Sunday, December 1, 2013

Aku, Bangkuku, dan Peradaban Barat*

*judul ini memang sengaja dibuat dramatis, padahal sebetulnya dramatis bangetttz.

===========================
(Dulu bacaanku nggak bener. Sekarang ‘mungkin’ ‘sedikit’ ‘agak’ bener)
===========================

Kelas 5 SD aku masih di SD Bojongsalam I. Maklum kampoeng, –meski jadi SD favorit di kampoeng itu—sekolahku itu amat langka tersentuh pembangunan. Jadi tak pernah ada pemugaran setidaknya sampai aku pindah sekolah.

Lantai sekolahku waktu itu masih hitam jaman doeloe yang terbuat entah dari apa, yang kalau tiba musim hujan mendadak nggak bisa menolak untuk ditempeli lempung sana-sini yang emblog-emblogan bawaan sepatu-sepatu para muridnya.
Seminggu sekali lempung yang menempeli lantai kelas sekolah itu kami bersihkan lewat kerja bakti murid satu sekolah yang 'agak' sering diadakan kalau musim hujan. Lempung itu kami kerik atau bahkan kami keruk menggunakan kape saking tebalnya.Tahu kape? Kape itu biasanya terlihat saat digunakan para pembuat roti bakar atau martabak untuk memudahkan membolak-balik makanan itu di wajannya. Kape terbuat dari besi sehingga bisa juga kami gunakan untuk mengeruk lempung itu.

Selain lantai hitam dengan lempungnya, sekolah kami pun punya ventilasi sekolah yang kaca-kacanya entah sudah pada ke mana saking seringnya dilempari batu (bukan) anak sekolahan di belakang sekolah. Ventilasi yang kerusakannya paling parah –karena bolong-bolong semua takada kaca tersisa selembar pun—ada di sebuah ruang kelas takterpakai yang difungsikan sebagai gudang. Ruangan itu biasa kami gunakan untuk main-main waktu istirahat walau sangat horor. Horor karena di ruangan itu banyak alat peraga IPA (tengkorak-tengkorak dan manikin yang terburai jantung, usus, paru-paru, hatinya) juga kapas-kapas berbercak seperti darah yang diterbangkan angin melalui ventilasi itu dari sebuah pohon kapuk yang buahnya sudah matang. Kami sebenarnya tahu kapas-kapas berbercak darah itu kapuk yang sudah terlalu matang, tapi kapas-kapas itu tetap kami duga sebagai . . . . . kapas orang mati. Dan kesan horor ruangan itu tak pernah hilang. Ruangan itu menjadi tempat buli paling asik.

Selain lantai dan ventilasi yang mengkhawatirkan, tak kalah mengesankan adalah bangku yang kami gunakan untuk belajar. Bangku yang kami gunakan di sekolah itu adalah bangku jati jadoel yang meja dan kursinya tak berantara, alias menyatu. Tentu saja kalau kami angkat sangat berat. Karena itulah kolong-kolong bangku kami serupa tempat sampah yang takpernah kami bersihkan karena takpernah terjangkau sapu. Apalagi di bangku paling belakang. hiiiii

Suatu ketika,
Sekolah kami tiba-tibaa dapat sumbangan bangku baru entah dari mana. Singkat cerita bangku-bangku baru itu menggantikan bangku-bangku lama yang berat di kelas kami. Bangku yang lama direlokasi ke ruang kelas yang horor yang terletak disudut itu, sampai pada akhirnya ruangan tersebut tak pernah lagi bisa kamigunakan untuk main-main :(.

Bangku-bangku baru itu memang bagus. Kursi dan mejanya terpisah. Dan tentu takterlalu berat kalau diangkat. Jadi kami bisa menjangkau sampah-sampah di kolong-kolongnya kalau piket. Bau sampah pun tak lagi terlalu menyengat.

Dengan senang hati aku duduk di atasnya sembari bersedekap penuh takzim. Tak lupa senyam senyum saking bahagianya. Ku elus-elus bangku mulus itu. Kami pun menjadi lebih nyaman belajar di atasnya.

(lama kelamaan)

Kami terbiasa meruncingkan pensil di atas bangku dengan gillete goal yang kami beli dari warung Bi Enci seharga Rp. 250,- perak atau kadang Rp. 200,- perak kalau diwarung Bi Eros dekat rumah. Bangku berwarna coklat muda itu sedikit demi sedikit bernoda bekas meruncingkan ujung pensil itu, selain memangtangan-tangan ‘kreatif’ kami tak tahan untuk tak menulis (corat coret maksudnya) di atasnya dengan ejekan-ejekan kepada genk musuh. Bangku yang mulus itu pun semakin penuh dengan coretan.

Tak lupa, di tengah kesibukan guru yang entah sangat senang sekali meninggalkan kami ke mana dan untuk keperluan apa, kami main-main dengan silet itu untuk mengiris-iris penghapus yang kami anggap sebagai daging atau leupeut untuk lotek. Kami main masak-masakan ceritanya. Kadang aku harus potong dua silet itu –atau bahkan empat—untuk kubagi dengan teman-teman sebangku, saking kerepotannya melayani pesanan agar cepat terpenuhi. Tidak overlap.

Dengan irisan-irisan itu, bangku yang mulus tentu menjadi berubah tersayat-sayat. Cat pernisnya terkelupas. Tak puas kami kerik-kerik cat itu untuk dijadikan bumbu tabur di atas daging atau leupeut dan lotek sebagai pengganti bumbu kacang setelah makanan itu disajikan di atas pincuk yang menyerupai bungkus lotek. Kami sengaja sobek kertas-kertas di bagian belakang buku kami untuk bungkus lotek itu.

Ditengah kesibukanku itu . . . . . (aku tak peduli bagaimana perubahan nasib dan rupa yang dialami si bangku mulus itu, yang penting aku bermain dan senang)

Masih saja tak puas. Kami buat permainan serupa catur (yang entah apa namanya waktu itu, aku lupa). Permainan yang biasa kami mainkan di buruan sekolah atau di atas lantai hitam kelas itu kami pindahkan ke atas bangku. Kubuat beberapa titik kemudian sketsa gambar alas permainan itu di atasnya sementara teman yang lainnya mencari batu-batu kerikil. Teman-teman sekelas mengerubungi bangkuku yang mendadak menjadi arena permainan untuk menyaksikan permainan kami secara langsung.

Belum masuk permainan (denk). Aku masih menggaris membuat sketsa dengan penggaris dan pensil yang keras yang cukup untuk meninggalkan ‘bekas’ di bangku tersebut. Ternyata tak terlalu sulit untuk melakukannya karena bangku tersebut tak sekeras bangku jati jadoel sebelumnya. Ku tak menyadari apapun (tak peduli dengan nasib bangku itu). Singkat cerita permainan selesai diiringi riuh rendah sorak sorai kepuasan dan ledekan para pendukung permainan di kedua belah pihak.

Di lain hari, suasana kelas tak ramai sebagaimana biasa karena separuh temanku tak sekolah. Malam harinya memang hujan besar. Ku paham mereka pasti terjebak banjir karena mereka tinggal di kawasan rawan banjir, kampoeng Bojong Monyet namanya.

Ku jadi melamun sendirian di atas bangku itu. Sembari merindukan teman-teman bermainku itu kusasar-pandangi berbagai ‘karya’ di atasnya. Ku pun buat yang baru di area yang agak kosong. Tahukah, aku senang menemukan cara baru untuk berkarya di atasnya. Ku memang kreatif. Kutusuk-tusuk bangku itu dengan pensil kerasku sampai berbekas lubang-lubang kecil hitam. Ku buatlah dengan cara itu bentuk-bentuk serupa gambar-gambar bebek, kucing, wajah teman-teman, dan lain-lain diatasnya.

==============================
Dan, aku baru sadar kalau ternyata selain kayunya yang tidak terlalu keras (memang kayu kualitas rendah seken), bangku itu juga dibuat dari kayu-kayu lama yang sudah berlubang-lubang. Ia dibentuk kerangkanya kemudian didempul sedemikian rupa sebelum dipernis sampai menjadi mulus. Kukerik-keriklah bangku itu. Kucungkil-cungkil dempulannya. Aku senang dengan ‘mainan’ baru itu. Memang sangat menyenangkan ^_^ . Kucungkil-cungkil dempulannya sampai habis di banyak titik di bangku itu, sampai bolong-bolongnya pun disana-sini.

Bagian dempulan memang lebih rentan (empuk) ketimbang kayu-kayu-lamanya, sehingga ‘ukiran’ kami itu bisa dengan mudah kami bentuk (kami temukan bentuknya). Pensil keras kami mudah mengukir bagian dempulannya. Kadang juga dibantu silet. Bagian kayunya dibiarkan, bagian dempulannya dicungkil habis ke dalam. Kukira dulunya di bagian bolong-bolong itu sebuah peradaban rayap berkembang. Ku tak tega meneruskan bayangan tentang bagaimana caranya peradaban itu bisa hancur.

Kuteruskanlah hobi itu sampai pada saat aku harus pindah sekolah ke Bandung. Entah masih berapa dempulan yang kusisakan di bangku itu untuk dicungkili. Kuwariskan ia secara sukarela kepada siapapun yang menempati bangku itu selanjutnya seltelah kutinggalkan.

(Aku duduk di bangku terdepan saat itu. Tapi kini aku berpikir entah kenapa guruku itu membiarkan ulah kami… tapi Tidak. Memang guruku itu baik sekali. Kreativitas anak-anak memang tak boleh dihambat)

Entah sudah berapa banyak bolong yang kutemukan lalu kugali hingga mengungkap kebenaran akan rupa bangku itu sebenarnya. Teman-temanku yang kemudian melanjutkan ekskavasi itu. Mungkin. (di Bandung aku tak bisa melakukan hal serupa. Guruku di SD Batununggal sangat perhatian )

=================================
Begitulah peradaban Barat.
=================================

Sampai akhirnya entah bagaimana nasib teman-temanku itu belajar di atasnya. Mungkin sesekali pensil yang keras itu melubangi kertas buku mereka saat menulis pelajaran. Padahal bangku itu belum genap setahun usianya (tapi keburukannya sudah terungkap sedemikian jelas hihi…).

Perludi ketahui, bukan hanya bangkuku yang nasibnya seperti itu. Teman-teman sekelasku pun sama kreatifnya. Semua bangku itu seiring dengan perkembangan zaman menjadi bolong-bolong.

Semua bangku di kelas itu bolong-bolong. Hehe…

Sekian_
(cape aku -_-)

(Written firstly inspired by Tan Sri Syed Muhammad Naquib al-Attas’s “Islam dan Sekularisme” yang diterbitkan dan diterjemah dari teks asli berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan [PIMPIN] Bandung pada tahun 2010)


wassalaamu‘alaykum warahmatullah wabarakaatuh_

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,