Belakangan ini ada
seseorang yang selalu mengganggu pikiran saya, siapa? bukan lawan jenis, tapi teman sejenis. beliau itu Bu Dina Y. Sulaeman.
Dina??? Siapa? ( baca juga: Siapa Dina Y. Sulaeman (1))
Saya kenal beliau
(meskipun tidak secara langsung) sejak dumay ramai berbicara soal konflik
Suriah. Diam-diam, meskipun saya bukan seorang pengamat politik terlebih
pendidikan saya bukan dari politik, tapi di dumay (facebook) saya banyak
berkawan dengan orang-orang politik (PKS<= Ikhwanul Muslimin Indonesia, Hizbut Tahrir, dll), 2 kelompok pertama ini karena memang sejak pertama kali masuk
Unpad saya menyadari ada 2 kekuatan politik yang memang cukup kuat peranannya di
kampus ini. Mereka punya tempat tersendiri dalam pikiran saya dengan segala bentuk persoalannya.
Diam-diam, meski saya bukan seorang pengamat politik (diulang) tapi newsfeed facebook saya
dipenuhi postingan terkait, sebab saya memang punya banyak kawan
penyuka/pengkaji politik, saya pun jadi tak bisa menghindar untuk ikut
berpikir, berbicara, dan berkomentar soal politik (suggested).
Saya bukan sama
sekali antipati terhadap persoalan politik, dan memang pernyataan saya di atas
tidak berarti demikian.
Nah, Bu Dina ini
(secara latar belakang pendidikan formal) memang bukan dari politik, tapi lebih
dari itu beliau berbicara politik sebab beliau seorang pengamat politik
internasional. Beliau lulusan magister Hubungan Internasional Unpad setelah
sebelumnya meraih gelar sarjana dari Jurusan Sastra Arab Unpad. Jadi pas
sekali, beliau ini seorang pengamat dan pengkaji persolan timur tengah, bukan
hanya persoalan politik tapi juga aspek-aspek lainnya. Dan kebetulan saat ini
politik timur tengah memang sedang ramai-ramainya disoroti karena sedang
bergolak.
Selain dari
postingan-postingan kawan-kawan saya dari HT dan PKS terkait perkara Suriah
yang sangat kental idealisme (sebab konflik ini mampu mengobok-obok perasaan --maklum lah anak muda, saya juga tak jarang merasa demikian) postingan Bu Dina
yang lama berpengalaman sebagai seorang jurnalis juga tak luput dari perhatian
saya, memang saya simpan nama beliau secara khusus dalam memori di otak saya. Kenapa? Karena
beliau satu-satunya alumni sastra Arab Unpad (sejauh saya tahu) yang
membuat saya kagum dari sisi cerdas, kritis, dan 'penulis yang telah
menghasilkan banyak buku'-nya, terlebih beliau seorang jurnalis yang punya
reputasi internasional. Ya, saya kagum dengan prestasi beliau karena beliau
ini…
spesies langka. Oooops!! :D
Saya yang baru saja
tertarik dengan bidang jurnalistik (karena baru menyadari peranannya yang
begitu penting dalam kehidupan kekinian) memahami dengan cukup baik terkait bahwa
yang terpenting dalam jurnalisme adalah "objektivitas", meskipun
objektivitas tidak berarti netral ideologi. Dan beliau adalah seorang jurnalis
yang memiliki objektivitas itu selain karena wawasan beliau yang begitu luas. Beliau seorang pembaca ulung yang memiliki banyak data terkait bidang yang
beliau geluti, beliau seorang intelektual sejati.
Beliau banyak
berkomentar (juga banyak) menelanjangi media-media mainstream Islam yang
terbukti banyak melakukan manipulasi data terlebih ketika isu konflik Suriah
mulai mencuat ke permukaan (cek saja tulisan-tulisan beliau dalam http://dinasulaeman.wordpress.com/).
Mereka (media-media tersebut) nilai Dina, dalam melakukan pemberitaan terkait
Suriah sangat pro-oposan (atau beliau sebut juga sebagai pemberontak dalam
tulisan-tulisannya atau "Mujahid", dengan tanda kutip), dan ironisnya
mereka sangat kompak dengan media-media mainstream barat dalam pemihakan mereka
terhadap oposan (dalam menggulirkan pencitraan kepada publik) yang sama ini.
Beliau simpulkan, media-media ini rela mengorbankan objektivitasnya hanya demi
subjektivitasnya.
Overall, sejauh itu
saya suka dengan beliau sebelum kawan-kawan saya di jaringan Insists
memperingatkan saya untuk berhati-hati sebab beliau itu terindikasi seorang
Syi'ah. Katanya.
Sebetulnya,
sebelumnya saya memang tahu (melaui blog beliau tersebut) bahwa Bu Dina memang
banyak menulis soal Iran. Buku-buku beliau yang sudah banyak terbit juga
berbicara soal Iran, beliau terlihat sangat mengagumi eksotisme Iran masa
lampau (peradaban Persia masa lalu) dari bukunya yang berjudul "The
Journey to Iran, Bukan Jalan-jalan Biasa", "Princess Nadeera & 24
Kisah Princess Persia lainnya", juga Iran masa kini yang beliau lihat
mampu melahirkan kader-kader potensial sekaliber Mahmoud Ahmadinejad yang begitu
beliau kagumi (terlapas dari kesyi'ahannya) dengan karakter leadership yang
sangat baik, selain buku-buku lainnya "Doktor Cilik; Hafal dan Paham
Quran" dan "Bintang-Bintang Penerus Doktor Cilik" yang
memperlihatkan kagumnya beliau kepada calon kader-kader pemimpin yang
dilahirkan tanah Iran.
Selama itu saya
memang tidak menyadari semua itu (kesyi'ahan Dina), entah karena memang saya
begitu awam dan polos, atau saking saya seorang yang juga selalu ingin
berlaku objektif sebagaimana Dina.
Namun ini memang
menarik untuk ditelisik. Orang-orang yang memperingatkan saya tentu bukan orang
sembarangan yang suka asal tuduh. Yang satu adalah seorang jurnalis sebuah
media Islam terkemuka yang juga mainstream (HIdayatullah) yang kredibilitasnya
tidak diragukan lagi, dan tentu informasi yang mereka tahu lebih banyak dari
saya, sementara saya memang baru saja terjun untuk mempelajari ranah pemikiran
dan coba "ngeuh" dengan isu-isu yang sedang hangat. Yang satu lagi,
seorang peneliti Insists khusus ke-Syi'ah-an yang tentu tak bisa diragukan kredibilitasnya di ranah
pemikiran, hal ini juga diakui lawannya yang berpaham Sepilis (sekularisme,
pluralisme, liberalisme).
Tapi informasi yang
mereka (kawan-kawan Insists) berikan dengan baru hanya memberikan link http://tokohsyiah.wordpress.com/
berikut pengantar berupa pernyataan bahwa bu Dina pernah tinggal dan bekerja
untuk media Iran juga pernah terlibat dalam aksi Ahlul Bayt Indonesia belum
cukup meyakinkan saya bahwa beliau itu seorang Syi'ah sebab saya sejauh membaca
tulisan-tulisan beliau, belum pernah ada pernyataan tegas beliau bahwa "saya
adalah seorang Syi'ah" (apa beliau bertaqiyyah? Wallaahu a'lamu). Namun
secara zhahir justru beliau membela Sunni. Beliau terang-terangan membela
Palestina dan aktif mengampanyekan-mengiklankan ajakan berinfaq kepada
orang-orang Indonesia untuk pembangunan sebuah rumah sakit di Palestina yang
diinisiasi oleh direktur MER-C Dr. Joserizal. Bahkan, beliau dengan yakin
menyatakan bahwa Israel-lah yang ada di balik konflik Suriah saat ini. Tulisan-tulisannya
memang mengarah ke sana.
Padahal kita
sama-sama tahu bahwa Syi'ah itu sangat terkait dengan Israel dan yahudi. Jadi
ini tidak sinkron. Tapi, sekali lagi bacaan saya terkait Syi'ah memang sangat
minim, belum memadai.
Selain itu, yang
membuat saya ragu dengan kesyi'ahan Dina adalah karena tulisan di blognya soal
Syaikh al-Buthy (seorang ulama Sunni terkemuka kontemporer), ketika beredar berita mengenai tewasnya beliau berikut
kontroversinya. Bu Dina sangat takzhim kepada beliau melaui ungkapannya: "Rupanya, bahkan
ulama Sunni sekaliber Prof Buthi pun, dengan segala kredibilitas keilmuannya
yang luar biasa, saat menyampaikan sesuatu yang dianggapnya benar sampai
dicaci-maki begitu." ungkapan ini memeperlihatkan pembelaan Dina
terhadap Syaikh al-Buthy saat media mainstream (eramuslim, voa-Islam, dan
sejenisnya --yang beliau sebut dalam tulisannya) menyajikan tulisan yang
mengecam Prof Buthi karena dalam konflik rezim vs oposisi, Prof Buthi
menolak mendukung oposisi.
Selain itu,
ketakhzhiman beliau terhadap Syeikh al-Buthy juga nampak dalam paragraf
selanjutnya pada tulisan yang sama:
"Dan pagi ini, saya mendapati kabar bahwa Prof
Buthi gugur syahid, dibom oleh para teroris. Semoga syahidnya beliau, membuka
mata banyak orang, mengenali bagaimana sadisnya ‘kultur’ perjuangan para
oposisi Syria. Dan syahidnya beliau, telah mendorong saya untuk berani menulis
status (tulisan ini, pen.) ini. Bukan karena saya fans-nya Assad (dan memang
bukan, emangnya siapa dia?!) dan bukan karena mazhab, tapi karena saya menolak
cara-cara berjuang yang sadis dengan membawa-bawa Islam. Karena saya khawatir,
kelak cara-cara barbar itu juga akan mereka terapkan di Indonesia yang
memiliki beragam agama, mazhab, dan
etnis ini. Karena, ideologi mereka itu adalah ideologi transnasional. Bila
mereka setuju cara-cara barbar itu diterapkan di Syria, mereka juga
menyetujuinya untuk diterapkan di semua negara, termasuk tanah air saya,
Indonesia.
Selamat berjumpa dengan para bidadari surga, wahai
Prof Buthi…".
Lihat betapa
kagumnya beliau terhadap sosok Syaikh al-Buthy. Juga yang menarik dalam tulisan
beliau yang saya kutip di atas adalah ungkapan
"Dan syahidnya beliau, telah mendorong saya untuk berani menulis status
(tulisan ini, pen.) ini. Bukan karena saya fans-nya Assad (dan memang bukan,
emangnya siapa dia?!) dan bukan karena mazhab, tapi karena saya menolak
cara-cara berjuang yang sadis dengan membawa-bawa Islam". Beliau
jelas-jelas menyatakan bahwa beliau tidak pro Assad bahkan dalam tulisannya
yang lain jelas-jelas menentang otoritariannya. Namun entah saya tidak paham
dengan ungkapan "dan bukan karena madzhab", apa ini mengindikasikan
bahwa Dina seorang Syi'ah dan menganggap bahwa Syi'ah hanyalah sebuah madzhab?
Coba perhatikan
paragraf pertama dalam tulisan yang sama:
"Sejak saya aktif menulis soal Syria, tiba-tiba
saja saya mendapat ‘gangguan’, mulai dari komen-komen tidak jelas (misalnya,
tulisan soal Syria, eh komennya malah soal isu nikah mut’ah), inbox yang
menuduh ini-itu (termasuk mengatai saya ini kafir, bukan Islam), bahkan hingga
upaya pembunuhan karakter (ada orang yang menulis status terbuka tentang saya,
menuduh ini-itu; serta ada yang membuat blog khusus yang memajang foto saya dan
keluarga; isinya juga tuduhan sektarian). Asli, karena saya menulis dengan
paradigma politik Timur Tengah (bahkan tidak sadar ada konflik mazhab di
Syria), awalnya, saya kebingungan, mengapa kok tulisan-tulisan saya tentang
Syria ditanggapi dengan sedemikian sengit (dan tidak nyambung) oleh sebagian
orang? Bahkan sebagian yang ‘sengit’ ini dulu teman-teman sendiri, yang dulu
mendukung saya saat menulis tentang Palestina dan Zionis. Bukankah dalam perang
di Syria, faktor Zionis sangat kental? Setelah setelah saya lebih paham peta
konflik di Syria, baru saya sadar,
rupanya ada kelompok-kelompok besar yang
menyatakan sedang berjihad di Syria dan tulisan saya yang mengkritik kelompok
oposisi Syria rupanya menyinggung para simpatisan jihad itu di Indonesia."
Beliau mengaku
sempat ketakutan karena dituding macam-macam padahal beliau (katanya) hanya
mencoba untuk berlaku objektif, menulis dengan paradigma politik timur tengah
(bahkan tidak sadar dengan konflik madzhab di Syiria). Tulisan-tulisan beliau
yang saya baca dalam blognya ataupun posting facebooknya berkali-kali
menyebutkan bahwa beliau merasa terganggu dengan tuduhan "sektarian"
yang dilontarkan sebagian orang kepada beliau. Tapi beliau juga selain tidak
pernah secara jelas dan tegas mengaku bahwa "saya seorang Syi'ah",
(sebaliknya) beliau tidak pernah secara jelas dan tegas mengakui bahwa
"saya BUKAN seorang Syi'ah". Dalam paragraf yang saya kutip di atas
mengapa Dina tidak sekalian saja menolak mentah-mentah dengan menuliskan
KALIMAT YANG JELAS atas tudingan sektarian itu bahwa "saya BUKAN seorang
Syi'ah", dengan begitu kan tidak
akan ada lagi tuduhan sektarian yang dilontarkan kepadanya.
Ohya, ada satu lagi
tulisan beliau yang menarik ketika menganalisis
soal siapa yang membunuh Buthy dalam tulisan berjudul "Siapa Bunuh
Syekh Buthy (2)", saya kutip (lagi) mudah-mudahan tidak bosan membaca:
"Saya tidak akan berpanjang-panjang lagi di
sini. Yang ingin saya sampaikan hanya satu: apapun analisisnya, video itu tidak
bisa dijadikan barang bukti untuk menentukan pembunuh Syekh Buthy, anteknya
Assad atau mujahidin. Jadi SIAPA? Untuk menjawabnya, tentu saja, perlu dirunut
lagi semuanya, baca lagi analisis-analisis yang sudah banyak ditulis orang.
Bandingkan argumen-argumennya dengan akal, bukan taklid pada apa kata
ustadz/ah. Lalu simpulkan dengan jernih.
Bagi saya, syahidnya Syekh Buthy adalah bukti nyata
adanya terorisme di Syria. Syekh Buthy (alm), Syekh Hassoun (Mufti Besar Syria,
yang anaknya juga tewas dibunuh teroris), serta Syekh Hassan Seifeddin (ulama
Aleppo yang syahid dibunuh teroris, kepalanya dipenggal, jasadnya diarak di
jalanan) adalah ulama-ulama Sunni. Tapi ternyata mereka menolak untuk mendukung
‘mujahidin’. Artinya, ini bukan Sunni lawan Syiah.
Apakah dengan menolak mendukung ‘mujahidin’, artinya
para ulama itu anteknya Assad? Dan apakah orang yang menentang perilaku para
‘mujahidin’ itu pasti Syiah? Tentu saja itu simpulan yang naif. Ini sama saja
seperti Bush saat mendeklarasikan Perang Melawan Terorisme: you’re either with
us or against us (mau gabung bersama kami, atau melawan kami). Apa kita yang
menolak mendukung Bush mengebomi rakyat Afganistan dan Pakistan bisa disebut
pendukung teroris?!
Memangnya, buat rakyat Syria pilihan hanya dua: antek
Assad atau anti Assad? Tidak, masih ada pilihan ketiga: perubahan rezim tapi
tanpa terorisme. Cara-cara berjuang ala teroris itulah yang ditentang oleh para
Syekh Sunni itu; juga oleh kelompok-kelompok oposisi Syria yang tergabung dalam
National Coalition Body. Bilapun benar rezim Assad adalah rezim terjahat
sedunia; tidak bisa dijadikan pembenaran bagi muslimin untuk melakukan
aksi-aksi ala teroris. Islam sudah memberikan aturan yang jelas; terorisme
bukanlah etika perang Islam.
Dan kita, bangsa Indonesia, perlu berhati-hati agar
cara-cara berjuang ala teroris tidak menular ke negeri kita tercinta."
Dalam tulisan ini
beliau jelas menyatakan tidak pro Asad maupun Mujahid dengan menyebut
"'Anteknya' Assad dan Mujahidin", beliau membela ulama-ulama Sunni
melalui pernyataannya di paragraf ke-2 tulisan yang saya kutip di atas dengan
menyebutkan beberapa ulama Sunni yang menolak mendukung mujahidin dan berakhir
tragis oleh teroris. Tapi beliau tidak suka dengan aksi terorisme. Kalau saya
simpulkan, terorisme menurut beliau dalam tulisan-tulisannya adalah segala
macam tindakan barbar tidak manusiawi baik yang dilakukan pihak Islam maupun
pihak Barat. Saya lihat mengenai ini beliau memang adil, tidak ada yang salah
kan?. Beliau tidak suka dengan Israel dan aktif membela palestina. Satu hal
yang konsisten beliau suarakan sejak dulu adalah bahwa Israel dan Amerika ada
di balik konflik-konflik yang terjadi di timur tengah termasuk konflik Suriah, segala isu
terkait madzhab adalah isu yang sengaja mereka (Israel dan antek-anteknya) gulirkan untuk memecah belah persatuan ummat Islam dan mengalihkan perhatian
mereka untuk menutupi dari kejadian (agenda) yang sebenarnya.
Tulisan lainnya yang
saya kira sangat kontroversial adalah tulisan mengenai Erdogan. Judulnya yang
"Erdogan kena Batunya" dan "Erdogan dan Netanyahu
Berdamai?" memperlihatkan bahwa Dina menentang pendapat umumnya ummat
Islam yang begitu mengelu-elukan Erdogan ini karena perannya yang besar dalam
mengIslamkan kembali negara arab sekuler Turki (pertama), juga karena aksi
walkout dari forum Internasional setelah berani menentang Israel sebagaimana
yang pernah dilakukan Ahmadinejd (kedua), serta keberaniannya melabrak blokade
Israel untuk mengirim bantuan ke Palestina dengan kapal Mavi Marmaranya
(ke-tiga). Di tengah-tengah keyakinan umumnya ummat Islam yang menjagokan
Erdogan, Dina justru malah membuat judul tulisan yang bisa dibilang 'propagandis'
kontras dengan suara konvensional muslim ini. Tapi bukan tanpa alasan, Dina
memang sepertinya melihat bahwa vitalitas Erdogan sudah melemah sehingga tanpa
pikir dua kali Erdogan terburu-buru membuat kebijakan yang 'sempoyongan' dengan
menceburkan diri dalam konflik, habis-habisan membela (bahkan mendanai)
perjuangan kaum pemberontak (Mujahid) yang membuatnya kini justru kelimpungan.
Ini membuat kedudukannya sebagai
pimpinan Turki mulai goyah dengan aksi-aksi yang belakangan bermunculan dari
Etnis Kurdi --kaum kontra-Erdogan sejak dulu.
Dina menengarai juga
"ada apa-apa" di balik maunya
Netanyahu (presiden Israel) dan Obama (Presiden Amerika) meminta maaf kepada
Erdogan atas insiden di kapal Mavi Marmara yang menewaskan dan membuat
luka-luka para aktivis kemanusiaan ini (bukan milisi), padahal Israel tidak
punya tradisi minta maaf itu, "sejak kapan
Israel memiliki budaya minta maaf? Selama lebih dari 60 tahun Israel telah
membantai warga Palestina dan mengusir mereka dari rumah-rumah dan
ladang-ladang pertanian mereka. Mengapa tak pernah meminta maaf? Mengapa baru
sekarang Israel meminta maaf, itupun hanya kepada Turki, dan mengapa dilakukan
bersama Obama?" ungkap Dina.
Fanatisme terhadap
Ali dan ahlul bayt memang sejak dulu menjadi ciri khas penganut Syi'ah. Namun,
apakah karena obsesi/kesukaan seseorang terhadap hal-hal berbau Iran dan Persia
lantas menjadi indikasi ke-Syi'ah-an seseorang?. Sebelum tuduhan
terhadap Dina, sebelumnya saya juga menemukan tuduhan yang sama terhadap Tasaro
GK. Tuduhan terhadap novelis ini karena dwilogi novel Muhammad-nya yang
berlatar tempat di Persia. Mulanya saya tidak menyadari apa-apa, tidak
menemukan sesuatu yang salah dalam sirah Nabi Muhammad saw berbentuk novel itu
(atau saya yang kelewat polos dan jahil??) saya tahu itu setelah ada seorang bertanya secara langsung pada Tasaro dalam bedah novel beliau yang diselenggarakan oleh Festival Budaya Arab Islam (17/5/2012), walau orang lain tersebut tidak menyebutkan "sebelah
mana"nya.
Hugo Chavez.
Ya, satu lagi
terkait tokoh ini. Tulisan Dina tentangnya yang kontroversial berjudul
"Chavez, in Memoriam" diawali dengan kalimat: "Chavez adalah pemimpin yang fenomenal dan spirit perjuangannya
melintasi batas agama dan bangsa." dilanjutkan dengan berbagai kiprah dan
jasa-jasanya yang baik. Tulisan ini dilengkapi sebuah gambar yang
memperlihatkan obrolan akrab antara 3 tokoh besar; Ahmadinejd, Chavez, dan
ulama Syi'ah Khomenei. Kalimat di atas ini menunjukkan bahwa Dina memang
benar-benar menulis dengan paradigma politik timur tengah, sementara
menghilangkan paradigma ke-Islamannya. Dina seolah mengamini ide pluralisme,
atau Dina sebagai jurnalis memang menerapkan konsep bahwa dalam jurnalisme
mesti menyimpan dulu agama di lemari (netral agama)??. Kalaulah beliau memang
seorang Islam yang teguh, tentu mungkin tak jauh-jauh ada ungkapan dalam
tulisan tersebut yang merujuk pada kekeliruan pandangan Chavez dilihat
dari paradigma Islam. Dina mestinya menulis tak hanya kelebihan Chavez yang
sisi kemanusiaannya baik, tapi juga menyayangkan ideologi yang dibawanya
sebagai non-Islam.
Lanjut Dina setelah
kalimat di atas: "Saat dunia beramai-ramai
melakukan pembunuhan karakter terhadap Ahmadinejad dan pemerintahan Islam Iran,
yang tampil sebagai pembela terdepan justru seorang Nasrani dari Amerika Latin:
Hugo Chavez". Dina, selain mengagumi eksotisme peradaban Persia
masa lalu, juga terlihat begitu mengagumi pimpinan Iran yang satu ini, Ahmadinejad. Anehnya,
sejauh ini saya memang belum pernah menemukan sisi buruk Ahmadinejd dalam
tulisan Dina termasuk tindakan terorisme Syi'i terhadap Sunni yang beritanya
banyak beredar di media. Apakah sebagaimana yang saya ungkapkan sebelumnya,
fanatisme ini juga melekat pada Dina sehingga tidak mau berlaku objektif (dalam
hal ini) dengan memberitakannya? Semoga saja dugaan saya ini salah. Atau ini bagi Dina --sebagaimana yang pernah
diungkapkannya-- merupakan aspek konflik (madzhab) yang Dina lupakan karena melulu
memandang persoalam timur tengah sebagai persoalan politis?.
Dari kalimat
tersebut di atas, Dina secara tegas membela Ahmadinejd, apakah karena
konsistensi keberaniannya yang tegas melawan Israel? Dina juga menganggap Iran
sebagai menerapkan pemerintahan Islam (???!!!) kelihatannya beliau memang
sudah dicocoki hidungnya oleh pengalaman hidup di Iran. Beliau juga benar-benar
menyimpan agamanya di lemari? Dina menutup mata terhadap kesesatan Syi'ah yang
menjadi satu bahasan terpenting dalam kehidupan seorang muslim, yakni konsep
aqidah Islam. Semoga saja beliau ini memang belum membaca sampai ke sana karena
melulu hanya membaca soal politik dan timur tengah, moga-moga suatu saat beliau
menyadari kekeliruan ini.
Berikutnya Dina
terlihat sangat mengagumi Hugo Chavez, seorang Nasrani dari Amerika Latin yang
berada di barisan terdepan membela Ahmadinejd dan pemerintahan Islamnya di
Iran. Anggaplah saja kalau pemerintahan di Iran itu memang sebuah pemerintahan
Islam (bagi Dina), saya masih bertanya-tanya, sejauh mana Islam memperbolehkan
suatu intrik politik Islam ketika mengharuskan terjalinnya sebuah relasi dengan
non-Islam? Bagaimana tinjauan fiqh? Ini pertanyaan sama yang saya ajukan ketika
PKS menjalin 'hubungan' yang begitu intensif dengan pihak non-muslim (di
Indonesia).
Terus terang saja
saya masih keberatan ketika seorang muslim begitu mengagung-agungkan seorang
yang akidahnya bermasalah (bukan seorang muslim) --kemudian mengadopsi
pemikiran-pemikiran yang dibawanya, sekalipun orang tersebut berjasa begitu
besar dalam hal kemanusiaan. Pencitraan ini jika dilakukan secara intensif dan terus menerus kepada masyarakat, akan membentuk opini umum bahwa pemikiran yang
dibawanya baik, tidak ada masalah dalam pemikiran tersebut, dan selanjutnya
akan sah-sah saja mengadopsinya (baik-buruknya) hingga menjadi suatu hal yang
lumrah. Haq dan bathil akan nampak abu-abu.
Chavez menurut Dina
dalam tulisannya memang telah berjasa begitu besar, terlebih jasanya untuk
kemanusiaan, saya pun mengapresiasinya. Tapi tetap ada tapinya. Dina (sekali
lagi) mestinya menyayangkan Chavez soal ketidak-muslim-annya.
Demikian, berikut
saya simpulkan sebuah analisis yang merupakan praduga saya soal Dina Y.
Sulaeman:
Beliau (mungkin)
adalah seorang Syi'ah yang menganggap bahwa Syi'ah adalah sebuah madzhab, bukan
firqah. Syi'ah sebagai sebuah pandangan fiqh, bukan kalam/'aqidah. Iran sedang
berusaha keras untuk menegakkan ideologinya, tuntutan keyakinannya atau bukan?
Wallaahu a'lamu. Tapi sepertinya memang demikian, terlepas dari
pihak-pihak(kelompok) 'lain' dalam Syi'ah yang melakukan tindakan terorisme.
Iran melakukannya dengan memperkuat diri secara pemerintahan maupun militer.
Menentang kebijakan-kebijakan imperium (negara-negara adidaya) yang sedang berkuasa saat ini --dengan
tegas, mempertegas common enemy terhadap mereka (imperium tersebut). Apakah
Sunni dianggap sebagai enemy juga? Entahlah, kalau saya lihat dari
tulisan-tulisan Dina sepertinya tidak.
Jadi, Syi'ah yang
dianut Dina (mungkin lagi) adalah Syi'ah yang sebagaimana tulisan seorang tokoh
Syi'ah yang menghimpun dialog antara dirinya dan seorang tokoh besar Sunni
dalam buku (terjemahan) "Dialog Sunni-Syi'ah" terbitan Mizan,
keduanya memiliki ekspektasi yang sama.
Hmm… Jadi, siapa
sebenarnya Dina Y. Sulaeman? Semoga praduga saya ini salah.
Wallaahu a'lamu bish-shawaab, رب أرنا الحق حقا و ارزقنا اتباعه و
أرنا الباطل باطلا و ارزقنا اجتنابه ….. aamiin