Sunday, September 28, 2014

Bersikap Beradab Terhadap Ulama?

Saya kira takkan akan ada habisnya kalau kita membahas hal-hal partikular semisal kepartaian, kejam'iyyahan, kebangsaan, demikian juga ketokohan. Kritik mengkritik antar ulama sudah biasa terjadi. Mungkin tak sesulit apa yang kita fikirkan persoalannya, hanya para pengikut biasanya membesar-besarkan, karena tak mau terima. Jika Imam adz-Dzahabi tak boleh mengkritik Imam al-Ghazali, lantas mengapa ada yang membolehkan orang-orang tak selevel dengan adz-Dzahabi mengkritik Beliau lantaran Beliau mengkritik al-Ghazali? Kalau hal-hal seperti ini masih saja dipersoalkan, barangkali konflik takkan pernah ada habisnya; akan terus beranak cucu. Fenomena kritik mengkritik antar ulama tak semestinya kita sikapi dengan cara menyerang balik --itu seperti balas dendam lantaran tak terima orang yang dikultuskannya (seolah) diserang/dicaci.  Sikap kita terhadap itu barangkali alangkah lebih baik dengan mengambil 'ibrah, semisal, bahwa ilmu AlLâh itu keterlaluan luas serta teramat dalam; setiap orang akan menjadi spesialis terhadap suatu ilmu lantaran pengalaman-pengalamanya yang berbeda. Dan mestinya yang demikian itu tidak lantas membuat kita menihilkan peranan mereka yang amat besar; tidak nila setitik rusak susu sebelanga, lalu kita pun pada akhirnya jadi tenggelam dalam persoalan-persoalan cabang seperti ini yang nyaris tidak ada gunanya dan kontraproduktif --sementara kita jadi lupa dengan apa yang menjadi 'pokok' / 'benang merah' ilmu yang masing-masing mereka dilebihkan tentangnya.  Tidakkah kita punya fikiran bahwa mungkin saja kesilapan saat terjadi mengkritik itu cuma kesilapan sesaat? Dan lagipula, kita memang tak tahu apakah dalam mengkritik itu ada 'niatan mencari ridla AlLâh' atau sebaliknya 'karena dengki (penyakit hati)' --yang memang iya sebentuk kesilapan. Bukankah AlLâh Maha Tahu apa yang nampak dan apa yang tersembunyi, sementara kita tak tahu? Dan AlLâh itu betapa Maha Pengampun (sementara kita tidak, kita hanya mampu fokus pada setitik noda hitam dan melupakan yang putih yang begitu luas terbentang). Lagipula, saya pribadi sangsi kalau dikata para ulama memelihara penyakit hati, ketika penghambaannya pada AlLâh saja sudah terbukti total, tidakkah kita melihat betapa mereka sungguh-sungguh dengan karya-karyanya? Kritik mengkritik yang terjadi di antara mereka in syâ-alLâh bukan lantaran dengki, niatan untuk menjatuhkan orang, melainkan niat 'meneguhkan agama AlLâh'. Saya kira memandang seperti ini lebih beradab bagi kita yang awwam --apatah lagi kita tak mampu membaca hati orang--ketimbang mempertimbangkan dan mempersoalkan ketakberadaban seorang ulama. AlLâhumma -ghfirlanâ, wa na'ûdzu biKa min waswasati s-syaythân... Semoga kita terhindar dari perkara sia-sia, âmîn...""

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,