Sunday, July 3, 2011

Budaya dan Fenomena Religi



Adat istiadat sebagai salah satu produk budaya menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi identitas sosial. Namun hasil kebudayaan tersebut di berbagai wilayah di dunia sudah tidak banyak mendapat perhatian, apalagi d kota-kota besar. Pesatnya arus globalisasi sedikit demi sedikit telah menggerus keetnisan yang ada dalam tiap individu/masyarakat.


Saat sekelompok orang mendiami sebuah tempat baik yang berasal dari suku yang sama ataupun tidak, maka seiring dengan berjalannya waktu manusia sebagai makhluk sosial mulai melakukan komunikasi satu sama lain. Dalam komunikasi itulah terjadi proses pemindahan gagasan atau ide dari seseorang ke orang lain melalui bahasa baik bahasa verbal maupun nonverbal. Dengan bahasa manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, diantaranya apa yang dibutuhkan oleh fisik maupun mentalnya. Semua itu mesti dipenuhi agar manusia dapat melanjutkan kehidupannya.

Dalam masyarakat tradisional, ketika satu kelompok berinteraksi dengan kelompok lainnya melalui bahasa tersebut maka ia memerlukan sebuah identitas. Identitas itulah yang nantinya akan menjadi salah satu aspek penentu tinggi-rendahnya derajat seseorang dalam hidup bermasyarakat. Pandangan setiap orang atau kelompok dalam memandang tinggi atau rendahnya identitas sosial dalam kacamata adat istiadat (untuk menunjukkan status sosial di hadapan orang atau kelompok lain) adalah berbeda. Perbedaan ini ditentukan oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah faktor fisiologi suatu tempat, misalnya faktor geografis. Faktor ini memiliki nilai penentu yang besar dalam mengubah atau membentuk pola kepribadian seseorang atau masyarakat yang mendiami suatu tempat.

Kemudian, jika dilihat dari sudut pandang sosial, masyarakat primitif (dikatakan masyarakat primitif ketika sekelompok orang masih bersahabat dengan alam. Dalam istilah bahasa Arab, masyarakat seperti ini masih memegang teguh ke-alamiahannya atau bii`ah thabi’iyyah). Masyarakat primitif dalam pergumulan masyarakat Arab tempo dulu disebut sebagai masyarakat badewi. Kini istilah badewi atau baduy akrab di telinga kita sebagai representasi dari corak masyarakat tradisional, entah istilah tersebut tersebar seperti apa. Masyarakat ini masih sangat memiliki keterikatan dengan alam, istilah badewi atau baduy dalam konsep masyarakat Arab diartikan sebagai masyarakat yang masih belum mampu mengaitkan antara sebab akibat (antara ‘ilal dan ma’lul) mereka masih belum mampu mendayagunakan akalnya secara optimal. Oleh karena itu masyarakat seperti ini yang belum mampu berfikir secara rasional, cenderung mengaitkan segala sesuatu yang terjadi di sekeliling mereka memiliki keterikatan dengan hal-hal berbau mistis, terikat dengan apa yang mereka sebut sebagai “roh nenek moyang”.

Mungkin benar, sebagai manusia yang memiliki akal, manusia akan berfikir sesuai dengan apa yang memengaruhi pikirannya yaitu mengenai apa yang terjadi dan apa yang terdapat di sekeliling mereka. Namun akal hanya mencapai daya fikir yang hanya sampai pada sesuatu yang memengaruhinya saat itu. Dan saat itu ‘keadaan’ menghendaki mereka hanya mampu berkhayal, bahwa ada kekuatan lain selain kekuatan mereka. Kekuatan itu mereka personalisasikan sesuai dengan informasi yang ia dapat dari lingkungannya. Karena itu muncullah anggapan bahwa (misalnya) suatu benda mati (yang tak tumbuh dan bergerak) mengandung kekuatan yakni kekuatan lain diluar kekuatan dirinya sebagai manusia yang bisa saja melebihi kekuatan dirinya. Atau beranggapan bahwa segala sesuatu berupa benda apapun itu, di dalamnya terdapat sebuah kekuatan yang bersemayam. Sehingga jika tidak diperlakukan dengan baik (dengan menyamakannya seperti manusia misalnya) kekuatan lain yang lebih kuat itupun akan mencelakainya.

Semua itu pada dasarnya adalah karena manusia memiliki fitrah/tabi’at/kecenderungan ketuhanan, dalam setiap individu dengan akal yang sehat terdapat rasa untuk menakuti sesuatu, meyakini bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar darinya. Hanya saja cara orang mempersonalisasikannya berbeda-beda, sehingga di dunia ini terdapat apa yang disebut sebagai “agama” dan “kepercayaan” yang amat beragam macamnya.

Agama atau kepercayaan ini menjadi salah satu identitas sekumpulan orang atau masyarakat, ini pula yang menjadi salah satu hal yang dijadikan kebanggaan bagi sebagian orang sehingga itu menjadi salah satu aspek penentu tinggi atau rendahnya derajat mereka sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan mindset dan konsep di hadapan kelompok masyarakat lain. Sebuah masyarakat dikatakan memiliki peradaban yang tinggi ketika ia dipandang lebih dari masyarakat lain, yang tentu standarisasi penilaian akan hal itu ditentukan sesuai kesepakatan dan keseragaman pola pikir dari suatu masyarakat, standarisasi tersebut berangkat dari kapasitas otak seseorang sejauh mana ia dapat menyimpan informasi yang sebelumnya ia peroleh dari lingkungan tempat tinggalnya dan bagaimana otak tersebut memproses informasi-informasi tersebut.

Kembali pada adat istiadat yang menjadi satu aspek identitas bagi masyarakat. Adat istiadat ini seperti yang telah dikatakan sebelumnya lebih banyak berangkat dari fenomena religi yang dimiliki setiap orang, yakni bagaimana seseorang mempersonalisasikan apa yang ia anggap sebagai "Tuhan". Ketika ideologi ini telah ada dalam diri seseorang, bahkan ini memang ada pada setiap orang yang memiliki akal sehat, justru fenomena religi yang ada dalam diri seseorang ini menjadi suatu hal yang besar. Bahkan lazimnya ini menjadi hal yang mendasari cara mereka hidup, dan menjadi  pedoman hidup mereka.

Karena itu adat istiadat yang menjadi identitas sebuah masyarakat atau sekelompok orang dengan konsep hidup yang seragam takkan terlepas dari fenomena tersebut. Salah satu produk budaya yang salah satunya adalah adat istiadat tadi berangkat dari bagaimana seseorang memperlakukan ‘kekuatan’ yang ia anggap lebih tinggi tersebut. Inilah yang dalam bahasa Arab disebut dengan istilah ibadah, atau penghambaan, atau disebut juga pengabdian. Cara seseorang memperlakukan kekuatan yang ia anggap lebih tinggi didasari oleh daya pikir seseorang, kemudian disepakati oleh seluruh anggota kelompok masyarakat tersebut.

Dari situ, muncullah personalisasi terhadap kekuatan yang dianggap lebih tinggi (tuhan) berikut cara memeperlakukannya (ritual). Ritual atau tata cara memperlakukan kekuatan yang dianggap lebih tinggi itu selanjutnya menjadi sebuah kebanggaan bagi sebuah kelompok orang (masyarakat) yang menentukan tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki sebuah masyarakat.


Konsep General Dien (Agama) Islam

Tentu konsep dari ibadah atau penghambaan atau pengabdian terhadap apa yang ia anggap lebih kuat jelas berbeda bagi tiap kepercayaan atau agama. Dalam Islam sendiri, penganutnya menyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa Islam adalah salah satu dien (saya sebut “dien”, sebab “agama” adalah peristilahan yang muncul bukan berasal dari Islam itu sendiri) wahyu, dien Rabbani, atau juga disebut dien samawi (langit), yang mewakili konsep sebagai dien yang berasal dari Ilah (pun saya sebut “Ilah”, sebab “tuhan” adalah peristilahan yang muncul bukan berasal dari Islam itu sendiri), suatu dzat khaaliqul ‘alam (pencipta alam semesta beserta seluruh isinya), sehingga Islam bagi penganutnya bukanlah “salah satu” aspek pelengkap kehidupan, namun Islam justu merupakan kehidupannya itu sendiri, bahkan ia dijadikan asas hidup (mabda`/ideology) yang mendasari segala tingkah polah manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Sebab muslim meyakini, akan ada kehidupan kedua setelah kehidupan di dunia yang disebut sebagai kehidupan akhirat, yakni tempat di mana terdapat kekekalan hidup.  Kehidupan di dunia itu digunakan sebagai wahana pengantar ke kehidupan akhirat, yang mesti digunakan sebaik mungkin. Orang Islam meyakni bahwa ukuran yang baik itu berdasarkan pada segala sesuatu yang berasal dari Ilahnya yaitu Allah sebagai penciptanya yang tentu juga Yang telah menyiapkan segala hal perangkat yang menunjang kehidupannya. Oleh karena itu Islam sebagai dien samawi (yang berasal dari dzat pencipta alam yaitu Allah) tentu telah pula menyiapkan seperangkat system yang Maha Sempurna sebagai guide yang senantiasa harus dipegang teguh agar ia dapat menjalani kehidupan sebagai penghambaan diri kepada Ilahnya dengan baik. Hal itu adalah agar ia mendapatkan kesejahteraan/kebahagiaan hidup di dunia dan memeroleh kesenangan hidup di akhirat yang sifatnya kekal.

Orang-orang Islam yang beriman (percaya/yakin) –yang keyakinan itu diperolah melalui proses berfikirnya- tetu akan meyakini bahwa apa yang ia yakini itu benar-benar benar adanya. Mereka akan meyakini bahwa Ilahnya-lah –Yang merupakan pencipta wujudnya- yang paling memahami keadaan wujud ciptaannya. Sebagaimana seorang pembuat kursi yang tentu ia teramat faham mengenai kursinya sebab ia sendiri yang membuat konsep mengenai kursinya, lalu membuatnya sendiri dengan tangannya sendiri, dan ia akan faham bagaimana sifat kursinya, daya tahannya terhadap air, kekuatannya, dan lain-lain. Begitupun Allah sebagai Ilah yang menciptakan manusia beserta alam tempat tinggal beserta segala isinya. Sebagai Pencipta, Allah tentu yang paling memahami sifat manusia mengenai segala sesuatu yang ia inginkan dan apa yang ia butuhkan. Sehingga Allah-pun telah mempersiapkan seperangkat pedoman hidup manusia, yaitu Quran dan Sunnah sebagai pedoman hidup yang global, universal, komprehensif mengatur hidup manusia sejak bangun hingga ia tidur kembali agar segala aktivitasnya tetap ada pada jalurnya. Jalur yang baik dan benar menurut Allah untuk para pengabdiNya, agar kehidupan mereka di dunia dan di akhirat tetap dalam kesenangan.

“tetap berada pada jalurnya”. Mengandung arti bahwa suatu saat akan ada kemungkinan di mana manusia dapat keluar dari jalur yang telah dibangun Allah. Ini terkait dengan keadaan manusia yang di dalam dirinya terdapat satu aspek yang dapat menyebabkan manusia keluar dari jalur tersebut. Ini karena manusia dianugerahi sebuah perangkat yang dengannya derajat mereka bisa naik atau bahkan jatuh dari keadaannya semula sebagai makhluq mulia karena memiliki akal.


Konsep General Agama Kultur

Berbeda dengan dien Islam sebagai dien wahyu terakhir yang merupakan penyempurna yang karenanya Islam menjadi dien sempurna, terdapat jenis agama lain sebagai buah dari tabi’at/fitrah/kecenderungan ketuhanan yg dimiliki manusia.

Dari proses berfikirnya, ada sebagian manusia yang hanya menemukan tuhannya sebagai tuhan yang menjadi salah satu sisi/aspek lain dari kehidupannya. Karena itu, penghambaan yang ia lakukan terhadap tuhan tersebut hanya terjadi pada satu saat dan pada satu keadaan saja, tak seperti dien Islam yang seluruh aspek kehidupannya merupakan proses ibadah.

Manusia ini tak mampu atau proses berfikirnya tidak atau belum sampai pada satu titik kesimpulan bahwa yang dinamakan tuhan sebagai “sesuatu” dzat yang lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan dirinya, dzat yang ia takuti, sebagaimana kecendurangannya, haruslah merupakan suatu dzat yang “paling” dan maha segalanya. Berarti, jika begitu di sini terdapat keinkonsistenan. Artinya daya fikirnya masih pendek, belum menjangkau tingkat berfikir yang dengannya menghendaki kesimpulan bahwa there’s “the One” (Allahu Ahad) sebagai Ilah yang yang patut disembah. artinya, Jika kecenderungan manusia adalah memepertuhan sesuatu, maka akal yang sehat dan mampu berfikir tuntas akan menyimpulkan bahwa dzat tersebut merupakan dzat yang menguasai hidup dan kehidupannya. Sehingga satu-satunya kekuasaan yang ia yakini hanyalah kekuasaan dzat tersebut. Dan konsekuensinya, ia akan menjadi hamba bagi penguasa mutlaknya dan menjalankan segala ketentuan (sistem) yang made in God sebagai penguasa tunggal di bumi alam.

Sebaliknya, agama kultur ialah agama atau keyakinan yang merupakan salah satu produk pemikiran taktuntas seorang manusia akan kecenderungan ketuhanannya. Meski ia memiliki kecenderungan tersebut dalam nuraninya, namun ia menegasikannya. Sehingga implikasi kecenderungan tersebut hanya ia ejawantahkan dalam penghambaan yang hanya dilakukan pada satu waktu dan satu keadaan. Ia menjadi satu aspek lain yang terpisah dengan aspek lainnya kehidupan.


In Indonesia

Penyebaran populasi manusia ke seluruh penjuru dunia yang mana di setiap sudutnya terdapat suasana dan pemandangan yang berbeda, saat itu pula mempengaruhi persepsi seorang individu dalam memandang tuhannya serta bagaimana cara ia memperlakukannya. Ini tergantung dari apa yang disediakan alam.

Perbedaan faktor geografis ini, khususnya di Indonesia tentu menyebabkan keberagaman dalam banyak hal, apalagi negara Indonesia yang masing-masing wilayanya dipisahkan oleh lautan hingga menjadi pulau-pulau yang banyak, menyebabkan Indonesia sangat kaya akan keragaman budaya yang dimiliki tiap-tiap masyarakatnya. Kekayaan Indonesia akan adat-istiadat tak lepas dari aspek olah akal manusia serta lingkungan tempat tinggalnya yang keduanaya saling bersinergi membentuk suatu konsep kultur.


by:
Risna Inayah_
"إبتسامة خفيفة"  ^^"

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,