Friday, June 14, 2013

Siapa Dina Y. Sulaeman?? (2)

Belakangan ini ada seseorang yang selalu mengganggu pikiran saya, siapa? bukan lawan jenis, tapi teman sejenis. beliau itu Bu Dina Y. Sulaeman.

Dina??? Siapa? ( baca juga: Siapa Dina Y. Sulaeman (1))
Saya kenal beliau (meskipun tidak secara langsung) sejak dumay ramai berbicara soal konflik Suriah. Diam-diam, meskipun saya bukan seorang pengamat politik terlebih pendidikan saya bukan dari politik, tapi di dumay (facebook) saya banyak berkawan dengan orang-orang politik (PKS<= Ikhwanul Muslimin Indonesia, Hizbut Tahrir, dll), 2 kelompok pertama ini karena memang sejak pertama kali masuk Unpad saya menyadari ada 2 kekuatan politik yang memang cukup kuat peranannya di kampus ini. Mereka punya tempat tersendiri dalam pikiran saya dengan segala bentuk persoalannya.

Diam-diam, meski saya bukan seorang pengamat politik (diulang) tapi newsfeed facebook saya dipenuhi postingan terkait, sebab saya memang punya banyak kawan penyuka/pengkaji politik, saya pun jadi tak bisa menghindar untuk ikut berpikir, berbicara, dan berkomentar soal politik (suggested).

Saya bukan sama sekali antipati terhadap persoalan politik, dan memang pernyataan saya di atas tidak berarti demikian.

Nah, Bu Dina ini (secara latar belakang pendidikan formal) memang bukan dari politik, tapi lebih dari itu beliau berbicara politik sebab beliau seorang pengamat politik internasional. Beliau lulusan magister Hubungan Internasional Unpad setelah sebelumnya meraih gelar sarjana dari Jurusan Sastra Arab Unpad. Jadi pas sekali, beliau ini seorang pengamat dan pengkaji persolan timur tengah, bukan hanya persoalan politik tapi juga aspek-aspek lainnya. Dan kebetulan saat ini politik timur tengah memang sedang ramai-ramainya disoroti karena sedang bergolak.


Selain dari postingan-postingan kawan-kawan saya dari HT dan PKS terkait perkara Suriah yang sangat kental idealisme (sebab konflik ini mampu mengobok-obok perasaan --maklum lah anak muda, saya juga tak jarang merasa demikian) postingan Bu Dina yang lama berpengalaman sebagai seorang jurnalis juga tak luput dari perhatian saya, memang saya simpan nama beliau secara khusus dalam memori di otak saya. Kenapa? Karena beliau satu-satunya alumni sastra Arab Unpad (sejauh saya tahu) yang membuat saya kagum dari sisi cerdas, kritis, dan 'penulis yang telah menghasilkan banyak buku'-nya, terlebih beliau seorang jurnalis yang punya reputasi internasional. Ya, saya kagum dengan prestasi beliau karena beliau ini…
spesies langka. Oooops!! :D

Saya yang baru saja tertarik dengan bidang jurnalistik (karena baru menyadari peranannya yang begitu penting dalam kehidupan kekinian) memahami dengan cukup baik terkait bahwa yang terpenting dalam jurnalisme adalah "objektivitas", meskipun objektivitas tidak berarti netral ideologi. Dan beliau adalah seorang jurnalis yang memiliki objektivitas itu selain karena wawasan beliau yang begitu luas. Beliau seorang pembaca ulung yang memiliki banyak data terkait bidang yang beliau geluti, beliau seorang intelektual sejati.

Beliau banyak berkomentar (juga banyak) menelanjangi media-media mainstream Islam yang terbukti banyak melakukan manipulasi data terlebih ketika isu konflik Suriah mulai mencuat ke permukaan (cek saja tulisan-tulisan beliau dalam http://dinasulaeman.wordpress.com/). Mereka (media-media tersebut) nilai Dina, dalam melakukan pemberitaan terkait Suriah sangat pro-oposan (atau beliau sebut juga sebagai pemberontak dalam tulisan-tulisannya atau "Mujahid", dengan tanda kutip), dan ironisnya mereka sangat kompak dengan media-media mainstream barat dalam pemihakan mereka terhadap oposan (dalam menggulirkan pencitraan kepada publik) yang sama ini. Beliau simpulkan, media-media ini rela mengorbankan objektivitasnya hanya demi subjektivitasnya.

Overall, sejauh itu saya suka dengan beliau sebelum kawan-kawan saya di jaringan Insists memperingatkan saya untuk berhati-hati sebab beliau itu terindikasi seorang Syi'ah. Katanya.

Sebetulnya, sebelumnya saya memang tahu (melaui blog beliau tersebut) bahwa Bu Dina memang banyak menulis soal Iran. Buku-buku beliau yang sudah banyak terbit juga berbicara soal Iran, beliau terlihat sangat mengagumi eksotisme Iran masa lampau (peradaban Persia masa lalu) dari bukunya yang berjudul "The Journey to Iran, Bukan Jalan-jalan Biasa", "Princess Nadeera & 24 Kisah Princess Persia lainnya", juga Iran masa kini yang beliau lihat mampu melahirkan kader-kader potensial sekaliber Mahmoud Ahmadinejad yang begitu beliau kagumi (terlapas dari kesyi'ahannya) dengan karakter leadership yang sangat baik, selain buku-buku lainnya "Doktor Cilik; Hafal dan Paham Quran" dan "Bintang-Bintang Penerus Doktor Cilik" yang memperlihatkan kagumnya beliau kepada calon kader-kader pemimpin yang dilahirkan tanah Iran.

Selama itu saya memang tidak menyadari semua itu (kesyi'ahan Dina), entah karena memang saya begitu awam dan polos, atau saking saya seorang yang juga selalu ingin berlaku objektif sebagaimana Dina.

Namun ini memang menarik untuk ditelisik. Orang-orang yang memperingatkan saya tentu bukan orang sembarangan yang suka asal tuduh. Yang satu adalah seorang jurnalis sebuah media Islam terkemuka yang juga mainstream (HIdayatullah) yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi, dan tentu informasi yang mereka tahu lebih banyak dari saya, sementara saya memang baru saja terjun untuk mempelajari ranah pemikiran dan coba "ngeuh" dengan isu-isu yang sedang hangat. Yang satu lagi, seorang peneliti Insists khusus ke-Syi'ah-an yang tentu tak bisa diragukan kredibilitasnya di ranah pemikiran, hal ini juga diakui lawannya yang berpaham Sepilis (sekularisme, pluralisme, liberalisme).

Tapi informasi yang mereka (kawan-kawan Insists) berikan dengan baru hanya memberikan link http://tokohsyiah.wordpress.com/ berikut pengantar berupa pernyataan bahwa bu Dina pernah tinggal dan bekerja untuk media Iran juga pernah terlibat dalam aksi Ahlul Bayt Indonesia belum cukup meyakinkan saya bahwa beliau itu seorang Syi'ah sebab saya sejauh membaca tulisan-tulisan beliau, belum pernah ada pernyataan tegas beliau bahwa "saya adalah seorang Syi'ah" (apa beliau bertaqiyyah? Wallaahu a'lamu). Namun secara zhahir justru beliau membela Sunni. Beliau terang-terangan membela Palestina dan aktif mengampanyekan-mengiklankan ajakan berinfaq kepada orang-orang Indonesia untuk pembangunan sebuah rumah sakit di Palestina yang diinisiasi oleh direktur MER-C  Dr. Joserizal. Bahkan, beliau dengan yakin menyatakan bahwa Israel-lah yang ada di balik konflik Suriah saat ini. Tulisan-tulisannya memang mengarah ke sana.

Padahal kita sama-sama tahu bahwa Syi'ah itu sangat terkait dengan Israel dan yahudi. Jadi ini tidak sinkron. Tapi, sekali lagi bacaan saya terkait Syi'ah memang sangat minim, belum memadai.

Selain itu, yang membuat saya ragu dengan kesyi'ahan Dina adalah karena tulisan di blognya soal Syaikh al-Buthy (seorang ulama Sunni terkemuka kontemporer), ketika beredar berita mengenai tewasnya beliau berikut kontroversinya. Bu Dina sangat takzhim kepada beliau melaui ungkapannya: "Rupanya, bahkan ulama Sunni sekaliber Prof Buthi pun, dengan segala kredibilitas keilmuannya yang luar biasa, saat menyampaikan sesuatu yang dianggapnya benar sampai dicaci-maki begitu." ungkapan ini memeperlihatkan pembelaan Dina terhadap Syaikh al-Buthy saat media mainstream (eramuslim, voa-Islam, dan sejenisnya --yang beliau sebut dalam tulisannya) menyajikan tulisan yang mengecam Prof Buthi karena dalam konflik rezim vs oposisi, Prof Buthi menolak mendukung oposisi.

Selain itu, ketakhzhiman beliau terhadap Syeikh al-Buthy juga nampak dalam paragraf selanjutnya pada tulisan yang sama:
"Dan pagi ini, saya mendapati kabar bahwa Prof Buthi gugur syahid, dibom oleh para teroris. Semoga syahidnya beliau, membuka mata banyak orang, mengenali bagaimana sadisnya ‘kultur’ perjuangan para oposisi Syria. Dan syahidnya beliau, telah mendorong saya untuk berani menulis status (tulisan ini, pen.) ini. Bukan karena saya fans-nya Assad (dan memang bukan, emangnya siapa dia?!) dan bukan karena mazhab, tapi karena saya menolak cara-cara berjuang yang sadis dengan membawa-bawa Islam. Karena saya khawatir, kelak cara-cara barbar itu juga akan mereka terapkan di Indonesia yang memiliki  beragam agama, mazhab, dan etnis ini. Karena, ideologi mereka itu adalah ideologi transnasional. Bila mereka setuju cara-cara barbar itu diterapkan di Syria, mereka juga menyetujuinya untuk diterapkan di semua negara, termasuk tanah air saya, Indonesia.
Selamat berjumpa dengan para bidadari surga, wahai Prof Buthi…".

Lihat betapa kagumnya beliau terhadap sosok Syaikh al-Buthy. Juga yang menarik dalam tulisan beliau yang saya kutip di atas adalah ungkapan "Dan syahidnya beliau, telah mendorong saya untuk berani menulis status (tulisan ini, pen.) ini. Bukan karena saya fans-nya Assad (dan memang bukan, emangnya siapa dia?!) dan bukan karena mazhab, tapi karena saya menolak cara-cara berjuang yang sadis dengan membawa-bawa Islam". Beliau jelas-jelas menyatakan bahwa beliau tidak pro Assad bahkan dalam tulisannya yang lain jelas-jelas menentang otoritariannya. Namun entah saya tidak paham dengan ungkapan "dan bukan karena madzhab", apa ini mengindikasikan bahwa Dina seorang Syi'ah dan menganggap bahwa Syi'ah hanyalah sebuah madzhab?

Coba perhatikan paragraf pertama dalam tulisan yang sama:
"Sejak saya aktif menulis soal Syria, tiba-tiba saja saya mendapat ‘gangguan’, mulai dari komen-komen tidak jelas (misalnya, tulisan soal Syria, eh komennya malah soal isu nikah mut’ah), inbox yang menuduh ini-itu (termasuk mengatai saya ini kafir, bukan Islam), bahkan hingga upaya pembunuhan karakter (ada orang yang menulis status terbuka tentang saya, menuduh ini-itu; serta ada yang membuat blog khusus yang memajang foto saya dan keluarga; isinya juga tuduhan sektarian). Asli, karena saya menulis dengan paradigma politik Timur Tengah (bahkan tidak sadar ada konflik mazhab di Syria), awalnya, saya kebingungan, mengapa kok tulisan-tulisan saya tentang Syria ditanggapi dengan sedemikian sengit (dan tidak nyambung) oleh sebagian orang? Bahkan sebagian yang ‘sengit’ ini dulu teman-teman sendiri, yang dulu mendukung saya saat menulis tentang Palestina dan Zionis. Bukankah dalam perang di Syria, faktor Zionis sangat kental? Setelah setelah saya lebih paham peta konflik di Syria,  baru saya sadar, rupanya ada kelompok-kelompok  besar yang menyatakan sedang berjihad di Syria dan tulisan saya yang mengkritik kelompok oposisi Syria rupanya menyinggung para simpatisan jihad itu di Indonesia."

Beliau mengaku sempat ketakutan karena dituding macam-macam padahal beliau (katanya) hanya mencoba untuk berlaku objektif, menulis dengan paradigma politik timur tengah (bahkan tidak sadar dengan konflik madzhab di Syiria). Tulisan-tulisan beliau yang saya baca dalam blognya ataupun posting facebooknya berkali-kali menyebutkan bahwa beliau merasa terganggu dengan tuduhan "sektarian" yang dilontarkan sebagian orang kepada beliau. Tapi beliau juga selain tidak pernah secara jelas dan tegas mengaku bahwa "saya seorang Syi'ah", (sebaliknya) beliau tidak pernah secara jelas dan tegas mengakui bahwa "saya BUKAN seorang Syi'ah". Dalam paragraf yang saya kutip di atas mengapa Dina tidak sekalian saja menolak mentah-mentah dengan menuliskan KALIMAT YANG JELAS atas tudingan sektarian itu bahwa "saya BUKAN seorang Syi'ah", dengan begitu kan tidak akan ada lagi tuduhan sektarian yang dilontarkan kepadanya.

Ohya, ada satu lagi tulisan beliau yang menarik ketika menganalisis  soal siapa yang membunuh Buthy dalam tulisan berjudul "Siapa Bunuh Syekh Buthy (2)", saya kutip (lagi) mudah-mudahan tidak bosan membaca:
"Saya tidak akan berpanjang-panjang lagi di sini. Yang ingin saya sampaikan hanya satu: apapun analisisnya, video itu tidak bisa dijadikan barang bukti untuk menentukan pembunuh Syekh Buthy, anteknya Assad atau mujahidin. Jadi SIAPA? Untuk menjawabnya, tentu saja, perlu dirunut lagi semuanya, baca lagi analisis-analisis yang sudah banyak ditulis orang. Bandingkan argumen-argumennya dengan akal, bukan taklid pada apa kata ustadz/ah. Lalu simpulkan dengan jernih.
Bagi saya, syahidnya Syekh Buthy adalah bukti nyata adanya terorisme di Syria. Syekh Buthy (alm), Syekh Hassoun (Mufti Besar Syria, yang anaknya juga tewas dibunuh teroris), serta Syekh Hassan Seifeddin (ulama Aleppo yang syahid dibunuh teroris, kepalanya dipenggal, jasadnya diarak di jalanan) adalah ulama-ulama Sunni. Tapi ternyata mereka menolak untuk mendukung ‘mujahidin’. Artinya, ini bukan Sunni lawan Syiah.
Apakah dengan menolak mendukung ‘mujahidin’, artinya para ulama itu anteknya Assad? Dan apakah orang yang menentang perilaku para ‘mujahidin’ itu pasti Syiah? Tentu saja itu simpulan yang naif. Ini sama saja seperti Bush saat mendeklarasikan Perang Melawan Terorisme: you’re either with us or against us (mau gabung bersama kami, atau melawan kami). Apa kita yang menolak mendukung Bush mengebomi rakyat Afganistan dan Pakistan bisa disebut pendukung teroris?!
Memangnya, buat rakyat Syria pilihan hanya dua: antek Assad atau anti Assad? Tidak, masih ada pilihan ketiga: perubahan rezim tapi tanpa terorisme. Cara-cara berjuang ala teroris itulah yang ditentang oleh para Syekh Sunni itu; juga oleh kelompok-kelompok oposisi Syria yang tergabung dalam National Coalition Body. Bilapun benar rezim Assad adalah rezim terjahat sedunia; tidak bisa dijadikan pembenaran bagi muslimin untuk melakukan aksi-aksi ala teroris. Islam sudah memberikan aturan yang jelas; terorisme bukanlah etika perang Islam.
Dan kita, bangsa Indonesia, perlu berhati-hati agar cara-cara berjuang ala teroris tidak menular ke negeri kita tercinta."

Dalam tulisan ini beliau jelas menyatakan tidak pro Asad maupun Mujahid dengan menyebut "'Anteknya' Assad dan Mujahidin", beliau membela ulama-ulama Sunni melalui pernyataannya di paragraf ke-2 tulisan yang saya kutip di atas dengan menyebutkan beberapa ulama Sunni yang menolak mendukung mujahidin dan berakhir tragis oleh teroris. Tapi beliau tidak suka dengan aksi terorisme. Kalau saya simpulkan, terorisme menurut beliau dalam tulisan-tulisannya adalah segala macam tindakan barbar tidak manusiawi baik yang dilakukan pihak Islam maupun pihak Barat. Saya lihat mengenai ini beliau memang adil, tidak ada yang salah kan?. Beliau tidak suka dengan Israel dan aktif membela palestina. Satu hal yang konsisten beliau suarakan sejak dulu adalah bahwa Israel dan Amerika ada di balik konflik-konflik yang terjadi di timur tengah termasuk konflik Suriah, segala isu terkait madzhab adalah isu yang sengaja mereka (Israel dan antek-anteknya) gulirkan untuk memecah belah persatuan ummat Islam dan mengalihkan perhatian mereka untuk menutupi dari kejadian (agenda) yang sebenarnya.

Tulisan lainnya yang saya kira sangat kontroversial adalah tulisan mengenai Erdogan. Judulnya yang "Erdogan kena Batunya" dan "Erdogan dan Netanyahu Berdamai?" memperlihatkan bahwa Dina menentang pendapat umumnya ummat Islam yang begitu mengelu-elukan Erdogan ini karena perannya yang besar dalam mengIslamkan kembali negara arab sekuler Turki (pertama), juga karena aksi walkout dari forum Internasional setelah berani menentang Israel sebagaimana yang pernah dilakukan Ahmadinejd (kedua), serta keberaniannya melabrak blokade Israel untuk mengirim bantuan ke Palestina dengan kapal Mavi Marmaranya (ke-tiga). Di tengah-tengah keyakinan umumnya ummat Islam yang menjagokan Erdogan, Dina justru malah membuat judul tulisan yang bisa dibilang 'propagandis' kontras dengan suara konvensional muslim ini. Tapi bukan tanpa alasan, Dina memang sepertinya melihat bahwa vitalitas Erdogan sudah melemah sehingga tanpa pikir dua kali Erdogan terburu-buru membuat kebijakan yang 'sempoyongan' dengan menceburkan diri dalam konflik, habis-habisan membela (bahkan mendanai) perjuangan kaum pemberontak (Mujahid) yang membuatnya kini justru kelimpungan. Ini  membuat kedudukannya sebagai pimpinan Turki mulai goyah dengan aksi-aksi yang belakangan bermunculan dari Etnis Kurdi --kaum kontra-Erdogan sejak dulu.

Dina menengarai juga "ada apa-apa" di balik maunya Netanyahu (presiden Israel) dan Obama (Presiden Amerika) meminta maaf kepada Erdogan atas insiden di kapal Mavi Marmara yang menewaskan dan membuat luka-luka para aktivis kemanusiaan ini (bukan milisi), padahal Israel tidak punya tradisi minta maaf itu, "sejak kapan Israel memiliki budaya minta maaf? Selama lebih dari 60 tahun Israel telah membantai warga Palestina dan mengusir mereka dari rumah-rumah dan ladang-ladang pertanian mereka. Mengapa tak pernah meminta maaf? Mengapa baru sekarang Israel meminta maaf, itupun hanya kepada Turki, dan mengapa dilakukan bersama Obama?" ungkap Dina.

Fanatisme terhadap Ali dan ahlul bayt memang sejak dulu menjadi ciri khas penganut Syi'ah. Namun, apakah karena obsesi/kesukaan seseorang terhadap hal-hal berbau Iran dan Persia lantas menjadi indikasi ke-Syi'ah-an seseorang?. Sebelum tuduhan terhadap Dina, sebelumnya saya juga menemukan tuduhan yang sama terhadap Tasaro GK. Tuduhan terhadap novelis ini karena dwilogi novel Muhammad-nya yang berlatar tempat di Persia. Mulanya saya tidak menyadari apa-apa, tidak menemukan sesuatu yang salah dalam sirah Nabi Muhammad saw berbentuk novel itu (atau saya yang kelewat polos dan jahil??) saya tahu itu setelah ada seorang bertanya secara langsung pada Tasaro dalam bedah novel beliau yang diselenggarakan oleh Festival Budaya Arab Islam (17/5/2012), walau orang lain tersebut tidak menyebutkan "sebelah mana"nya.

Hugo Chavez.
Ya, satu lagi terkait tokoh ini. Tulisan Dina tentangnya yang kontroversial berjudul "Chavez, in Memoriam" diawali dengan kalimat: "Chavez adalah pemimpin yang fenomenal dan spirit perjuangannya melintasi batas agama dan bangsa."  dilanjutkan dengan berbagai kiprah dan jasa-jasanya yang baik. Tulisan ini dilengkapi sebuah gambar yang memperlihatkan obrolan akrab antara 3 tokoh besar; Ahmadinejd, Chavez, dan ulama Syi'ah Khomenei. Kalimat di atas ini menunjukkan bahwa Dina memang benar-benar menulis dengan paradigma politik timur tengah, sementara menghilangkan paradigma ke-Islamannya. Dina seolah mengamini ide pluralisme, atau Dina sebagai jurnalis memang menerapkan konsep bahwa dalam jurnalisme mesti menyimpan dulu agama di lemari (netral agama)??. Kalaulah beliau memang seorang Islam yang teguh, tentu mungkin tak jauh-jauh ada ungkapan dalam tulisan tersebut yang merujuk pada kekeliruan pandangan Chavez dilihat dari paradigma Islam. Dina mestinya menulis tak hanya kelebihan Chavez yang sisi kemanusiaannya baik, tapi juga menyayangkan ideologi yang dibawanya sebagai non-Islam.

Lanjut Dina setelah kalimat di atas: "Saat dunia beramai-ramai melakukan pembunuhan karakter terhadap Ahmadinejad dan pemerintahan Islam Iran, yang tampil sebagai pembela terdepan justru seorang Nasrani dari Amerika Latin: Hugo Chavez". Dina, selain mengagumi eksotisme peradaban Persia masa lalu, juga terlihat begitu mengagumi pimpinan Iran yang satu ini, Ahmadinejad. Anehnya, sejauh ini saya memang belum pernah menemukan sisi buruk Ahmadinejd dalam tulisan Dina termasuk tindakan terorisme Syi'i terhadap Sunni yang beritanya banyak beredar di media. Apakah sebagaimana yang saya ungkapkan sebelumnya, fanatisme ini juga melekat pada Dina sehingga tidak mau berlaku objektif (dalam hal ini) dengan memberitakannya? Semoga saja dugaan saya ini salah.  Atau ini bagi Dina --sebagaimana yang pernah diungkapkannya-- merupakan aspek konflik (madzhab) yang Dina lupakan karena melulu memandang persoalam timur tengah sebagai persoalan politis?.

Dari kalimat tersebut di atas, Dina secara tegas membela Ahmadinejd, apakah karena konsistensi keberaniannya yang tegas melawan Israel? Dina juga menganggap Iran sebagai menerapkan pemerintahan Islam (???!!!) kelihatannya beliau memang sudah dicocoki hidungnya oleh pengalaman hidup di Iran. Beliau juga benar-benar menyimpan agamanya di lemari? Dina menutup mata terhadap kesesatan Syi'ah yang menjadi satu bahasan terpenting dalam kehidupan seorang muslim, yakni konsep aqidah Islam. Semoga saja beliau ini memang belum membaca sampai ke sana karena melulu hanya membaca soal politik dan timur tengah, moga-moga suatu saat beliau menyadari kekeliruan ini.

Berikutnya Dina terlihat sangat mengagumi Hugo Chavez, seorang Nasrani dari Amerika Latin yang berada di barisan terdepan membela Ahmadinejd dan pemerintahan Islamnya di Iran. Anggaplah saja kalau pemerintahan di Iran itu memang sebuah pemerintahan Islam (bagi Dina), saya masih bertanya-tanya, sejauh mana Islam memperbolehkan suatu intrik politik Islam ketika mengharuskan terjalinnya sebuah relasi dengan non-Islam? Bagaimana tinjauan fiqh? Ini pertanyaan sama yang saya ajukan ketika PKS menjalin 'hubungan' yang begitu intensif dengan pihak non-muslim (di Indonesia).

Terus terang saja saya masih keberatan ketika seorang muslim begitu mengagung-agungkan seorang yang akidahnya bermasalah (bukan seorang muslim) --kemudian mengadopsi pemikiran-pemikiran yang dibawanya, sekalipun orang tersebut berjasa begitu besar dalam hal kemanusiaan. Pencitraan ini jika dilakukan secara intensif dan terus menerus kepada masyarakat, akan membentuk opini umum bahwa pemikiran yang dibawanya baik, tidak ada masalah dalam pemikiran tersebut, dan selanjutnya akan sah-sah saja mengadopsinya (baik-buruknya) hingga menjadi suatu hal yang lumrah. Haq dan bathil akan nampak abu-abu.
Chavez menurut Dina dalam tulisannya memang telah berjasa begitu besar, terlebih jasanya untuk kemanusiaan, saya pun mengapresiasinya. Tapi tetap ada tapinya. Dina (sekali lagi) mestinya menyayangkan Chavez soal ketidak-muslim-annya.

Demikian, berikut saya simpulkan sebuah analisis yang merupakan praduga saya soal Dina Y. Sulaeman:
Beliau (mungkin) adalah seorang Syi'ah yang menganggap bahwa Syi'ah adalah sebuah madzhab, bukan firqah. Syi'ah sebagai sebuah pandangan fiqh, bukan kalam/'aqidah. Iran sedang berusaha keras untuk menegakkan ideologinya, tuntutan keyakinannya atau bukan? Wallaahu a'lamu. Tapi sepertinya memang demikian, terlepas dari pihak-pihak(kelompok) 'lain' dalam Syi'ah yang melakukan tindakan terorisme. Iran melakukannya dengan memperkuat diri secara pemerintahan maupun militer. Menentang kebijakan-kebijakan imperium (negara-negara adidaya) yang sedang berkuasa saat ini --dengan tegas, mempertegas common enemy terhadap mereka (imperium tersebut). Apakah Sunni dianggap sebagai enemy juga? Entahlah, kalau saya lihat dari tulisan-tulisan Dina sepertinya tidak.

Jadi, Syi'ah yang dianut Dina (mungkin lagi) adalah Syi'ah yang sebagaimana tulisan seorang tokoh Syi'ah yang menghimpun dialog antara dirinya dan seorang tokoh besar Sunni dalam buku (terjemahan) "Dialog Sunni-Syi'ah" terbitan Mizan, keduanya memiliki ekspektasi yang sama.

Hmm… Jadi, siapa sebenarnya Dina Y. Sulaeman? Semoga praduga saya ini salah.


Wallaahu a'lamu bish-shawaab, رب أرنا الحق حقا و ارزقنا اتباعه و أرنا الباطل باطلا و ارزقنا اجتنابه  ….. aamiin

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,