Adat
istiadat sebagai salah satu produk budaya menjadi salah satu aspek yang
mempengaruhi identitas sosial. Namun hasil kebudayaan tersebut di
berbagai wilayah di dunia sudah tidak banyak mendapat perhatian, apalagi
d kota-kota besar. Pesatnya arus globalisasi sedikit demi sedikit telah
menggerus keetnisan yang ada dalam tiap individu/masyarakat.
Saat sekelompok orang mendiami sebuah tempat baik yang berasal dari suku yang sama ataupun tidak, maka seiring dengan berjalannya waktu manusia sebagai makhluk sosial mulai melakukan komunikasi satu sama lain. Dalam komunikasi itulah terjadi proses pemindahan gagasan atau ide dari seseorang ke orang lain melalui bahasa baik bahasa verbal maupun nonverbal. Dengan bahasa manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, diantaranya apa yang dibutuhkan oleh fisik maupun mentalnya. Semua itu mesti dipenuhi agar manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
Saat sekelompok orang mendiami sebuah tempat baik yang berasal dari suku yang sama ataupun tidak, maka seiring dengan berjalannya waktu manusia sebagai makhluk sosial mulai melakukan komunikasi satu sama lain. Dalam komunikasi itulah terjadi proses pemindahan gagasan atau ide dari seseorang ke orang lain melalui bahasa baik bahasa verbal maupun nonverbal. Dengan bahasa manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, diantaranya apa yang dibutuhkan oleh fisik maupun mentalnya. Semua itu mesti dipenuhi agar manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
Dalam masyarakat tradisional,
ketika satu kelompok berinteraksi dengan kelompok lainnya melalui bahasa
tersebut maka ia memerlukan sebuah identitas. Identitas itulah yang
nantinya akan menjadi salah satu aspek penentu tinggi-rendahnya derajat
seseorang dalam hidup bermasyarakat. Pandangan setiap orang atau
kelompok dalam memandang tinggi atau rendahnya identitas sosial dalam
kacamata adat istiadat (untuk menunjukkan status sosial di hadapan orang
atau kelompok lain) adalah berbeda. Perbedaan ini ditentukan oleh
beberapa faktor. Diantaranya adalah faktor fisiologi suatu tempat,
misalnya faktor geografis. Faktor ini memiliki nilai penentu yang besar
dalam mengubah atau membentuk pola kepribadian seseorang atau masyarakat
yang mendiami suatu tempat.
Kemudian, jika dilihat dari sudut
pandang sosial, masyarakat primitif (dikatakan masyarakat primitif
ketika sekelompok orang masih bersahabat dengan alam. Dalam istilah
bahasa Arab, masyarakat seperti ini masih memegang teguh ke-alamiahannya
atau bii`ah thabi’iyyah). Masyarakat primitif dalam pergumulan
masyarakat Arab tempo dulu disebut sebagai masyarakat badewi. Kini
istilah badewi atau baduy akrab di telinga kita sebagai representasi
dari corak masyarakat tradisional, entah istilah tersebut tersebar
seperti apa. Masyarakat ini masih sangat memiliki keterikatan dengan
alam, istilah badewi atau baduy dalam konsep masyarakat Arab diartikan
sebagai masyarakat yang masih belum mampu mengaitkan antara sebab akibat
(antara ‘ilal dan ma’lul) mereka masih belum mampu
mendayagunakan akalnya secara optimal. Oleh karena itu masyarakat
seperti ini yang belum mampu berfikir secara rasional, cenderung
mengaitkan segala sesuatu yang terjadi di sekeliling mereka memiliki
keterikatan dengan hal-hal berbau mistis, terikat dengan apa yang mereka
sebut sebagai “roh nenek moyang”.
Mungkin benar, sebagai manusia
yang memiliki akal, manusia akan berfikir sesuai dengan apa yang
memengaruhi pikirannya yaitu mengenai apa yang terjadi dan apa yang
terdapat di sekeliling mereka. Namun akal hanya mencapai daya fikir yang
hanya sampai pada sesuatu yang memengaruhinya saat itu. Dan saat itu
‘keadaan’ menghendaki mereka hanya mampu berkhayal, bahwa ada kekuatan
lain selain kekuatan mereka. Kekuatan itu mereka personalisasikan sesuai
dengan informasi yang ia dapat dari lingkungannya. Karena itu muncullah
anggapan bahwa (misalnya) suatu benda mati (yang tak tumbuh dan
bergerak) mengandung kekuatan yakni kekuatan lain diluar kekuatan
dirinya sebagai manusia yang bisa saja melebihi kekuatan dirinya. Atau
beranggapan bahwa segala sesuatu berupa benda apapun itu, di dalamnya
terdapat sebuah kekuatan yang bersemayam. Sehingga jika tidak
diperlakukan dengan baik (dengan menyamakannya seperti manusia misalnya)
kekuatan lain yang lebih kuat itupun akan mencelakainya.
Semua itu pada dasarnya adalah
karena manusia memiliki fitrah/tabi’at/kecenderungan
ketuhanan, dalam setiap individu dengan akal yang sehat terdapat rasa
untuk menakuti sesuatu, meyakini bahwa ada kekuatan lain yang lebih
besar darinya. Hanya saja cara orang mempersonalisasikannya
berbeda-beda, sehingga di dunia ini terdapat apa yang disebut sebagai
“agama” dan “kepercayaan” yang amat beragam macamnya.
Agama atau kepercayaan ini
menjadi salah satu identitas sekumpulan orang atau masyarakat, ini pula
yang menjadi salah satu hal yang dijadikan kebanggaan bagi sebagian
orang sehingga itu menjadi salah satu aspek penentu tinggi atau
rendahnya derajat mereka sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat
yang memiliki kesamaan mindset dan konsep di hadapan kelompok
masyarakat lain. Sebuah masyarakat dikatakan memiliki peradaban yang
tinggi ketika ia dipandang lebih dari masyarakat lain, yang tentu
standarisasi penilaian akan hal itu ditentukan sesuai kesepakatan dan
keseragaman pola pikir dari suatu masyarakat, standarisasi tersebut
berangkat dari kapasitas otak seseorang sejauh mana ia dapat menyimpan
informasi yang sebelumnya ia peroleh dari lingkungan tempat tinggalnya
dan bagaimana otak tersebut memproses informasi-informasi tersebut.
Kembali pada adat istiadat yang
menjadi satu aspek identitas bagi masyarakat. Adat istiadat ini seperti
yang telah dikatakan sebelumnya lebih banyak berangkat dari fenomena
religi yang dimiliki setiap orang, yakni bagaimana seseorang
mempersonalisasikan apa yang ia anggap sebagai "Tuhan". Ketika ideologi
ini telah ada dalam diri seseorang, bahkan ini memang ada pada setiap
orang yang memiliki akal sehat, justru fenomena religi yang ada dalam
diri seseorang ini menjadi suatu hal yang besar. Bahkan lazimnya ini
menjadi hal yang mendasari cara mereka hidup, dan menjadi pedoman hidup
mereka.
Karena itu adat istiadat yang
menjadi identitas sebuah masyarakat atau sekelompok orang dengan konsep
hidup yang seragam takkan terlepas dari fenomena tersebut. Salah satu
produk budaya yang salah satunya adalah adat istiadat tadi berangkat
dari bagaimana seseorang memperlakukan ‘kekuatan’ yang ia anggap
lebih tinggi tersebut. Inilah yang dalam bahasa Arab disebut dengan
istilah ibadah, atau penghambaan, atau disebut juga pengabdian.
Cara seseorang memperlakukan kekuatan yang ia anggap lebih tinggi
didasari oleh daya pikir seseorang, kemudian disepakati oleh seluruh
anggota kelompok masyarakat tersebut.
Dari situ, muncullah
personalisasi terhadap kekuatan yang dianggap lebih tinggi (tuhan)
berikut cara memeperlakukannya (ritual). Ritual atau tata cara
memperlakukan kekuatan yang dianggap lebih tinggi itu selanjutnya
menjadi sebuah kebanggaan bagi sebuah kelompok orang (masyarakat) yang
menentukan tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki sebuah masyarakat.
Konsep General Dien (Agama) Islam
Tentu konsep dari ibadah
atau penghambaan atau pengabdian terhadap apa yang ia anggap lebih kuat
jelas berbeda bagi tiap kepercayaan atau agama. Dalam Islam sendiri,
penganutnya menyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa Islam adalah salah
satu dien (saya sebut “dien”, sebab “agama” adalah
peristilahan yang muncul bukan berasal dari Islam itu sendiri) wahyu,
dien Rabbani, atau juga disebut dien samawi (langit), yang
mewakili konsep sebagai dien yang berasal dari Ilah (pun saya
sebut “Ilah”, sebab “tuhan” adalah peristilahan yang muncul bukan
berasal dari Islam itu sendiri), suatu dzat khaaliqul ‘alam (pencipta
alam semesta beserta seluruh isinya), sehingga Islam bagi penganutnya
bukanlah “salah satu” aspek pelengkap kehidupan, namun Islam justu
merupakan kehidupannya itu sendiri, bahkan ia dijadikan asas hidup (mabda`/ideology)
yang mendasari segala tingkah polah manusia dalam menjalani
kehidupannya di dunia. Sebab muslim meyakini, akan ada kehidupan kedua
setelah kehidupan di dunia yang disebut sebagai kehidupan akhirat, yakni
tempat di mana terdapat kekekalan hidup. Kehidupan di dunia itu
digunakan sebagai wahana pengantar ke kehidupan akhirat, yang mesti
digunakan sebaik mungkin. Orang Islam meyakni bahwa ukuran yang baik itu
berdasarkan pada segala sesuatu yang berasal dari Ilahnya yaitu Allah
sebagai penciptanya yang tentu juga Yang telah menyiapkan segala hal
perangkat yang menunjang kehidupannya. Oleh karena itu Islam sebagai
dien samawi (yang berasal dari dzat pencipta alam yaitu Allah) tentu
telah pula menyiapkan seperangkat system yang Maha Sempurna sebagai guide
yang senantiasa harus dipegang teguh agar ia dapat menjalani kehidupan
sebagai penghambaan diri kepada Ilahnya dengan baik. Hal itu adalah agar
ia mendapatkan kesejahteraan/kebahagiaan hidup di dunia dan memeroleh
kesenangan hidup di akhirat yang sifatnya kekal.
Orang-orang Islam yang beriman
(percaya/yakin) –yang keyakinan itu diperolah melalui proses
berfikirnya- tetu akan meyakini bahwa apa yang ia yakini itu benar-benar
benar adanya. Mereka akan meyakini bahwa Ilahnya-lah –Yang merupakan
pencipta wujudnya- yang paling memahami keadaan wujud ciptaannya.
Sebagaimana seorang pembuat kursi yang tentu ia teramat faham mengenai
kursinya sebab ia sendiri yang membuat konsep mengenai kursinya, lalu
membuatnya sendiri dengan tangannya sendiri, dan ia akan faham bagaimana
sifat kursinya, daya tahannya terhadap air, kekuatannya, dan lain-lain.
Begitupun Allah sebagai Ilah yang menciptakan manusia beserta alam
tempat tinggal beserta segala isinya. Sebagai Pencipta, Allah tentu yang
paling memahami sifat manusia mengenai segala sesuatu yang ia inginkan
dan apa yang ia butuhkan. Sehingga Allah-pun telah mempersiapkan
seperangkat pedoman hidup manusia, yaitu Quran dan Sunnah sebagai
pedoman hidup yang global, universal, komprehensif mengatur hidup
manusia sejak bangun hingga ia tidur kembali agar segala aktivitasnya
tetap ada pada jalurnya. Jalur yang baik dan benar menurut Allah untuk
para pengabdiNya, agar kehidupan mereka di dunia dan di akhirat tetap
dalam kesenangan.
“tetap berada pada jalurnya”.
Mengandung arti bahwa suatu saat akan ada kemungkinan di mana manusia
dapat keluar dari jalur yang telah dibangun Allah. Ini terkait dengan
keadaan manusia yang di dalam dirinya terdapat satu aspek yang dapat
menyebabkan manusia keluar dari jalur tersebut. Ini karena manusia
dianugerahi sebuah perangkat yang dengannya derajat mereka bisa naik
atau bahkan jatuh dari keadaannya semula sebagai makhluq mulia karena
memiliki akal.
Konsep General Agama Kultur
Berbeda dengan dien Islam
sebagai dien wahyu terakhir yang merupakan penyempurna yang
karenanya Islam menjadi dien sempurna, terdapat jenis agama lain
sebagai buah dari tabi’at/fitrah/kecenderungan ketuhanan yg
dimiliki manusia.
Dari proses berfikirnya, ada
sebagian manusia yang hanya menemukan tuhannya sebagai tuhan yang
menjadi salah satu sisi/aspek lain dari kehidupannya. Karena itu,
penghambaan yang ia lakukan terhadap tuhan tersebut hanya terjadi pada
satu saat dan pada satu keadaan saja, tak seperti dien Islam yang
seluruh aspek kehidupannya merupakan proses ibadah.
Manusia ini tak mampu atau proses
berfikirnya tidak atau belum sampai pada satu titik kesimpulan bahwa
yang dinamakan tuhan sebagai “sesuatu” dzat yang lebih tinggi dan lebih
kuat dibandingkan dirinya, dzat yang ia takuti, sebagaimana
kecendurangannya, haruslah merupakan suatu dzat yang “paling” dan maha
segalanya. Berarti, jika begitu di sini terdapat keinkonsistenan.
Artinya daya fikirnya masih pendek, belum menjangkau tingkat berfikir
yang dengannya menghendaki kesimpulan bahwa there’s “the One” (Allahu
Ahad) sebagai Ilah yang yang patut disembah. artinya, Jika
kecenderungan manusia adalah memepertuhan sesuatu, maka akal yang sehat
dan mampu berfikir tuntas akan menyimpulkan bahwa dzat tersebut
merupakan dzat yang menguasai hidup dan kehidupannya. Sehingga
satu-satunya kekuasaan yang ia yakini hanyalah kekuasaan dzat tersebut.
Dan konsekuensinya, ia akan menjadi hamba bagi penguasa mutlaknya dan
menjalankan segala ketentuan (sistem) yang made in God sebagai
penguasa tunggal di bumi alam.
Sebaliknya, agama kultur ialah
agama atau keyakinan yang merupakan salah satu produk pemikiran
taktuntas seorang manusia akan kecenderungan ketuhanannya. Meski ia
memiliki kecenderungan tersebut dalam nuraninya, namun ia
menegasikannya. Sehingga implikasi kecenderungan tersebut hanya ia
ejawantahkan dalam penghambaan yang hanya dilakukan pada satu waktu dan
satu keadaan. Ia menjadi satu aspek lain yang terpisah dengan aspek
lainnya kehidupan.
In Indonesia
Penyebaran populasi manusia ke
seluruh penjuru dunia yang mana di setiap sudutnya terdapat suasana dan
pemandangan yang berbeda, saat itu pula mempengaruhi persepsi seorang
individu dalam memandang tuhannya serta bagaimana cara ia
memperlakukannya. Ini tergantung dari apa yang disediakan alam.
Perbedaan faktor geografis ini,
khususnya di Indonesia tentu menyebabkan keberagaman dalam banyak hal,
apalagi negara Indonesia yang masing-masing wilayanya dipisahkan oleh
lautan hingga menjadi pulau-pulau yang banyak, menyebabkan Indonesia
sangat kaya akan keragaman budaya yang dimiliki tiap-tiap masyarakatnya.
Kekayaan Indonesia akan adat-istiadat tak lepas dari aspek olah akal
manusia serta lingkungan tempat tinggalnya yang keduanaya saling
bersinergi membentuk suatu konsep kultur.
by:
Risna Inayah_
Risna Inayah_
"إبتسامة خفيفة" ^^"