Agama dan teologi menjadi problem yang begitu rumit sekarang ini. Tuhan kini bisa dipahami dengan beragam macam cara dan pandangan, yang dapat menyebabkan pandangan yang beragam pula terhadap memahami agama. Jika pemahaman akan Tuhan keliru maka keliru pula pemahaman terhadap agama. Problem ini terjadi seiring dengan intensitas interaksi manusia yang semakin masif. Informasi dengan mudah dapat diakses sehingga berbagai kekeliruan akan semakin takterelakkan. Begitu kira-kira Dr. Wendi Zarman –direktur PIMPIN—membuka kuliahnya dalam pertemuan ke-3 Kuliah Pandangan Alam Islam III yang diselenggarakan Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) pada sabtu, 19 Muharram 1435 (23/11/13) di ruang Lab Fisika lantai 2 Kampus Unikom Jl. Dipatiukur 112-114 Bandung.
Sebagai pengantar kepada inti materi, kepada lebih dari 30 mahasiswa perwakilan berbagai institusi itu Wendi menerangkan akan pentingnya memberi perhatian terhadap “bahasa” dan penggunaannya. “Sangat banyak persoalan kekacauan disebabkan oleh kekeliruan dalam penggunaan bahasa.” tuturnya. Bahasa adalah identitas. Ia merefleksikan pikiran manusia terhadap suatu objek. Mengutip ide Prof. Al-Attas,[3] Wendi menjelaskan bahwa bahasa mencerminkan bagaimana kita memahami realitas atau objek pengetahuan. Jika suatu nama disalahpahami maka akan terjadi kesalahan pula dalam memahami realitas, sehingga sesuatu akan dipahami tidak sebagaimana mestinya.
"Materi ini kuliah ini penting agar kita memahami apa dan bagaimana sesungguhnya Islam. Jangan sampai ia dipahami dengan konsep yang dikelirukan oleh pandangan dari luar Islam yang sering membawa efek merusak terhadap konsep yang sudah mapan." Tutur Wendi.
Memperjelas pendapatnya Wendi mencoba memberikan beberapa contoh kekeliruan penggunaan bahasa (baca: terminologi) yang banyak terjadi yang menyebabkan timbulnya beragam masalah pelik lainnya.
Kata "Allah" adalah salah satu yang belakangan hangat mencuat di alam Melayu. Konsep "Allah" yang selama ini kita ketahui sebagai milik Islam menjadi persoalan ketika digunakan penganut Kristen untuk menyebut Tuhan mereka. Bagaimana tidak, konsep Tuhan yang dimiliki keduanya jelas sangat lain. Jika hal ini dibiarkan maka kerancuan dan kekeliruan berpikir akan terjadi dalam masyarakat.
“Pluralisme” adalah contoh lainnya. Pluralisme diketahui luas sebagai pengakuan terhadap keberagaman, bahwa tak hanya agama tertentu yang eksis namun juga agama yang lain. Ia disamakan dengan toleransi, padahal tak sesederhana itu. Ia merupakan istilah filosofis yang mewakili keyakinan bahwa agama-agama memiliki kebenaran yang sama. Tidak ada yang lebih benar. Maka tak ada yang boleh dicela. Istilah ini tidak menghendaki adanya truth claim. Ia pun takkan pernah mengizinkan pernyataan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Padahal, lanjut Wendi, tidak ada gunanya beragama tanpa truth claim. "Jangankan dalam agama, dalam berorganisasi atau berpartai pun truth claim selalu ada," tegasnya.
Selanjutnya, suara-suara yang ramai bergema saat ini adalah “humanisme”. Ia umumnya hanya dipahami sebagai kepedulian terhadap nasib-nasib orang yang tertidas. Padahal lebih dari itu, secara konseptual “humanisme” menyimpan paham bahwa standar kebenaran ada pada manusia. Tentu sangat bertolak belakang dengan Islam yang menjadikan wahyu tanzil sebagai standar. Maka kemudian istilah “Islam humanis” menjadi istilah yang takbisa diterima karena rancu. Keduanya memliki konsep tersendiri. Muslim adalah muslim, dan humanis adalah humanis, tegas Wendi.
Setelah memaparkan beberapa contoh kekeliruan penggunaan bahasa (baca: istilah) Wendi lalu menerangkan bahwa kekeliruan ini pun terjadi pada istilah “Islam”. Islam yang kita pahami sebagai agama yang Allah turunkan melalui Muhammad saw. kini coba direduksi maknanya menjadi “penyerahan diri” semata. Padahal tak setiap yang menyerahkan diri itu Islam.
Spiritualisme dan Pengalaman Traumatik Barat[4]
Pemikiran keagamaan Barat masa kini oleh Wendi dibagi menjadi dua. Pertama, keyakinan bahwa suatu saat akan terjadi di mana akibat intensitas interaksi antar manusia yang begitu masif akan membuat pemahaman manusia akan keagamaan sama. Inilah yang disebut dengan Kesatuan Transendens Agama-agama (Global Theology) yang diusung salah satunya oleh John Hick.[5] Sementara yang ke-dua, intensitas interaksi manusia yang semakin masif justru akan membuat manusia berkesimpulan bahwa agama tidak lagi diperlukan sebab semua rahasia sains sudah terungkap. Hal ini diungkapkan oleh Auguste Comte. Meski lain, kedua pemikiran ini lahir dari rahim yang sama, yaitu perjalanan sejarah Kristen yang traumatik.
Doktrin Kristen pada masa lalu sangat membatasi peranan akal. Dalam teologi kristen hidup adalah hukuman. Adam telah bersalah, dan diturunkannya ia ke bumi adalah hukuman. Bagi mereka dunia adalah kelam. Tidak ada gunanya bagi mereka mengetahui apa itu dunia. Maka Kristen pernah melarikan diri dari kehidupan dunia. Maka pada masa yang disebut sebagai "the dark age" itu pengetahuan tentang alam samasekali tidak berkembang di Barat.
Wendi lalu menggambarkan bagaimana tindakan mahkamah inquisi Spanyol sebagai tangan Tuhan mengebiri kerja akal manusia dengan memberi penyiksaan yang luar biasa terhadap apapun yang berpotensi menggugat otoritas Gereja. Penyiksaan yang Wendi sebut ‘kreatif’ ini pun tejadi pada para beberapa ilmuwan yang mencoba mengungkap teori hasil penelitiannya namun bertentangan dengan otoritas gereja. Hal ini juga tak lepas dari persoalan teologi dalam Kristen memang tidak jelas (problematik). Maka pengalaman traumatik ini membuat Barat menyingkirkan agamanya dari kehidupan.
Sementara di Barat demikian, di belahan dunia bagian Timur pengetahuan tentang alam sedang berkembang begitu pesatnya. Hal yang tiada lain berangkat dari konsepsi Islam dalam memandang alam (kawn). Ayat-ayat al-Quran sendiri banyak memerintahkan untuk mencari tahu apa itu alam.
Ada sebuah ungkapan bahwa ilmu pengetahuan Islam maju karena agama, sementara ilmu pengetahuan Kristen maju karena menjauhi agama. Ini memang benar, kata Wendi. Kemajuan sains Barat berlatar belakang pengalaman traumatik tersebut kemudian membuat revolusi pada alam pikir Barat yang mengalihkan perhatiannya dari akhirat menuju dunia. Agama adalah perhatian kepada akhirat . Agama adalah dongengan dan takhayul. Maka ia pada akhirnya tersingkir atau disingkirkan dari kehidupan karena dianggap sebagai problem yang menghalangi kemajuan. Inilah yang dikenal dengan sekularisme.
Namun demikian keterpisahan Barat dari agama menimbulkan kekeringan spiritual yang mendalam. Mereka kemudian mencoba meraih kembali agama namun didekatkan dengan sains untuk menghilangkan takhayulnya, dicari-cari kejelasan rasionalnya untuk menjadi masuk akal.
Ia bernama spiritualisme. Spiritualisme adalah cara beragama yang tak menghiraukan Tuhan. Spiritualisme dan agama tentu berbeda. Malas dengan "Organized Religion" karena dianggap sebagai terlalu banyak mengatur, maka ia diganti dengan spiritualisme. Para penganutnya meyakini bahwa secara fisik dalam otak manusia terdapat yang disebut sebagai "godspot". Inilah perangkat tempat di mana keyakinan akan ketuhanan bekerja. Titik ini yang membuat manusia merasa relijius. Dengan inilah mereka mengklaim sebagai sudah berserah diri (Islam).
Padahal, menyinggung pertemuan sebelumnya terkait Konsep Tuhan yang disampaikan oleh Irfan Habibi Martanegara, kata Wendi, kita tak bisa berbicara agama tanpa berbicara tentang tuhan. Mengutip al-Attas seorang filsuf sekaligus mujaddid masa kini Wendi menjelaskan "Bagaimana mungkin kita berbicara agama tapi tidak berbicara tentang Tuhan?" Ini sama halnya dengan pernyataan "Bagaimana mungkin seseorang mengelusnya rambutnya sementara ia botak?" lanjutnya.
Intensitas interaksi manusia yang semakin masif yang meniscayakan pemikiran tertentu berlalulalang secara bebas ini pada akhirnya singgah dan mengendap juga dalam pemikiran sebagian muslim. Mereka umumnya adalah yang kecewa dengan pengalaman keagamaannya. Mereka pun menjadi penentang paling keras terhadap Islam walau secara formal mengaku beragama Islam.
Maka sejalan dengan yang terjadi di Barat, di Indonesia pun paham spiritualisme ini mengemuka. Ia disajikan dalam berbagai seminar bertema kecerdasan spiritual. Spiritualisme menjadi dagangan yang laku sebab mampu menarik simpati berbagai kalangan dengan berbagai latarbelakang agama dan keyakinan. Maka tak heran seminar ESQ bisa menjadi begitu laku dan Quantum Ikhlas Erbe Sentanu bisa menjadi sebuah buku bestseller. Mencampuradukkan berbagai keyakinan keagamaan sebagai materinya, spiritualisme juga menjadi akar dari penyamaan semua agama (pluralisme), sebuah persoalan akidah masa kini.
Agama dalam Pandangan Islam
Kekeliruan pemaknaan Islam yang sedemikian genting tentu perlu diakomodasi, tutur Wendi. Tradisi keilmuan Islam yang mengagumkan –atas dasar agama ini—menghendaki perkembangan pengetahuan yang juga begitu mengagumkan dalam hal bahasa, selain sains dan teknologi. Para Ulama ilmuwan muslim sejak dulu telah mengodifikasi konsep-konsep kunci Islam dalam berjilid-jilid kitab untuk menjaga keutuhan maknanya. Maka dalam hal ini sangat perlu merujuk kepada literatur otoritatif tersebut untuk mengembalikan kemurnian makna-makna pada tempatnya, termasuk dalam memaknai Islam.
Konsep diin Islam yang akan coba menjawab persoalan ini merujuk kepada konsep yang diterangkan Prof. Al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme –sebuah karya yang Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud sebut sebagai bersifat kulli. Ia merupakan konsep yang dinilai baru sebab pemaparan konsep yang seperti ini memang ‘lain’–walau sesungguhnya jika dilihat pada literatur ulama muktabar lainnya akan dapat ditemukan benang merah konsep tersebut. Konsep diin yang tegas akan mampu menghalau kekeliruan yang coba mencampuri konsepsi Islam yang sesungguhnya, bahwa tidaklah benar Islam berarti berserah diri dan berserah diri adalah Islam sehingga siapapun yang berserah diri menjadi layak dikatakan Muslim.
Saking pentingnya materi tentang konsep Diin ini, kata Wendi, "The Religion of Islam" menjadi mata kuliah tersendiri di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization)[6] yang wajib diikuti mahasiswa dari berbagai konsentrasi studi.
Prof. Al-Attas dalam menuangkan konsepnya ini merujuk pada definisi yang diberikan Ibnul Manzhur dalam Lisaanu l-'Arab –sebuah kamus leksikon bahasa Arab klasik yang disusun sekitar abad ke 7-8 H.[7] Lebih lanjut Wendi memaparkan bahwa Diin secara etimologis berasal dari kata daana (dyn).[8] Daana ini memiliki berbagai makna. Salah satu di antara maknanya adalah keberhutangan. Hutang ini sebagai modal perniagaan yang dipinjamkan Allah swt. kepada manusia. إن الإنسان لفي خسر (Q.S. al-‘Ashr [103]: 2). Modal yang dipinjamkan itu adalah kehidupan manusia sendiri. Maka segala yang dimiliki manusia bukanlah miliknya.
Modal ini semakin lama akan semakin menyusut nilainya dan tentu semuaya akan berujung pada kemusnahan. Maka, agar manusia tidak merugi keberhutangan ini harus disadari sebagai tidak mungkin terbayar kecuali dengan kewujudannya sendiri di bumi, yakni dengan beribadah dan beramal shaleh. Pengembalian (pembayaran hutang) ini lanjut Wendi ibarat hujan yang dikembalikan ke langit. Hal ini merujuk pada firman Allah: و السماء ذات الرجع (ar-raj') (Q.S. ath-Thariq [86]: 11). Ar-raj' dimaknai para ulama sebagai hujan, sebab air hujan itu senantiasa akan kembali naik ke atas. Air hujan yang naik kemudian akan turun sebagai berkah. Siklus yang sama terjadi pada manusia jika mereka mengembalikan hutangnya. Ia pun akan mendapat berkah.
Dalam setiap pengembalian hutang atau modal pinjaman biasanya seseorang akan mendapat laba. Maka diin adalah perniagaan dengan Allah. Laba dalam perniagaan dengan Allah berarti pahala/balasan sebagaimana firmanNya dalam Q.S. as-Shaf [61]: 10: "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?" dan Q.S. Fathir [35]: 29: "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,"
Diin yang kedua bermakna kekuasaan Hukum. "Permberi hutang akan dapat menguasai orang lain dengan memberinya hutang." kata Wendi. Maka ketika seseroang dihutangi, ia akan melakukan apapun untuk yang memberinya hutang. Artinya karunia Allah swt. terhadap manusia memberiNya kekuasaan hukum atas manusia sehingga manusia menghamba kepadaNya. Di sini ada pengakuan manusia atas otoritas Allah. Otoritas yang menyebabkan kekuasaan, penghakiman, dan pengadilan oleh Allah swt. atas manusia sebagaimana bunyi Q.S. al-A’raf [7]: 172 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",”
Makna lain Diin yang ketiga adalah penyerahan diri. Ini dari sisi manusia. Manusia telah dibebani/memiliki kewajiban (dayn) karena diberi kehidupan sebagai hutang, maka ia berserah diri dan taat terhadap pemberi hutang (Allah). Namun penyerahan diri ini dilakukan secara sadar bukan terpaksa (bukan takluk/pemaksaan diri), ia melibatkan komponen hati, lisan, dan perbuatan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. an-Nisa [4]: 125 bahwa berislam yang terbaik adalah berserah diri secara sukarela, "Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya."
Terakhir, Diin berarti kecenderungan alamiah (fitrah). Ketaatan manusia pada Allah swt. adalah suatu kecenderungan alamiah, sebab memang itulah tujuan penciptaannya (eksistensinya). “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” terang Allah swt. dalam Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56. Maka kezhaliman/kekacauan berarti sesuatu yang telah bergeser dari tempat yang semestinya. Ini keadaan yang melenceng dari fitrah. Maka jika fitrah/kecenderungan ini ditaati sebaliknya akan timbul keadilan, keharmonisan, keselarasan, kesejahteraan, dan keselamatan dalam kehidupan manusia.
Keempat makna ini (Keberhutangan => kekuasaan hukum => penyerahan diri => kecenderungan alamiah) berada dalam satu medan semantik yang membentuk konsep yang ajeg dalam "Diinul Islam". Dengan demikan makna ini tak lagi dapat diubah dan dimaknai dengan pelbagai makna yang sembarang. Begitulah kesimpulan Wendi menutup kuliahnya.
Bandung, 27 November 2013_
=========================
[1] Tulisan ini berdasarkan catatan kuliah Pandangan Alam Islam #3 pertemuan ke-3 PIMPIN pada sabtu, 19 Muharram 1435 H (23/11/13) di ruang Lab Fisika lantai 2 Kampus Unikom Jl. Dipatiukur 112-114 Bandung.
[2] Mahasiswi Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, aktif di Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Islam (PIMPIN) Bandung.
[3] Gagasan Prof. Al-Attas terkait bahasa salah satunya dapat dibaca dalam karya beliau berjudul “The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education” atau terjemahan dalam Bahasa Indonesia berjudul: “Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam” oleh Haidar Bagir, diterbitkan Mizan pada Sya’ban 1407 H/April 1987 EB.
[4] Lebih lanjut tentang pengalaman traumatik keagamaan di Barat ini dapat ditemukan dalam karya Prof. Al-Attas berjudul “Islam and Secularism” atau terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul “Islam dan Sekularisme” yang diterjemah dan diterbitkan PIMPIN Bandung pada tahun 2010 M. Atau juga dapat dibaca dalam “Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal” karya Dr. Adian Husaini, (Jakarta: Gema Insani, 2005 EB).
[5] Kajian terhadap konsep ini dapat juga dibaca dalam buku yang baru saja diterbitkan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) berjudul “Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim”.
[6] Sebuah fakultas pemikiran dan peradaban Islam di International Islamic University of Malaysia (IIUM) yang direkabangun oleh Al-Attas sendiri untuk mewujudkan gagasan Islamisasi-nya.
[7] Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1407 H/1987 EB), hlm. 18.
[8] Konsep Diin ini secara khusus dan komprehensif dapat dibaca pada sub judul III "Islam: Faham Agama dan Asas Akhlaq" dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN, 2010 EB), hlm. 65-120.