Tuesday, September 30, 2014

?

Selama perbudakan seseorang atas orang lain --juga atas dirinya sendiri-- masih terjadi, selama manusia tak bebas seutuhnya, selama itu pula alam ini takkan pernah mencapai harmoni. Orang-orang linglung keterlaluan banyak jumlahnya. Saking banyaknya, ada di antara mereka yang mengaku-aku tak linglung lalu berujar: "Kami ini orang-orang waras, bukan seperti mereka yang tak waras, kami ini orang-orang lurus, bukan seperti mereka yang tersasar, kami berjuang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan sejati, nilai-nilai ketuhanan," demikian semangatnya, sampai mulut mereka penuh busa dan ludahnya muncrat-muncrat ke mana-mana. Padahal tiada beda dengan orang-orang yang mereka kata 'sesat', mereka pun tengah tersesat. Tanpa sadar mereka membuat kerusakan di muka bumi, sebagaimana orang-orang yang mereka sesatkan. Atas nama agama mereka berupaya, namun kesesatan mereka alangkah nyata. Mereka berujar, bahwa dunia hanya sementara, bahwa manusia adalah musafir yang tengah berjalan-jalan di atasnya, namun jalan mereka pun tengah sesat terlalu dalam. Mereka berujar bahwa ilmu yang benar akan menuntun manusia menuju tuhannya, namun sekali lagi, mereka telah menyimpang terlalu jauh. Mereka, keterlaluan asyik dalam tipu daya 'kata' ilmu, ilmu, ilmu, namun nyatanya, kata itu membelenggu, menabiri mereka dari tuhannya. ---jika ilmu adalah bekal perjalanan menuju Tuhan, mengapa mereka menyimpang sedemikian jauh? 'Pendidikan' menuju ilmu, menuju Tuhan, adalah pendidikan yang telah menyimpang selama tak membebaskan, selama dalam prosesnya masih ada perbudakan-perbudakan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik sadar ataupun tidak. Tak ada keberpasrahan secara sukarela pada Tuhan (fitri), selama masih ada paksaan, selama seseorang masih dipaksa atau terpaksa oleh orang lain ataupun dirinya sendiri untuk tunduk patuh pada orang lain. Kebebasan macam apa jika seseorang mesti manut-manut mengikut telunjuk guru? Guru bukanlah Tuhan. Bagaimana dikata 'menuju Tuhan' sementara orang-orang yang mengaku-aku sebagai guru masih memelas minta dihargai seolah benar punya harga diri, minta diberi nilai seolah benar punya nilai, minta dikeramatkan, disucikan, dispesialkan? Sekali-kali manusia itu tak berarti apa-apa kecuali Tuhan.

Sunday, September 28, 2014

Bersikap Beradab Terhadap Ulama?

Saya kira takkan akan ada habisnya kalau kita membahas hal-hal partikular semisal kepartaian, kejam'iyyahan, kebangsaan, demikian juga ketokohan. Kritik mengkritik antar ulama sudah biasa terjadi. Mungkin tak sesulit apa yang kita fikirkan persoalannya, hanya para pengikut biasanya membesar-besarkan, karena tak mau terima. Jika Imam adz-Dzahabi tak boleh mengkritik Imam al-Ghazali, lantas mengapa ada yang membolehkan orang-orang tak selevel dengan adz-Dzahabi mengkritik Beliau lantaran Beliau mengkritik al-Ghazali? Kalau hal-hal seperti ini masih saja dipersoalkan, barangkali konflik takkan pernah ada habisnya; akan terus beranak cucu. Fenomena kritik mengkritik antar ulama tak semestinya kita sikapi dengan cara menyerang balik --itu seperti balas dendam lantaran tak terima orang yang dikultuskannya (seolah) diserang/dicaci.  Sikap kita terhadap itu barangkali alangkah lebih baik dengan mengambil 'ibrah, semisal, bahwa ilmu AlLâh itu keterlaluan luas serta teramat dalam; setiap orang akan menjadi spesialis terhadap suatu ilmu lantaran pengalaman-pengalamanya yang berbeda. Dan mestinya yang demikian itu tidak lantas membuat kita menihilkan peranan mereka yang amat besar; tidak nila setitik rusak susu sebelanga, lalu kita pun pada akhirnya jadi tenggelam dalam persoalan-persoalan cabang seperti ini yang nyaris tidak ada gunanya dan kontraproduktif --sementara kita jadi lupa dengan apa yang menjadi 'pokok' / 'benang merah' ilmu yang masing-masing mereka dilebihkan tentangnya.  Tidakkah kita punya fikiran bahwa mungkin saja kesilapan saat terjadi mengkritik itu cuma kesilapan sesaat? Dan lagipula, kita memang tak tahu apakah dalam mengkritik itu ada 'niatan mencari ridla AlLâh' atau sebaliknya 'karena dengki (penyakit hati)' --yang memang iya sebentuk kesilapan. Bukankah AlLâh Maha Tahu apa yang nampak dan apa yang tersembunyi, sementara kita tak tahu? Dan AlLâh itu betapa Maha Pengampun (sementara kita tidak, kita hanya mampu fokus pada setitik noda hitam dan melupakan yang putih yang begitu luas terbentang). Lagipula, saya pribadi sangsi kalau dikata para ulama memelihara penyakit hati, ketika penghambaannya pada AlLâh saja sudah terbukti total, tidakkah kita melihat betapa mereka sungguh-sungguh dengan karya-karyanya? Kritik mengkritik yang terjadi di antara mereka in syâ-alLâh bukan lantaran dengki, niatan untuk menjatuhkan orang, melainkan niat 'meneguhkan agama AlLâh'. Saya kira memandang seperti ini lebih beradab bagi kita yang awwam --apatah lagi kita tak mampu membaca hati orang--ketimbang mempertimbangkan dan mempersoalkan ketakberadaban seorang ulama. AlLâhumma -ghfirlanâ, wa na'ûdzu biKa min waswasati s-syaythân... Semoga kita terhindar dari perkara sia-sia, âmîn...""

Friday, September 26, 2014

Profil Ibn Hajar al-'Asqalânî

Ibn Hajar al-'Asqalânî (773-752 H / 1372-1448 M) Nama Beliau Syihâbuddîn Abul Fadl, Ahmad bin 'Ali bin Muhammad bin Muhammad bin 'Ali, al-Kinânî, al-'Asqalânî, asy-Syâfi'î. Seorang penulis Syarah Shahih Imam Bukhari yang terkenal itu. Berasal dari 'Asqalan-Palestina, sementara lahir dan wafat di Kairo. Seorang Alim, Muhaddits, Faqih, Pujangga yang melahirkan banyak puisi, kemudian beralih mempelajari hadits. Ia seorang yang banyak menyimak, melakukan banyak perjalanan, mengakrabi syaykhnya al-Hâfizh Aba l-Fadl al-'Irâqî. Ia melakukan perjalanan ke Yaman, Hijaz, dsb. untuk menyimak pelajaran dari para syaykh. Maka kemudian Beliau menjadi terkenal. Orang-orang banyak mengambil pendapatnya. Kemudian ia menjadi seorang Hâfizhu l-Islâm (benteng Dîn Islam) pada masanya. Pada saat menjelang wafat, al-'Irâqî pernah ditanya: "Siapakah kiranya yang akan menjadi penggantimu?" Beliau menjawab: "Ibn Hajar, kemudian anakku Abu Zar'ah, kmudian al-Haytsami. Ia seorang yang fashih lisannya, seorang pujagga yang banyak puisi, seorang yang 'ârif (tahu betul) terkait ulama terdahulu, riwayatnya, kehidupannya, serta tune in terhadap wacana kekinian. Ia pernah menjadi qadhi di Mesir beberapa kali. Adapun buah tangannya amat kaya, di antaranya: Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari; al-Ishâbah fî Tamyîzi Asmâ-i s-Shahâbah; Tahdzîbut Tahdzîb; Taqrîbut Tahdzîb fî Asmâ-i Rijâli l-Hadîts; Lisânu l-Mîzân; Asbâbun Nuzûl; Ta'jîbul Manfa'ah biRijâli l-A-immati l-Arba'ah; Bulûghul Marâm min Adillati l-Ahkâm; Tabshîrul Muntabih fî Tahrîri l-Musytabih; Ittihâful Mahrah bi Athrâfi l-'Asyrah; Thabaqâtul Mudallisîn; al-Qawlu l-Musaddid fî dz-Dzabbi 'an Musnadil Imâm Ahmad, dan masih banyak lagi. Terjemah bebas dari http://www.mawsoah.net

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,