Monday, October 28, 2013

"Capruk" Soal Musik

Mendengar Love Storynya Richard Clayderman, Simphonynya Bethoven, saya jadi ingat berbulan-bulan ke belakang, ada seorang mahasiswa FIB memainkan piano klasik yang dipajang begitu saja di lobi dekanat FIB Unpad (sekarang piano itu entah dipindah ke mana).

Saya pernah mencoba memencet-mencet tutsnya saat lobi dekanat itu sepi. Karena ungkin terlihat aneh, saya pun menghentikan usaha saya itu, sebab ada orang melihat saya (seperti baru memegang benda semacam itu :D )



Tapi dia, yang saya tak tahu siapa –yang jelas saya terkesan—memainkan beberapa lagu klasik & pop Indonesia dengan begitu lihainya. Saya pun selama setengah jam mematung mendengarkannya.

And it’s so amazing, saya tak pernah mendengar lantunan piano secara langsung seperti itu. Ia memainkannya begitu rapi. Tak bisa saya lupakan.

Tempat saya berdiri dan tempatnya memainkan piano itu berjarak sekitar sepuluh meter, sayangnya terhalang tiang yang cukup besar, jadi saya tak bisa melihat siapa dia. Baru saat dia beranjak, saya pun beranjak dari tempat saya mematung, saat itu saya baru ingat kalau punya keperluan yang cukup penting, saya langsung berlari dari tempat itu tanpa sempat melihat siapa dia.
__________________________

Btw,

Pun saya selalu terkesan dengan petikan dawai gitar dengan melodi klasik.

Kata Mbu yang bisa main gitar (sementara saya tidak bisa), ada dua cara memainkan gitar, pertama digambreng, kedua dipetik. Itu entah teori dari mana, yang jelas begitu kata Mbu. Yang pertama, yaitu gambreng, adalah ketika seseorang meminkan gitar dengan memetik keenam senar secara bersamaan, kamu bisa bayangkan bagaimana dan bagaimana suara yang keluar dari sana. Ini bukan dipetik melainkan disentuh. Artinya ibu jari atau kuku telunjuk kita menyentuh/mengusap keenam senar secara bersamaan sampai muncul suara yang mirip dengan “gambreng” atau “genjreng”. Ya, itulah mungkin mengapa Mbu menamakannya “gambreng”.

Yang kedua, petik, yaitu ketika seseorang memainkan gitar dengan cara memetik/menyentuh satu-satu senarnya. Yang ini sepertinya lebih sulit, dan memang demikian menurut Mbu. Permainan seperti inilah yang biasanya digunakan dalam instrument gitar klasik, Depapepe juga sering memainkannya. Ini memadu-padankan antara kepiawaian mengambil nada juga memilih dawai. Karena itulah, kelihaian memainkannya perlu intuisi yang tajam. Ajhiiaaa ….

Ah, entahlah, ini Cuma yang bisa saya tangkap soal gitar dari Mbu.

Mbu itu katanya dulunya, waktu mudanya, seorang personil sebuah band bernama “Rawatas”. Rawatas itu singkatan dari rawatan sarerea. Mbu sebagai pemain bass, yang senarnya Cuma 4 itu. Katanya, selain piawai bermain gitar dan bass, Mbu juga berbakat bermain angklung, kecapi, dan perangkat gamelan lainnya. Itulah mengapa Mbu sering terpilih untuk mewakili sekolahnya dalam ajang-ajang seni-budaya-sunda. Itu dilakoninya sejak masih di bangku sekolah dasar sampai kuliah. Suara Mbu juga bagus, setidaknya sampai menikah, Mbu jarang bernyanyi lagi, kecuali di rumah. Sekalinya Mbu tampil menyanyi untuk dalam walimah saudara misalnya, pun nafasnya sudah pendek-pendek.

Bakat ini diperolehnya turun temurun dari nenek. Nenek pandai menyanyi keroncong, nyinden, dll. Saya kagum sama vibranya hhee. Sesekali nenek juga sering menyanyikan lagu-lagu Belanda dan Jepang ketika bercerita soal masa mudanya. Di usianya yang kepala delapan pun kini, nenek masih ingat lirik lagu anak-anak Belanda, ketika ada teman si Teteh yang berkunjung ke rumah untuk pamitan setelah lulus seleksi tahap ke-dua beasiswa studi pascasarjana ke Utrech Belanda Jurusan Matematika, nenek mengajarkannya sebuah lagu anak-anak Belanda. Ah sayang sekali saya lupa liriknya.

Whoalaah, jadi ngelantur gini saya!!
__________
Akhirul kalam, saya masih galau dengan kedudukan hukum musik dan nyanyi dalam Islam. Buku “Ketika Nyanyian dianggap Halal”nya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, seorang ulama salaf murid dari Ibn Taimiyyah yang dalam buku setebal 2 senti itu membahas terkait secara komprehensif, pun belum kunjung saya tamatkan.

Halal-haramnya Yusuf al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer, memang ‘agak’ moderat memandang musik dan nyanyian ini, artinya baginya ada musik yang dibolehkan, ada juga yang tidak.

Meski begitu, reputasi Ibnul Qayyim yang di mata saya jauh lebih tinggi ketimbang Yusuf al-Qardhawi membuat saya lebih percaya Ibnul Qayyim, yang mana cenderung memandangnya tegas.

Tapi entahlah, ada pernyataan yang lebih moderat saya malah jadi moderat. Hati cederung pada yang pendapat yang tegas, tapi nyatanya masih senang mendengar instrumen-instrumen itu, karena mereka memberi efek tersendiri untuk suasana hati saya.

Tapi, sekali lagi, saya buku Ibnul Qayyim itu belum saya tamatkan.

Memang nurani saya berkata, tak sepantasnya seorang muslim mencari ketentraman hati dari apa yang tidak Rasulullah sendiri anjurkan.

(dicekapkeun wae caprukan simkuring)

Wallaahu a’lamu bi sh-shawaab_
أرنا الحق حقا و ارزقنا اتباعه و أرنا الباطل باطلا و ارزقنا اجتنابه

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,