Thursday, November 21, 2013

Shalat dan Baca Quran di Luar Kebiasaan

Sebetulnya orang Indonesia jaman sekarang itu mudah saja kalau mau faham al-Quran.....

(Orang luar biasa adalah orang yang mampu berakselerasi di luar kebiasaan. Jika orang lain dalam setiap harinya biasa(nya) hanya membaca al-Quran (itupun tuntutan mutaba’ah dari si teteh), kita bisa berinteraksi dengannya di luar/lebih dari itu. Memerhatikan tiap kalimatnya lebih dekat, mencoba menganalisanya lebih dalam.


Itu. Yang juga mungkin dilakukan para ulama kita dulu. Sekelas Imam asy-Syafi’I, tak bisa saya bayangkan bagaimana intensifnya, bagaimana dalaaaam perhatiannya terhadap al-Quran, juga as-Sunnah, juga ayat-ayat kauniy, yang membuatnya mampu membuat formulasi kaidah-kaidah ushul dengan cara yang begitu jenius. Bagaimana juga seorang Sibawayh yang keluarbiasaan interaksinya dengan al-Quran membuatnya mampu memformulasi kaidah-kaidah gramatika bahasa Arab (setiap mereka memberi perhatian lebih pada aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan minatnya masing-masing, menunjukkan kedalaman ilmu yang sedia dalam al-Quran. Al-Quran meminjam istilah Prof. Al-Attas begitu saintifik. Kompleksitas keteraturannya berada dalam setiap jihat, dimensi, aspeknya).

Semua yang para ulama di atas itu lakukan bukan tanpa keluarbiasaan ghirah, ikhtiyar, dan mendalamnya pengenalan mereka terhadap hakikat.

Saya tak bermaksud menuntut agar kita dapat berdiri sejajar dengan mereka. Tak mengapalah kita selevel lebih rendah. Nggak nggak, Maksud saya, ambillah target minimalnya, yaitu kita faham isi al-Quran. Memang itu kewajiban setiap Muslim (kan?)

Al-Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab itu Allah swt. katakan “agar kamu berpikir.” Nah, kita belajar berpikir, lebih, tentang ini, berpikir sedikit saja (tak usah banyak-banyak), tak usah ingin seperti mereka-mereka karramallaahu wujuuhahum yang di atas itu. Lagipula kita ini bukan empunya bahasa, bukan penutur asli, kita tak memahaminya. Jadi kita sebetulnya masih punya satu ekstra tanggungjawab, yaitu “mengerti bahasa Arab”.

(Biarlah mereka para ulama itu seperti itu, dan biarlah kita seperti ini. Biarlah para ulama itu dilahirkan di tanah arab, menjadi penutur asli bahasa arab sehingga memahami al-Quran mudah bagi mereka, sementara kita dilahirkan di tanah bukan-arab dan tidak menjadi penutur asli bahasa Arab sehingga membuat kita ‘agak’ kesulitan memahami alQuran. Karena toh mereka mengajarkan kita, dan kita belajar dari mereka. Mereka yang lebih dulu paham al-Quran, kita menjadi objek ajar ilmu mereka untuk juga memahami al-Quran. Adil bukan? Kita membantu mereka mengalirkan ilmunya sebagai amalan yang takterputus (itu juga kalau kita mau, harus mau, takada pilihan lain). Mereka, membantu kita memahami alQuran. Jadi impas, kita saling ketergantungan. Semoga suatu saat nanti kita dapat bertemu dengan mereka. Allaahumma Aamiin….,))

Isshhh.... Enough. To the point.

Terjemahan al-Quran yang sudah ada saat ini sebetulnya sudah sangat memudahkan kita (kita sangat perlu bayangkan bagaimana dulu seseorang berusaha menerjemahkannya pertama kali dengan susah payah --A.Hassan di antara yang mula memperkenalnya lewat tafsir al-Furqan--, supaya kita bersyukur sudah ditinggali barang jadi). Bahkan penerbit al-Quran kini tak kehabisan akal menciptakan inovasi juga varian yang pelbagai untuk memenuhi kebutuhan ummat akan hal ini. Diterbitkanlah al-Quran versi tajwid yang memudahkan kita untuk men-tahsin bacaan Quran kita. Diterbitkan juga al-Quran dengan terjemah per-kata untuk memudahkan memahami maknanya perkata. Bahkan belakangan diterbitkanlah al-Quran yang lengkap dengan sabab nuzul juga tafsirnya dari berbagai mufassir. Jadi, akan sangat mudah bagi kita untuk belajar, hanya dari Quran terjemahan itu. Tak perlu kita cari-cari kitab Sibawayh yang ‘berat’ itu, atau manzhumat alfiyyahnya Ibn Malik yang ‘berat’ juga, atau Ahmad Musthafa alGhulayayniy dengan Jami'u d-durus-nya jika kita tak mampu membelinya, juga mencernanya. Pun tak perlu kita kesulitan cari kitab-kitab kaidah bahasa Arab lainnya yang lebih enteng dari itu, karena tanpa guru yang ‘memadai’ mereka itu... 'agak' sulit dicerna.

Sebaliknya, kita hanya perlu memberi perhatian pada alQuran & terjemahannya itu dengan cara yang ‘lebih’. Lebih dari sekedar membaca, lebih dari sekedar memenuhi tuntutan mutaba’ah, lebih dari hanya melafalkan simbol-simbol bahasa Arab dengan suara nyaring tanpa paham apa yang dibaca dan mengacuhkan terjemahnya, atau lebih dari membaca al-Quran dan terjemahnya yang bergantian setiap satu ayat.

Caranya, misal, kita perhatikan kalimat “alhamdu lillaahi” ini cocok dengan terjemahan yang “segala puji bagi Allah” ini. Kata yang “rabbi l’aalamiin” itu cocok dengan terjemahan yang “Tuhan semesta alam” itu. Kalimat-kalimat tersebut masih bisa dipotong-potong lagi menjadi beberapa kata-kata berarti tersendiri. Jika sudah terbiasa dengan kata-kata itu, saking intensnya, saking perhatiannya (lagipula kosakata alQuran takterlalu), di kemudian (pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi akan hal ini) akan nampak dalam pikiran kita bahwa: oh ternyata pola bahasa arab itu seperti ini ya, oh ternyata susunan kalimat dalam bahasa Indonesia dan bahasa arab itu begini bedanya ya, dan ooooh oooooh lainnya.

Lamaaaaa kemudian, setelah kita ulang-ulang berkali-kali khatam al-Quran dengan cara ini, coba kita baca dengan perhatian yang ‘lebih’ lagi, cerapi ‘lebih’ mendalam setiap katanya, lalu ke susunan kalimatnya, seterusnya cobalah berusaha untuk memahami alur cerita di dalamnya melalui bahasa Arab yang banyak di antara kosakatanya telah terrekam memori kita. Gulirkan mata kita untuk menatap bergantian dari teks arab ke teks terjemahan untuk mencocok-cocokkan antara kata dan artinya, bukan antara satu ayat dengan terjemahannya. Ketika suatu saat dalam pikiran kita sudah tergambar asosiasi sedemikian rupa yang membentuk sebuah alur cerita tertentu ketika membacanya, saat itulah kita telah benar-benar membaca al-Quran. Membaca, sebagaimana kita membaca tulisan dalam bahasa ibu. Semakin lama, semakin pandangan kita akan jarang menatap terjemahan, karena konsep bahasa Arab beserta banyak kosakatanya telah bersepadu seirama dalam pikiran kita. Suatu saat kita akan dapat benar-benar membaca sebagaimana seorang native membaca, tak perlu lagi alat bantu terjemahan. >> karena makna al-Quran terlalu dalam untuk sekedar dipahami lewat terjemahan, terjemahan tak selalu mampu (selalu tak mampu) mengalihkan makna yang ada dalam teks bahasa sumber secara keseluruhan.

Dengan demikian, akan sangat mudah bagi kita menghafalnya, juga menjaganya. Hafalkan dengan cara seperti ini, gunakan dalam shalat, shalat kita pun insyaAllah akan khusyu’, karena kita tahu apa yang kita ungkap dan adukan pada tuhan kita. Selanjutnya kita akan betah berlama-lama shalat. InsyaAllah shalat yang kita lakukan pun efektif. Tanhaa ‘ani l-fahsyaa wa l-munkar.

Ini baru namanya “mendirikan” shalat.

Shalat, amalan apa yang pertama kali ditanyakan di alam barzakh.

(Lalu, saya tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang hanya menghabiskan 5 menit saja untuk 4 raka’at shalat? apa yang sebenarnya ia baca? Saya jadi kebingungan pertanyaan seperti apa yang harusnya saya tanyakan di sini. Oh, mungkin ia membaca sebagaimana seharusnya, namun, seberapa cepat ia membaca? Apa dengan kecepatan seperti itu ia bisa menghayati setiap untaian kalimatnya? atau, apa yang membuatnya bisa tergesa-gesa seperti itu? Apa yang ia dapat dari shalatnya jika tergesa-gesa? Apa yang lebih penting dari momen-momen saat shalat itu?)
__________

Memahami bahasa Arab hanya satu aspek ketika berbicara soal shalat, meski aspek yang sangat penting, yang utama. Aspek lain yang tak kalah penting untuk menunjang kekhusyu’an shalat adalah aspek ruh, jiwa. Shalat tanpa komitmen untuk tulus melakukannya insyaAllah takkan khusyu’. Sebab, pikiran begitu liar. Ia bisa berlari ke mana saja yang ia mau. Karenanya kita coba ikat ia dengan komitmen. Kita panggil kembali kesadaran kita bahwa shalat adalah doa. Ia adalah sebentuk ritus yang tak sekedar untuk menunjukkan ketundukkan kita kepada Empunya alam raya (sekedar lepas tanggung jawab), melainkan juga menghendaki kedekatan secara langsung antara seorang hamba dengan yang ia ritusi. Karena Allah tak serigid itu. Allah swt. bisa sangat dekat dengan hambanya. Ia adalah Raja, namun Ia mau blusukan mendekat kepada yang Ia rajai. Allah baik hati. Tidak sangar. Maka kita bisa curhat padaNya, mengeluhkesahkan kesulitan hati dalam menangani hidup kepadaNya, sehingga Ia akan menenteramkan hati kita (Itulah pentingnya kita tahu apa yang kita ucapkan dalam shalat).

Maka dari sebanyak jam yang kita gunakan untuk beraktivitas di dunia ini, takkan mengapa jika kita luangkan barang minimal limabelas menit saja setiap kali shalat (Itu tak lama, berbanding curhat pada teman kita yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam). Tapi kita takkan bisa bayangkan nikmatnya kedekatan itu jika kita hanya baru melafalkan bacaan shalat dengan cara yang biasa-biasa saja, tanpa ruh, tanpa penghayatan, shalat yang kosong dari makna. Ia hanya dapat diperoleh ketika kita faham dan tulus melakukannya.

Sekali lagi, pikiran kita memang liar. Apalagi dikatakan dalam beberapa hadits bahwa godaan syetan lebih intens kala kita mencoba mendekat dengan Tuhan kita dalam ibadah. Secara halus ia meniup buhul-buhul kita, atau merasuk mengaliri urat-urat nadi kita bersama darah untuk mengalihkan fokus kita kepada yang lain. Mengingatkan barang yang hilang misalnya, mengingat-ingatkan kita pada komentar seseorang dalam status fesbuk, mengingat-ingatkan kita akan apa yang terjadi di waktu-waktu lalu, atau menelusupkan kepada pikiran kita angan-angan tentang sesuatu. Tak masalah sebetulnya kalau pikiran-pikiran itu menjadi maudlu’ yang terkoneksi ke dalam shalat kita. Yang masalah adalah pikiran-pikiran “yang lain-lain” di luar maudlu’ shalat yang tak terkoneksi ke shalat.

Nah, ketika hilang fokus (hilang khusyu’) itu terjadi, seberapa keras usaha kita untuk mengembalikan pikiran pada komitmen semula. Mengembalikan kesadaran bahwa kita ini sedang shalat yang benar-benar ingin “mendirikan” shalat. InsyaAllah fokus akan kembali.

Nikmatnya shalat.... juga bila shalat berjama'ah seorang imam membaca dengan penuh penghayatan, makhrajnya sempurna, intonasinya mantap, suaranya lugas, dan… tentu saja makmum juga faham apa yang dibaca imam. Maka takkan lagi ada alasan untuk berpaling dari fokus shalat.

Saat bertakbir, kita memujiNya. Saat berifitah, kita memuja, memohon perlindunganNya. Saat berfatehah, kita memuja-mujiNya, menyatakkan keagunganNya, lalu memohon untuk senantiasa dibimbing di atas jalan yang benar. Juga puja-puji lainnya dalam gerak dan baca lainnya. Dalam sujud, atau akhir tahiyyat, kita keluhkan tentang apa yang pernah menimpa pada diri. kita minta, dan meminta. Allah senang jika hambaNya meminta, sambil membanggakan karya-karya agungNya…. Apapun itu….

Jadi, khusyu’nya shalat memerlukan sinergi berbagai aspek.
Jika shalat setiap orang benar-benar benar, jika setiap orang “mendirikan” shalatnya, setiap individu dalam suatu masyarakat akan mawas diri, masyarakat yang beradab akan tercipta.
karena >> inna sh-shalaata tanhaa ‘ani l-fahsyaa`I wa l-munkar……


Wallaahu a’lamu_

#entahlahlagikepinginngoceh, geremett sama yang shalatnya sebentar amatt -_-"

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,