Wednesday, May 1, 2013

Perjuangan Jilbab Kami


Baca artikel tetang sejarah hijab nusantara yang ditulis Kak Sarah Mantovani (http://thisisgender.com/hijab-indonesia-sejarah-yang-terlupakan/), jadi ingat barang 16 tahunan yang lalu, saat Ibu mulai memakaikan kerudung di atas kepala saya di hari pertama masuk sekolah dasar.

Oya, zamannya Ibu-Ibu kita kuliah, barangkali zamannya revolusi jilbab yang Kak Sarah bilang di paragraf-paragraf terakhir artikelnya itu. Dulu, katanya Ibu pernah ikutan Usrah (Usrah itu satu akronim yang entah apa singkatannya saya lupa), yang jelas itu satu kelompok kajian Islam yang dari penuturan beliau saya kira masih mirip-mirip sama gerakan tarbiyyah yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin. Kalau ia, saya terka mungkin ini gerakan awal-awal mereka memasuki ranah akademisi (baca: mahasiswa) meski perkembangannya pada saat itu belum sesignifikan sekarang secara kuantitas.

Ibu saya saat itu kuliah di Universitas Bandung Raya setelah sebelumnya pernah kuliah di Univeristas Sriwijaya saat tinggal di Bangka bersama om dan tante-nya. Om-nya itu seorang bos timah dengan materi yang serba tercukupi, sehingga gaya hidupnya cukup hedonis. Saat kuliah di Unsri sana Ibu belum mengenakan jilbab. Hingga Dari salah satu sobatnya yang mengikuti kelompok kajian tersebut (baca: Usrah, setelah pindah ke Bandung) akhirnya Ibu mendapat hidayah untuk mulai mengenakan jilbab.

Menurut penuturan Ibu, tak selang berapa lama setelah mulai memakai jilbab, kelompok kajian tersebut dibubarkan oleh pihak kampus sebab dituding terindikasi aliran sesat karena kelompok tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar dan signifikan. hal itu terbukti dari banyaknya mahasiswi yang mulai mengenakan jilbab. Saya pikir itu hanya alasan saja untuk menutup-nutupi usaha penertiban oleh rezim orde baru terkait asas tunggal. Demikian, kelompok kajian tersebut belum kembali "bergerak" hingga Ibu saya lulus. Namun alhamdulillah selanjutnya Ibu menganggap tantangan-tantangan serupa sebagai angin lalu, bumbu perjuangan dalam hidup.

Lain Ibu saya, lain saya.

Kurang dari 10 tahunan setelah kelulusan Ibu, Ibu sudah menikah dengan ayah dan dikaruniai 2 putri. Satu kakak saya, satu lagi saya. Tahun ajaran baru Ibu mendaftarkan saya ke sekolah dasar di SD Sekelimus I Buah Batu Bandung. Tibalah hari senin yang kami tunggu-tunggu, hari paling bersejarah buat saya. Pagi itu, Ibu sibuk sekali karena mempersiapkan berbagai perlengkapan yang kami berdua butuhkan untuk sekolah. Lalu Ibu mengenakan kerudung di kepala kami. Teteh saya mulai pakai kerudung di kelas 2, sementara saya di kelas 1. saat itu saya sempat merasa cemburu pada Teteh sebab Teteh di kelas 1 Teteh belum mengenakan kerudung, karena saya kira tidak pakai kerudung itu cantik, rambut bisa ditempeli segala macam aksesori. Betapa Lugu dan konyol sekali saya saat itu… :D

Ya, pagi itu formally Ibu memakaikan kerudung di kepala kami. Ini rupanya sebagai penjajakan, pengenalan konsep menutup aurat kepada anaknya sejak usia dini, walau saat pulang sekolah kami membukanya termasuk saat main sehari-hari. Rok merah yang kami gunakan saat itu berukuran XL, itu sengaja karena paling panjang, tidak ada lagi yang lebih panjang dari itu. Saya ingat, karena rok tersebut terlalu besar di pinggang, kami lipat bagian belakangnya, kemudian lipatan tersebut disembunyikan di balik sabuk. Rok yang hanya sampai bawah lutut itu diimbangi dengan kaos kaki yang panjangnya sampai pangkal betis. Maklum, saat itu rok merah panjang belum ngetren :D.

Usia lima tahun, kelas 1 SD, hari pertama sekolah. Saat pertama kali duduk di bangku SD waktu itu barangkali saat dimulainnya perjuangan saya (hehe). Saya terlihat begitu aneh di antara teman-teman yang lain karena saat itu kerudung masih langka digunakan, baik oleh orang tua murid, terlebih lagi murid SD (tidak seperti sekarang, memakai kerudung di lingkungan sekolah menjadi tren walau cara, bentuk, dan konsistensi pemakaiannya beragam).

Tengah tahun pertama sekolah dasar, kami sekeluarga pindah ke Rancaekek, kampung asal ayah saya. Saya pun melanjutkan sekolah di sana, di kelas 1 SD Bojongsalam I, pada pertengahan catur wulan 2. Masih segar di ingatan saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kelas itu, Ibu Elly mempersilakan saya memperkenalkan diri, sementara teman-teman sekelas memandangi saya penuh keheranan karena saya memakai kerudung.. (makhluk dari apa dan dari mana ini?? Begitulah kira-kirai kalau saya tafsirkan wajah keheranan mereka).

Lain dengan mereka, Ibu Elly, wali kelas saya itu terlihat sangat menyenangi saya. Oya, mungkin beliau juga bagian dari para hijabers pemula dan merasa bangga karena ada anak muridnya yang juga memakai kerudung, ini fenomena luar biasa. Saya masih ingat, ketika berhasil membaca sepapan tulis penuh tulisan: "I ni - I bu - bu di", Ibu Elly menggendong saya, dan membanggakan saya ke teman-teman yang lain karena "sudah pandai membaca" :D sementara yang lainnya masih belum selancar itu. Bahkan ada beberapa teman saya yang hingga kelas 5 belum bisa membaca (memang miris sekali saat itu, usaha pemusnahan buta huruf belum merata sementara tanggung jawab untuk mencerdaskan anak-anak bangsa hanya ditumpukan ke pihak sekolah dasar. SD dulu memang tak semanja SD sekarang yang maunya terima jadi.. :P)

Back to the main idea.
Saat istirahat tiba (entah saat Ibu Guru meninggalkan kelas) saya ingat sebagian teman-teman mendekati saya kemudian tiba-tiba mencehcar saya dengan berbagai cercaan. Entah mereka tak rela dengan pujian Bu Elly kepada saya atau apa, mereka merendahkan saya dengan sebutan "eh, bu Haji!" (yang mereka tahu, biasanya orang-orang yang sudah berhaji yang memakai jilbab) atau "eh, nenek-nenek" (mungkin dalam mindset mereka, biasanya orang-orang yang sudah bau tanah yang mau memakai jilbab) atau yang paling menyakitkan "eh, kamu botak ya.." (mereka kira saya memakai kerudung karena kepala saya botak sehabis "kutuan", sebab di SD sebelah, SD Bojongsalam II, ada yang berkerudung sehabis dibotakin karena "kutuan"), atau "heh, kedok" (seolah saya berkerudung karena pernah melakukan sebuah dosa besar tak terampuni kemudian bertobat, mengenakan kerudung untuk sok-sokan soleh). Dan yang paling saya ingat, mereka sering memain-mainkan kerudung saya, kemudian menariknya, menjambak, dan mencoba mencopotnya. Saya sampai kepayahan melawan mereka, hingga sayapun menangis terpuruk (ini jadi semacam tragedi pencopotan jilbab secara paksa oleh otoritas berwenang di negara yang muslimnya menjadi minoritas).

Perlakuan diskriminatif seperti itu bahkan terus saya alami hingga kelas 6 SD, walau tak separah saat tahun-tahun pertama. Tak tahu sebab.

Setelah beranjak dewasa mungkin kita melihat anak-anak SD begitu lugu, namun sejatinya di setiap usia manusia memiliki problemnya tersendiri yang tak bisa dianggap remeh, bahkan ada yang masih berdampak pada psikisnya hingga ia dewasa. Akhirnya, yang masih berbekas pada saya adalah ingatan tentang masa-masa yang paling keras saat itu. :D

Ketika Ibu berjuang pada masa dan usianya, saya pun berjuang pada masa dan usia saya. Sama-sama diperlakukan secara diskriminatif, demi mempertahankan apa yang menjadi keyakinan. Ibu berjuang atas keyakinan keIslamannya, sementara saya berjuang atas nama Ibu saya --yang saya yakin Ibu saya itu mengajarkan yang haqq ketika itu. Meski demikian, Ibu berhasil menanamkan kepada saya bahwa jilbab sebagai simbol ketaatan yang berbuah kemuliaan dan ketentraman.

Masih saat SD, saya ingat saat itu sudah di tahun terakhir ketika saya berjalan bersama teman-teman pada waktu istirahat melintasi gang-gang sempit untuk mendapatkan semangkuk bakso favorit kami, kami bertemu dengan sekelompok pelajar SMP yang sedang nongkrong. Teman-teman saya yang ber-rok mini seatas paha digodai mereka dengan siulan nakal, sementara saat saya yang berjalan paling belakang melintasi mereka, mereka malah takzhim dan mengucapkan salam.

Barulah di usia SMP saat masuk jenjang tsanawiyyah di Pesantren Persatuan Islam 84 Ciganitri, jilbab secara konsisten saya kenakan. Seiring dengan itu, ternyata kerudung pun mulai ramai digunakan dan menjadi tren di baik di kalangan murid SMP, maupun perempuan pada umumnya.

Alhamdulillahi rabbi l-'aalamiin… hingga kini perempuan beramai-ramai mengenakan kerudung, walau jilbab ternyata cukup sulit, tapi mudah-mudahan suatu saat nanti perempuan semakin sadar dengan ketentuan Islam yang indah ini…. ^^"

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,