa. Tema ini mewarnai sebagian besar isi buku yang baru saja ia terbitkan, “Dalang Galau Ngetwit” dan “Ngawur Karena Benar”. Keduanya merujuk pada persoalan yang sama.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
Budayawan yang membintangi gala misteri “Kafir tidak diterima di Bumi” pada tahun 2004 ini mengaku bahwa Karni Ilyas hobi mengundangnya dalam ILC karena sudut pandang yang ia ambil senantiasa unik, ia mampu mencairkan suasana, berani mengambil sudut pandang yang bukan mainstream, walaupun ngawur tapi benar, katanya, sebagaimana judul bukunya itu.<br />
<br />
Kedua buku yang baru saja ia terbitkan itu meski terlihat tak serius tapi sesungguhnya serius dan menyentuh akar persoalan, begitu kurang lebih kata orang-orang yang sudah membacanya. Yang memberikan endorsementnya pun bukan orang-orang sembarangan, yaitu tokoh sekaliber Mahfud MD yang seorang mantan ketua mahkamah konstitusi sebelum Akil, Ahmad Mustofa Bisri, Kang Abik sastrawan kenamaan dengan segudang karyanya yang berharga, Dewi ‘Dee’ Lestari novelis, dan lain-lain.<br />
<br />
Kata Tedjo, orang Indonesia iki aneh, moso orang romantis dibilang galau, orang ngasih pendapat dibilang curhat, orang ingin tahu dibilang kepo, kapaaaan Indonesia ini bisa maajuuu???? Ia begitu semangat sambil melotot mengucapkannya. <i>Audience </i>yang memenuhi kursi di ruangan utama Pameran Buku Bandung 2013 itu pun riuh bertepuk tangan sembari tertawa lepas melihat aksinya itu. Belakangan saya tahu kalau kalimat-kalimat yang pernah saya <i>share </i>dari status seorang teman saya itu asalnya dari celetukan Mbah Tedjo di <i>Twitter.</i><br />
<br />
Singkat cerita <i>audience</i> puas dengan <i>talkshow</i>nya itu. Sesungguhnya banyak fenomena-fenomena yang ia bahas di sana, dari skripsi hingga demokrasi, terkait ketololan-ketololan dan kekonyolan-kekonyolan manusia lainnya, terkait paradoks-paradoks yang ada dalam hidup ini.<br />
<br />
Bermaksud meminta dukungan asumsi-asumsi terkait sesoalan kebahasaan yang telah lama saya bangun, di sesi pertanyaan saya kemudian bertanya, “Apakah menurut Mbah persoalan kekeliruan penggunaan bahasa ini menjadi akar kekacauan yang terjadi di sekitar kita? Lalu apa solusi yang menurut Mbah tepat?” “ya,” jawabnya. “Saya sedang menyusun sebuah esai terkait ini, begini…..” katanya, dengan gaya tutur dan gesturnya yang khas ia coba membangun imajinasi <i>audience</i> untuk juga memikirkan apa yang ia pikirkan. Katanya kurang lebih begini, ini khusus bagi seorang yang percaya bahwa bahasa itu muncul begitu saja. Saya pun tak mengerti sesungguhnya bagaimana proses pengajaran itu, atau barangkali Tuhan menitipkan memori tertentu dalam otak manusia sehingga menciptakan bahasa itu?? entahlah, <i>wallaahu a'lam.</i><br />
<div>
<br /></div>
<div>
Begini, katanya, dulu…. Duluuu sekali…. sebelum manusia punya bahasa, sebelum manusia tahu kata (tekannya), Sebelum berdiri masjid-masjid, gereja, vihara……</div>
<div>
Unsur Tuhan yang ada pada sepoi angin, riak air, lambay daun, cantik manusia, begitu disadari manusia. Dan manusia tahu cara mengaguminya, ia sadar Tuhan ada di sana, karena itu ia tahu cara menjaganya dari kerusakan, karena ia sadar jika tidak menjaganya maka rusaklah keseimbangan alam, enyahlah kekaguman padanya, hilanglah kenyamanan.<br />
<br />
Namun, setelah ia menemukan ‘kata’, tahu cara menandai apa yang ia temukan dengan suara yang keluar dari mulutnya, ia namailah apa yang ia temui, lalu ia pengaruhi orang lainnya untuk menamai hal-hal serupa yang mereka temui dengan cara ia menamainya. Kemudian muncullah agama. Agama adalah cara orang-orang mengagumi semesta, cara itu ditemukan seseorang, ia pun menginstitusikannya, lalu menyebarluaskannya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Agama-agama ini bagi Tedjo membuat kemerdekaan pikiran manusia terkurung karena cara-cara segelintir orang dipaksakan kepada orang lainnya untuk menjadi cara-cara kolektif. Agama adalah dogma, katanya. Namun, lanjutnya, manusia ini inkonsisten, ia beragama, namun ia pun banyak menyimpan ketakutan-ketakutan lain dari selain kepada yang ia ikrarkan untuk ia sembah dalam caranya beragama. Manusia punya rasa ragu, punya rasa bimbang, itu artinya tak cuma satu yang ia Tuhankan (bagi mereka yang mengimani Tuhan yang satu), tak cuma apa yang ada dalam agamanya. Manusia seringkali takut melakukan ini itu karena ada dia di situ. Manusia, pun saling memengaruhi satu sama lain dengan apa yang ia yakini, maka sejak saat itulah kekacauan-kekacauan terjadi. Bagi Tedjo, agama lah yang menjadi sumber kekacauan yang ada di dunia ini.<br />
<br />
Apa yang diyakininya ini, terkait agama sebagai sumber dari segala konflik juga banyak diyakini orang-orang semisal nama-nama yang dikutip oleh Adian Husaini dalam bukunya yang terkenal “Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam”. Lenon misalnya, seorang musisi kenamaan yang mengungkapkannya dalam lirik-lirik lagunya.<br />
<br />
Di sisi lain, ketika ia tahu bahwa saya seorang mahasiswa jurusan Sastra Arab di Unpad, begini katanya, saya paham jika anda kemudian memberi pertanyaan seperti ini, orang yang bergelut di bidang sastra memang punya kepekaan lebih terhadap bahasa. Lanjutnya, saya akui, bahasa Arab itu memang bahasa yang paling logis, dengan strukturnya yang teramat baik, teratur. Ia mempunyai akar-akar kata yang dari situ dapat muncul banyak kata lainnya, bentuknya menjadi sedikit berbeda, namun ikatan semantiknya tetap mantap bertahan. Maka itulah mengapa struktur bahasa Arab itu tak banyak mengalami perubahan. Lain dengan bahasa Indonesia, yang mudah berubah dengan bahasa alay, bahasa Vickys, dan lain sebagainya. Inilah mengapa, katanya, budaya Indonesia menjadi kacau.<br />
<br />
Unsur budaya yang paling penting dan paling kentara itu bahasa, tekannya, bukan batik. Rusaknya budaya Indonesia bukan karena sejauh mana manusia Indonesia kurang intens berinteraksi dengan hasil karya lokal yang ia miliki, namun karena sejauh mana manusia Indonesia mampu menggunakan bahasanya dengan baik. <br />
<br />
(Ini tak jauh berbeda keadaannya dengan orang-orang Arab dengan bahasa <i>‘aamiyyah</i>nya, mulai menjauhi bahasa<i> fushhaa</i> yang sturkturnya teramat sempurna rapi itu. Selain itu bahasa Arab kini banyak mengalami pengasingan. Maksudnya, terakulturasi oleh budaya asing, sehingga manusia Arab semakin jauh –tak begitu—mengenal lagi kekayaan luhur bahasa yang dimilikinya. Bahasa Arab bukan mengalami kerusakan, namun telah banyak terlupakan karena tergerus arus pembaratan)<br />
<br />
Jadi, solusinya, simpulnya, <b>banyak-banyaklah menulis..!!</b><br />
<br />
Pemilik akun twitter @sudjiwotedjo yang pernah menjadi seorang wartawan Media Kompas ini pun menyinggung soal “shodaqoh”, bukan “sedekah”, katanya fasih. Begini katanya, jika seseorang yakin bahwa semesta ini Tuhan, dalam lingkupan Tuhan, maka ia akan yakin bahwa antara pemberi dan yang diberi merupakan juga salah satu keteraturan yang ditetapkan Tuhan atas semesta. Artinya, antara pemberi dan yang diberi tak perlu ada rasa tinggi diri maupun rendah diri. Maka keadilan yang merata akan tercipta di dunia ini.<br />
<br />
-------------------------<br />
Saya simpulkan, keberadaban itu setengahnya terdapat dalam nurani manusia, selain dalam aturan-aturan yang menghandaki keteraturan (keberadaban) yang muncul baik dari manusia maupun Tuhan dalam bentuk otoritas (perintah dan larangan). Maka saya ber<i>do’a, </i></div>
<div>
<i>mun ku Allah teh dijanggilekkeun we saeutik hatena… aamiin… pamugi Allah maparin anjeunna hidayah.</i><br />
<br />
Bahwa dalam Islam dia akan menemukan bahwasanya Allah Swt. itu berkomunikasi kepada manusia melalui manusia pilihanNya yang Dia utus, Allah sesungguhnya memberitahu pada manusia cara-cara mengagumiNya.<br />
<br />
Bahwa Islam mengajarkan bahwasanya bahasa pun bukan melulu produk budaya manusia, melainkan Allah mengajarkannya kepada manusia, sekali lagi, melalui manusia pilihanNya (al-Baqarah: 30-31). Bahwasanya pula Allah Swt. memilih Bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran karena Bahasa Arab memiliki sifat<i> ilmiyyah </i>sebagaimana yang ia sadari dan ungkapkan sebelumnya, kemudian Islam menyempurnakan, lagi mengabadikan kesempurnaannya itu --sifat ilmiyyahnya dalam berbagai bidang keilmuan turunan sehingga Bahasa Arab menjadi Bahasa yang bernilai tinggi, dan upaya menginspirasikan agama ini hingga mendunia mendorong kemajuan peradaban dunia dengan segenap kebudayaan luhurnya.<br />
<br />
Bahwa, tak semua agama muncul dari kebudayaan, dari spekulasi-spekulasi filosofis semata yang kemudian menghasilkan cara-cara subjektif untuk disebar secara luas hingga menjadi cara-cara kolektif. Islam, merupakan agama yang menghimpun cara-cara yang Tuhan kehendaki, Islam pula satu-satunya yang dikehendakiNya sebagai agama. Islam bukan cara-cara mengagumi hasil spekulasi filosofis sebagaimana yang ia yakini.<br />
<br />
Bahwa, Allah Swt. memelihara agama Islam ini sebagai syariat hingga akhir zaman, hingga semesta benar-benar rusak serusak-rusaknya, hancur sehancur-hancurnya. Bahwa Tuhan, Empunya semesta ini, Allah Swt. membuat keteraturan bukan semata yang telah tercipta <i>(sunnatullah)</i>, melainkan juga diciptakan oleh manusia yang meninggalinya, keteraturan yang diciptakanNya dengan caraNya mengatur manusia, itulah syari’atNya, cara mengagumiNya yang dikehendakiNya, karenanya perlu ada ketaatan manusia terhadap ketentuan-ketentuanNya ini.<br />
<br />
<i>Sakali deui kuring ngado’a: Muuuuun we ku Allah teh dijanggilekkeun saeutik hatena…..</i></div>
lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-45035332380044751412013-10-08T21:53:00.000-07:002013-10-28T22:32:14.652-07:00"Menulis = JIHAD Kita", Meniti Jalan menuju Insan Media Beradab<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-ur5fnCka36Q/UlTitN2TMUI/AAAAAAAAARU/41AtfECLK5w/s1600/menulis,+jihad+kita.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="115" src="http://3.bp.blogspot.com/-ur5fnCka36Q/UlTitN2TMUI/AAAAAAAAARU/41AtfECLK5w/s200/menulis,+jihad+kita.png" width="200" /></a></div>
*Suasana Pelatihan Jurnalistik PIMPIN<br />
Ruangan Lab. Fisika di sudut lantai 2 Gedung Universitas Komputer Indonesia (Unikom) yang cukup besar dengan jumlah kursi yang banyak pada siang itu, sabtu (5/10/13) hanya diisi 6 orang<i> audience</i> termasuk pemateri. Apalagi di akhir pekan saat ruangan tersebut PIMPIN gunakan untuk menyelenggarakan pelatihan jurnalistik sejak <i>ba’da zhuhur</i> hingga <i>adzan ashar</i> berkumandang, gedung ini memang sepi mahasiswa, tak bising sebagaimana biasa.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
Denyit kursi cukup terdengar menandai sambutan keempat <i>audience</i> yang duduk menghadap whiteboard ketika serentak menengok kepada salah seorang peserta yang baru saja datang dari arah belakang. Suasana hangat diskusi kembali setelah peserta yang datang terlambat itu membetulkan duduk dan mempersiapkan <i>netbook</i>nya yang diminta panitia untuk dibawa selama pelatihan.<br />
<br />
<i>Whiteboard</i> yang memenuhi salah satu dinding ruangan itu begitu lekat ditatap para peserta juga deretan kursi kosong di hadapannya, karena refleksi cahaya dari lampu infokus yang berisi materi kuliah jurnalistik tengah menyorotnya seraya seseorang sedang mempresentasikannya. Presenter pelatihan jurnalistik ini adalah Kang Rizki yang sering menyebut dirinya dengan nama Rizki Lesus, atau M. Rizki Utama pada tabloid Al-Hikmah yang ia sebagai salah seorang wartawannya. Kang Rizki yang juga anggota Jurnalis Islam Bersatu (Jitu) ini salah juga salah seorang aktivis PIMPIN yang akan mengasuh pelatihan ini setiap sabtu selama oktober.<br />
<br />
<i>Slide</i> demi <i>slide</i> presentasi yang disajikannya pada pertemuan pertama ini sesekali ditanggapi oleh Wendi Zarman, seorang direktur PIMPIN yang juga ikut mengawal suasana pelatihan ini. Penulis buku “Inilah! Wasiat Nabi bagi Para Penuntut Ilmu” ini adalah seorang doktor Pendidikan dan Pemikiran Islam jebolan Universitas Ibnu Khaldun Bogor yang kemampuan menulisnya tentu tak dapat diragukan. Forum yang hanya dihadiri oleh beberapa orang ini juga menghendaki suasana pelatihan yang sersan (serius tapi santai), peserta dapat mengungkapkan tanggapan dan pertanyaan secara spontan dan interaktif.<br />
<br />
“Menulis itu harus punya tujuan.” Kata Rizki di sela-sela presentasinya. Tujuan ini menurutnya yang dapat mengalirkan jiwa pada sebuah tulisan.<br />
<br />
---------<br />
Beberapa <i>slide</i> mengenai materi dasar jurnalistik disampaikan Rizki secara komunikatif. Sampailah kepada sebuah <i>slide</i> mengenai media dan pers menuntun perbincangan lebih lama seisi ruangan.<br />
<br />
Rizki mengemukakan bahwa tak ada media yang tak memiliki ideologi <i>(worldview)</i>, pada <i>straight news </i>sekalipun yang berisikan data-data faktual. Opini dalam sebuah berita, tambah Wendi, terdapat dalam cara sebuah media menggunakan diksi saat menentukan judul, angel, dan isi dalam berita. Itulah cara halus media beropini lewat berita.<br />
<br />
Rizki selanjutnya memberi contoh sebuah harian lokal yang notabene “sekuler” seringkali menyerang pihak-pihak yang dianggap “rival”nya lewat judul-judul yang fantastis, dicetak dengan huruf besar-besar, dan warna merah yang mencolok dari segi tampilan, belum lagi dari segi isi dengan diksi bertendensi propagandis walau hanya data-data yang diungkap di situ.<br />
<br />
Karena itu, lanjutnya, tak keliru jika ada seorang wartawan senior yang memberi batasan baru bagi kaidah menulis berita 5W+1H, yang kini ditambahnya menjadi 6W+1H. 1W lagi itu adalah “Wow”. Seisi ruangan pun riuh, sontak terkejut sekaligus geli mendengar ungkapan “wow” dari pemateri setelah berusaha menebak-nebak kata tanya apa lagi selain 5W itu yang luput. Dan memang, itu bukan kata Tanya.<br />
<br />
Menurut Wendi, kini fakta dalam berita dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi “wow” dan bombasatis. Ia digunakan media untuk menarik perhatian. Hal ini sebagaimana yang sering dilakukan<i> infotainment</i>, permasalahan keluarga yang biasa-biasa saja bagi seorang publik figur akan menjadi nampak luar biasa bagi penikmat berita. Bahkan masalah keluarga seorang publik figur justru seringkali membesar akibat pemberitaan infotainment ini.<br />
<br />
Sebuah media, lanjutnya, terkadang menggunakan logika terbalik, yaitu membuat judul yang bertendensi negatif ketika membuat pemberitaan bagi objek pembicaraan tertentu untuk menarik perhatian pembaca, padahal isinya justru untuk membagus-baguskan objek pembicaraan tersebut.<br />
<br />
Rizki menyayangkan hal berlebihan ini juga tak jarang dilakukan oleh media-media Islam untuk menarik pembaca, padahal objektivitas adalah hal utama dalam jurnalistik.<br />
<br />
Di Akhir slide, Rizki menulis, “Menulis = Jihad Kita”. Berharap bahwa di kemudian muncul insan-insan media beradab.<br />
<br />
(Rep: Risna Inayah)lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-6960789558230308787.post-7826926417315241192013-10-08T21:26:00.000-07:002013-10-28T22:32:44.056-07:00PIMPIN Bandung Selenggarakan Rapat Kerja*Telat Posting<br />
<br />
Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) Bandung selenggarakan rapat kerja pada Ahad (22/9) di Rumah Makan <i>Laa Yahtasib</i> Lembang. Rapat kerja yang dihadiri oleh 8 orang aktivis PIMPIN termasuk di antaranya Direktur PIMPIN, Dr. Wendi Zarman ini menghasilkan beberapa poin yang akan menjadi program strategis PIMPIN selama satu semester ke depan.<br />
<br />
Beberapa poin tersebut di antaranya, <br />
<a name='more'></a>(1) Intensifikasi pengelolaan situs PIMPIN guna memperkuat wacana Islamisasi sains, (2) Dalam waktu dekat PIMPIN akan kembali menyelenggarakan Kuliah <i>The Worldview of Islam</i> edisi ke III, (3) Menyelenggarakan Daurah Pendidikan dengan tema “Islamisasi Sains” di awal tahun 2014 yang akan datang, (4) Pengembangkan kapasitas internal para pegiat PIMPIN dengan menyelenggarakan beberapa kegiatan rutin, di antaranya training kepenulisan dan jurnalistik yang akan diselenggarakan selama bulan oktober, pengadaan kelas bahasa (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, diutamakan Bahasa Arab), dan mulai menggali khazanah intelektual Islam klasik dengan pengkajian <i>turats</i>, (5) Program pembinaan masyarakat dalam format <i>workshop</i>, serta terakhir (6) PIMPIN mengawal pembuatan alat-alat peraga karya ilmuwan Islam abad pertengahan, seperti kamera obscura, destilator air, astrolabe, parfum, termasuk di antaranya modul panduan pengajaran untuk kemudian dapat dipamerkan pada masyarakat dalam kegiatan-kegiatan insidental PIMPIN.<br />
<br />
Rapat kerja yang dilanjutkan di lokasi wisata <i>Floating Market</i>-Lembang sembari rihlah ini ditutup pada ashar waktu setempat selepas diskusi santai terkait persiapan teknis beberapa kegiatan terdekat yang akan diselenggarakan PIMPIN.<br />
<br />
<br />
(Rep: Risna Inayah)lulu alkaninahttp://www.blogger.com/profile/17154002197744222980noreply@blogger.com