Saturday, June 15, 2013

Jeneralisasi Ainur Rofiq

Jeneralisasi merupakan salah satu yang menjadi serabut akar konflik. Begitu mudahnya orang menjustifikasi kesalahan individu sebagai kesalahan kelompok. Nila setitik rusak susu sebelanga.

Ini pula akar sering terjadi di Indonesia. Apalagi, selain kaya sumber daya, Indonesia juga kaya kelompok sosial (Agama, ras, suku, budaya, organisasi, dan lain-lain) yang rentan eksploitasi yang mengarah kepada konflik sektarian untuk memenangkan satu ide tertentu pihak-pihak yang "berkepentingan".

Dalam makalah berjudul "Gerakan Transnasional Suriah; Refleksi untuk Indonesia" yang dimuat Dina Y. Sulaeman (seorang pengamat politik timur tengah) dalam blognya http://dinasulaeman.wordpress.com/ , Dr. Ainur Rofiq Al-Amin seorang dosen politik Islam IAIN Surabaya mengungkapkan sebuah analisis yang saya nilai tak berimbang.
Di awal-awal tulisannya dalam subjudul "Refeleksi untuk Indonesia" Ainur Rofiq mengungkapkan betapa Indonesia merupakan negara dengan tingkat keragaman yang tinggi, karena itu di awal-awal berdirinya negara Indonesia dipilihlah pancasila ketimbang Islam sebagai dasar negara.

Bertolak belakang dengan apa yang diungkapkannya itu, Wahabi sebuah sebutan bagi gerakan ke-Islam-an yang mirip dengan gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab berkali-kali disebutnya untuk merujuk pada setiap gerakan ekstrim dan berbau terorisme yang mengatasnamakan Islam. Ainur Rofiq menyebut tuduhan sektarian dan rasis itu. Beliau inkonsisten.

Sejak awal kita tahu bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah memproklamirkan berdirinya kelompok yang mengatasnamakan ajarannya itu, karena itu hanya stigmatisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu oleh ajarannya. Tak hanya masa kini, bahkan sejak awal mula pergerakannya.

Padahal dalam strategi politik adalah sangat wajar ketika sebuah pemerintahan menumbangkan pergerakan yang mampu mengancam stabilitas pemerintahannya. Ini sebagaimana yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahhab ketika melakukan pendekatan terhadap Emir Nejd, kemudian dengan kekuasaannya menumbangkan gerakan yang mengancam akidah Islam.

Lagi pula dalam hal ini, misi pemurnian aqidah yang dibawanya adalah misi yang teramat mulia. Jangan lupa, hal yang sama dahulu pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Ra. ketika pergerakan Musailamah al-Kadzdzab mengancam stabilitas negara Islam, keengganannya membayar zakat mengancam keutuhan ajaran Islam (ingin menghapuskan syari'at zakat). Jika begitu, beranikah mereka menuding kepada Khalifah Abu Bakar radliyallaahu 'anhu ini sebagai takfiri??

Ketika itu memang ada pemuda-pemuda yang melakukan pergerakan ekstrim di luar batas kewajaran. Namun itu terjadi di luar batas pengetahuan Muhammad bin Abdul Wahhab dan pemerintahan Saudi. Jadi tidak adil bila kesalahan satu pihak yang mengatasnamakan satu kaum ditimpakan pada kaum tersebut, yang dengan itu rusaklah reputasi kaum tersebut.

Ainur Rofiq dalam makalahnya tersebut justru telah mengancam integrasi bangsa dengan mengotak-ngotakan (ikut-ikutan melakukan stigmatisasi) Islam sebagaimana demikian --bahkan menudingnya takfiri, padahal gerakan ini tidak pernah mendeklarasikan sebuah nama, pun struktur organisasi, terlebih qanun-qanun (AD-ART) keorganisasian.

Ainur Rofiq selanjutnya mengungkapkan: "Lebih dari itu, paradoks lain yang memicu friksi adalah statemen mereka yang memberi stigma negatif (bid’ah, sesat, dan kufur) terhadap ritual dan tradisi mayoritas muslim nusantara. Tidak ketinggalan, mereka juga mulai kembali mengotak-atik Pancasila dan NKRI". Sudah laten, para pembenci pergerakan pemurnian tauhid ini menyebut-nyebut kaum yang distigma-I-nya negatif (Wahabi) ini dengan nada yang sinis, mereka berhasil tersetting oleh paradigma ekstrimisme dan terorismenya yang dilancarkan Barat. Belum tentu juga ekstrimisme dan terorisme menjadi pokok ajaran gerakan ini. Lagi pula ketidak-terorganisasi-annya gerakan ini memang meniscayakan keragaman corak gerakan, sehingga tidak patut kiranya melakukan justifikasi terhadap sebuah gerakan sementara tidak diketahui jelas pokok-pokok ajaran yang dibawanya itu merupakan suatu konsep dari sebuah nama gerakan tertentu.

Cara Ainur Rofiq yang menuduh takfiri kepada gerakan ini sesungguhnya telah balik menyudutkannya sebagai seorang yang takfiri (terhadap gerakan ini). Bagaimana tidak, kelompok yang menyeru pada tauhid (aqidah yang murni) malah disalahkan bahkan dituding takfiri, padahal mencampuradukkan ritual Islam dengan tradisi lokal yang notabene merupakan tradisi nenek moyang --sebagaimana yang diberantas Rasulullah dalam masyarakat jahiliyyah-- jelas-jelas merupakan kebathilan (iltibas).

Tudingan takfiri ini ternyata juga banyak dilakukan oleh "oknum" yang ada dalam tubuh NU yang telah ter'barat'kan. Lebih-lebih ternyata mereka membuat gerakan khusus bernama "Thariqat Sarkubiyyah" (Sarkub berarti Sarjana Kuburan) dan "Densus 99" yang juga disebut sebagai "Wahabi's Crime Lab". Dengan cara seperti ini mereka jelas-jelas telah memeperuncing perbedaan dan mengumandangkan 'peperangan' dengan saudara sendiri --yang juga akan mengancam integrasi bangsa.

Islam memiliki tradisinya sendiri. Islam membangun kebudayaan, bukan Islam produk kebudayaan. Jadi tak perlu tak yakin bahwa Islam sudah sempurna.

Mereka seolah membuat persamaan antara term 'wahabi' dan 'barbar'. Celakanya lagi, sebutan ini senantiasa digaung-gaungkan oleh kaum pendengki itu untuk memperuncing perbedaan dengan cara mengotak-ngotakkan Islam, terlebih dengan menyematkan gelar "ekstremis" dan "teroris" kepadanya. Ini jelas bukan cara yang tepat jika memang betul yang mereka perjuangkan adalah Islam. Mestinya mereka berbuat lebih elegan dan bijak ketika melihat kekeliruan pada saudaranya, menginisiasi untuk duduk bersama dengan menghilangkan rasa dengki, kemudian saling legowo menerima perbedaan, bukan menabuh genderang perang saudara.

Sebuah kekeliruan juga ketika Ainur Rofiq dalam tulisannya tersebut membuat perbedaan antara Islam dan Pancasila dengan mengasumsikan bahwa pancasila sebagai ideologi alternatif bagi bangsa yang tingkat keberagamannya tinggi ini, seolah keduanya bertentangan. Pancasila telah sedemikian rupa disusun pada saat itu oleh para loyalis-loyalis Islam (tidak seperti Ainur Rofiq yang bukan loyalis Islam meskipun seorang muslim bahkan doktor politik Islam) sebagai pengejawantahan Islam dalam negara Indonesia. Tidak mungkin Ainur Rofiq tidak mengetahui sejarah ini. Pancasila bukan produk ideologi Barat sebagaimana yang diklaim sebagian pihak. Dan Pancasila, tidak bisa dihilangkan ruh ke-Islam-annya begitu saja sebab Islam bukan rahmatan lil-muslimin tapi rahmatan lil-'aalamiin. Karenanya bukan suatu yang salah ketika Islam diterapkan di negara Indonesia.

Dalam paragraf lain Ainur Rofiq mengutip pidato Ba'asyir ketika khutbah Idul Fithri tahun 2012 untuk menunjukkan bahwa Ba'asyir dekat dengan terorisme, begini: "NKRI sejak merdeka sampai sekarang adalah negara kafir karena dasar negaranya ciptaan akal manusia dan hukum positifnya adalah hukum jahiliyah. Penguasanya adalah thaghut yang harus diingkari meski muslim yang sholat, puasa, zakat, dan haji". Lebih lanjut Ainur Rofiq menegaskan: "Demikian juga aktivis dan simpatisan Hizbut Tahrir dengan nyaring bersuara bahwa demokrasi adalah kufur, sistem negara selain khilafah adalah ditolak Islam. Tentu salah satu targetnya adalah NKRI". Beliau seperti mewanti-wanti agar masyarakat Indonesia berhati-hati dengan pergerakan ini. Padalah kalau memang benar Ba'asyir menyatakan demikian, tak menutup kemungkinan pernyataan tersebut perlu penafsiran, tak bisa diambil seperti itu tanpa tabayun. Nyata, Ainur Rofiq seorang yang terbaratkan.

Dalam Islam, negara yang tidak menerapkan syari'at Islam (dalam arti menjadikan Islam sebagai acuan) memang bukanlah negara Islam. Ketika mengambil sistem hukum berdasarkan akal manusia, memang gagasan yang murahan, tidak level ketika disandingkan dengan sistem hukum Allah. Nah, Kita sebagai muslim ketika berada dalam negara demikian berarti sedang dalam keadaan darurat. Namun tentu tidak lantas menjadikan kita penduduk negara tersebut kafir. Soal penguasa yang dalam kutipan tersebut dikatakan taghut meskipun masih shalat memang ini saya kira persoalan khilafiyyah. Jadi adalah gegabah ketika terburu-buru memutuskan bahwa Ba'asyir adalah seorang ekstermis-teroris yang mengancam integrasi bangsa. Ba'asyir mengatakan demikian dalam rangka membela Islam yang begitu lemah terpojok saat ini. Ke manakah naluri ke-Islam-an seorang doktor politik Islam itu?

Ainur Rofiq adalah seorang Doktor politik Islam di IAIN. Namun ternyata ia lebih berpihak kepada Barat dan nilai-nilai sekular yang dibawanya. Islam tak bisa dipisahkan dari hidup seorang muslim. Lalu bagaimana jika doktor politik Islam ini menanggalkan/memisahkan dirinya dari Islam (walau barang sejenak) ketika berbicara soal kebangsaan??

Pada sub-judul "Refleksi untuk Indonesia", Ainur Rofiq menutup tulisannya dengan: "Suatu saat, gerakan Islam transnasional tersebut akan berbenturan hebat dengan negara Indonesia. Kalau di Indonesia terjadi gonjang ganjing politik, sangat terbuka peluang bahwa gerakan ini pada fase tertentu akan mengangkat senjata. Benih ini sudah terlihat dari gerakan Salafi/Wahabi radikal yang di berbagai tempat melakukan aksi-aksi kekerasan. Bahkan Hizbut Tahrir yang dalam metode dakwahnya anti kekerasan (kitab Manhaj), namun ketika Suriah gonjing ganjing, mereka bermetamorfosis, membentuk brigade bersenjata."
Ada yang membuat saya mengganjal. Di atas dikatakan bahwa gerakan Salafi/Wahabi radikal di berbagai tempat melakukan aksi-aksi kekerasan, Salafi/Wahabi mana yang ia maksud? Saya sendiri bahkan mendengar bahwa brigade dari nahdliyyiin yang berjargon "Wahabi's Crime Lab" itu melakukan tindak radikal (terorisme) dengan menyerang sebuah kelompok kajian Jam'iyyah Persis di suatu daerah di kota Bandung . Tak menutup kemungkinan para pendengki ini menjadi frontal dan angkat senjata membuat keributan di mana-mana. Jadi kembali lagi ke judul di atas, jangan menjeneralisasi. :)

'alaa kulli haal, ada beberapa poin yang perlu dicatat:
  1. "Wahabi" adalah nama fiktif. Dibuat oleh kaum pendengki untuk memudahkan stigma negatif oleh mereka yang tidak suka syahwat 'kembali pada ajaran nenek moyang' mereka terganggu oleh gerakan pemurnian tauhid ini. 
  2. Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bergerak tidak mendirikan struktur tertentu sebagaimana gerakan transnasional lain seperti Hizbut Tahrir atau Ikhwanul Muslimin. Meski begitu pergerakan ini sangat sporadis menyebar di berbagai penjuru dunia sebab ajarannya yang memuaskan akal dan nurani. Namun ketidakteroganisiran gerakan ini juga meniscayakan terjadinya banyak ragam corak pergerakan. Karenanya sangat banyak kemungkinan terjadi penisbatan akan ditujukan terhadap gerakan ini karena ada kemiripan pada aspek-aspek tertentu meskipun pada aspek-aspek lainnya berbeda. 
  3. Suatu gerakan pemurnian aqidah belum tentu Wahabi/Salafi 
  4. Tidak semua yang menyatakan diri sebagai Wahabi/Salafi bergerak dalam pemurnian aqidah 
  5. Yang menyatakan diri sebagai salafi belum tentu memiliki sifat salafush shalih 
  6. Suatu gerakan yang menyatakan diri sebagai gerakan pemurnian aqidah belum tentu bisa disebut sebagai ekstremis (melakukan tindakan terorisme) 
  7. Seorang muslim yang berpandangan radikal belum tentu seorang ekstrimis. 
Finally, saya menemukan satu lagi petunjuk tentang siapa Dina Y. Sulaeman dari tulisan seorang sekuler yang beliau posting di blognya ini.

Wallaahu a'lamu bish-shawaab, رب أرنا الحق حقا و ارزقنا اتباعه و أرنا الباطل باطلا و ارزقنا اجتنابه ….. Aamiin.

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,