Wednesday, September 18, 2013

Siapa Dina Y. Sulaeman?? (3)

Terkait kisruh Suriah yang mencuat ke permukaan beberapa bulan lalu –termasuk di antaranya rilis berita beberapa media mainstream Islam Indonesia soal tokoh-tokoh Syi’ah di Indonesia yang mesti diwaspadai--, saya membuat catatan tentang kronologi bagaimana akhirnya saya mengenal salah seorang di antaranya, yaitu Dina Y. Sulaeman, mesti tak secara langsung. Catatan tersebut bisa dibaca di sini.

Visitor blog saya kontan meningkat tajam hanya karena tulisan tersebut --tulisan tersebut hingga bisa menempati halaman pertama di search engine ketika dicari--, maka lantas beberapa waktu lalu saya membuat sebuah tulisan kecil untuk saya bagi di grup komunitas menulis saya di Facebook terkait bagaimana akhirnya blog saya itu dapat memeroleh kunjungan yang fantastis dari para pengguna internet.

Saya pun lalu posting tulisan tersebut di grup komunitas menulis dan kemudian memostingnya kembali di blog pribadi saya ini dengan beberapa perubahan dan tambahan (tulisan tersbut bisa dibaca di sini) Dalam tulisan tersebut saya membuat link ke tulisan soal kronologi mengenal Dina, juga menulis salah satu paragrafnya di antaranya berbunyi sebagai berikut:

“Awalnya saya sempat kuatir Dina jadi unfriend atau block saya di Facebook, sampai sekarang pun masih kuatir sebetulnya, kuatir kalau takbisa pantau aktivitasnya lagi. Sebab kecil kemungkinan Beliau yang pemerhati media (jurnalis) tak menemukan tulisan yang muncul di temuan teratas di search engine ini :| ), tapi tak apalah, ini era demokrasi yang siapapun bebas berpendapat. Dina pun menulis pendapatnya dengan bebas (seenaknya), maka tak apa saya utarakan opini saya.”
Dan ternyata kekuatiran ini pun nyata terjadi.

Awalnya, saya hanya mencoba mengecek akun gmail –yang biasa saya lakukan ketika pertama kali terhubung ke internet-- kalau-kalau ada berita baru dari akun lain yang menggunakan akun gmail tersebut, atau kiriman-kiriman lainnya. Saya buka-lah satu persatu kiriman tersebut. Ada beberapa pemberitahuan dari Facebook langsung saya hapus. Dan yang paling membuat saya penasaran biasanya adalah pemberitahuan dari blog saya. Dalam kolom subjek ada tertulis “dinasulaeman”. Ah, mungkin ini komentar lagi terhadap tulisan saya terkait Beliau. Pikir saya. Tanpa berpikir panjang saya pun buka kiriman tersebut. Dan ternyata………… itu komentar dari Beliau secara langsung (komentar tersebut ditulis bukan pada catatan kronologi mengenal Beliau di sini, namun pada tulisan tips menulis dari saya sebagai pemula dalam dunia kepenulisan karena memeroleh ribuan pengunjung sejak menulis soal Dina). Begini komentar Dina:
“Selamat, anda berhasil menarik pengunjung dengan cara mengghibah dan memfitnah orang lain, tanpa merasa perlu tabayun ke saya. Dan tentu saja, saya ucapkan terimakasih karena yang saya pelajari, pahala ibadah2 org yang mengghibah dan memfitnah itu akan dierahkan kepada si korban, kelak di Yaumul Akhir. Alhamdulillah, rajin-rajin aja fitnahin saya ya neng.”
Ahhh, tentu komentar Beliau ini membuat saya kaget setengah mati. Lalu saya reply:
“Ibu dapat mengetahui dari postingan saya sebelumnya bahwa memang sebelumnya saya tidak menyangka demikian. Informasi yang saya dapatkan-lah yang kemudian menyimpulkan demikian. Saya memang telah salah tidak bertabayyun secara langsung, menyimpulkan hanya dari data-data yang tersedia di internet. Mohon maaf Bu, saya mohon Ibu memaklumi saya yang masih 'kurang' ini. Namun jujur saja, tidak sedikitpun saya bermaksud membuat blog ini untuk popularitas (menarik pengunjung).
Jadi, apa yang harus saya lakukan? Kalau memang itu semua hanya tuduhan dan fitnah, saya akan menghapus postingan tersebut, meminta maaf pada Ibu, mencoba menulis tentang Ibu yang sebenarnya, dan memohon ampun pada Allah atas kecerobohan saya.”
Beberapa saat saya menjadi tak tenang dibuatnya. Bagaimana jika memang benar Beliau itu hanya korban fitnah? Namun kemudian saya ingat bahwa saya punya cukup alasan untuk menulis itu. Lagipula tulisan itu bukan sengaja saya buat untuk memfitnah orang (untuk apa saya melakukannya? sebagai seorang muslim tentu saya tahu itu dosa, jadi untuk apa merugikan diri?), namun wajarlah seorang blogger membuat sebuah memoar kronologi pengalaman tentang yang ia alami. Dan dengan apa yang saya yakini, saya berharap tulisan ini bisa bermanfaat buat pembaca, selain blog itu merupakan wahana saya belajar berpikir dan menulis.

Dari situ kemudian saya berpikir, mengapa tulisan sederhana seperti itu mendapat tanggapan Dina? Bahkan saya sampai diblocknya di Facebook hingga tak bisa lagi mengikuti aktivitas Beliau --dan, mengambil banyak hal inspiratif dari apa yang ia tulis di sana--. Lagi pula apa yang saya tuliskan itu bukan sebuah judge, jadi seharusnya Dina bisa lebih bijak menanggapinya. Kalau memang benar itu hanya fitnah. Misal berkomentar seperti ini:
“Atas dasar apa neng menulis seperti itu? Saya nyatakan secara tegas di sini (sesuai keinginan neng di tulisan tersebut) bahwa saya BUKAN seorang Syi’i. Demi Allah. Jadi, neng bisa hapus postingan tersebut dan membuat tulisan yang sebenarnya tentang saya. dan bila perlu kita bisa berdiskusi secara langsung?”
Ahhh, saya akan sangat merasa senang jika beliau bersikap seperti itu, karena saya bisa belajar banyak dari beliau suatu saat, bisa janjian….. :D

Namun sebaliknya, kalau saya diblocknya di Facebook, bagaimana saya bisa bertabayun kepada beliau setelah kejadian ini?

Saya tekankan sekali lagi bahwa tulisan tersebut tak lebih hanya sekedar rekam (memoar) pencarian tentang siapa sebenarnya Dina itu, dan sesungguhnya saya belum mendapatkan jawaban final. Adapun beberapa kesimpulan yang saya buat, saya nyatakan pada tulisan ini bahwa “semoga kesimpulan saya ini salah.” Jadi saya masih menerima kemungkinan-kemungkinan lainnya yang siap untuk saya terima jika mampu menembus masuk akal saya, sebab kalau mengikuti aktivitas Beliau di Facebook, saya tak merasa seperti sedang membaca postingan-postingan “seorang yang punya maksud di belakang” dan penuh intrik, terutama postingan-postingan Beliau soal parenting, tip-tip menulis, atau postingan inspiratif lainnya. Bahkan di awal mengenal sosok Beliau, saya merasa sangat respek, terlihat pada awal-awal paragraf tulisan Siapa Dina Y. Sulaeman (1). Dan selain karena soal tulisan-tulisannya tentang politik timur tengah, hingga kini respek saya belum hilang, setidaknya hingga komentar tersebut muncul.

Bisa saya maklumi jika memang tokoh yang saya bahas dalam catatan tersebut adalah seseorang yang masih seumuran dengan saya –atau lebih tua sedikit-- yang emosinya masih labil, sehingga wajar jika kemudian yang bersangkutan bersikap emosional. Memang saya pun akan merasa marah jika difitnah, itu manusiawi. Namun untuk seorang sekaliber Dina Y. Sulaeman yang seorang intelektual dan mampu memikat respek saya (karena saya tidak mudah respek pada seseorang); seorang orang tua dari dua orang anaknya yang banyak menulis tentang parenting; seorang tokoh yang banyak disukai teman-teman Facebooknya karena tulisan-tulisan inspiratifnya; termasuk seorang kontroversial yang suka bergandeng tangan dengan para liberal, tak patut dan tak pantas rasanya Beliau jadi berkomentar seperti itu. Apalagi hanya terhadap tulisan saya.

Yang ada, itu hanya akan semakin membuktikan betapa apa yang saya –juga banyak yang lainnya-- tuliskan itu benar adanya. Kan??

Saya sebut itu ungkapan kegeraman Dina, karena Beliau nyungkun saya. Di satu sisi Beliau menganggap saya bocah dengan menyebut “Neng”, yang memahami kalau saya itu suatu saat pernah sangat ngefan sama beliau kemudian kecewa–lalu menuliskannya, namun di sisi lain Beliau juga menuduh saya mengghibah dan memfitnahnya, padahal tuduhan tersebut juga bagi saya sebuah fitnahan tak terverifikasi. Karena menuduh saya memfitnahnya, padahal saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Selain itu Beliau juga membuat artikel sebagai reaksinya atas tulisan saya itu.

Kalau Beliau bilang, “tanpa merasa perlu tabayun ke saya,”, seyogianya Beliau berlaku yang sama terhadap saya –sebagai seorang yang lebih tua yang sepatutnya memberi contoh kepada yang lebih muda—ketika melihat tulisan tersebut untuk mengonfirmasi maksudnya dengan “bertanya”, bukan berkomentar seperti itu.

Begitu banyak di luar sana orang yang menghujatnya, bahkan lebih dari itu mereka melakukan judgment, terlebih pada berita-berita soal kesyi’ian Dina yang massif disebar media-media Islam mainstream. Tapi apa Beliau melakukan hal yang sama terhadap mereka?? Melayangkan protes serupa terhadap media-media tersebut? Tidak menerima apa yang dituduhkan itu, menganggapnya hanya fitnah, berkomentar secara langsung dengan memosisikan diri sebagai korban terghibah dan terfitnah? Apa itu Beliau lakukan juga terhadap sekian banyak sunni yang memberikan pandangan tidak baik terhadap Beliau? Bukankah itu sudah biasa baginya?

Tentu pandangan miring yang menyatakan ketidaksukaan pada seorang tokoh sering terjadi, itu hal yang biasa, terlebih seorang tokoh sekontroversial Dina yang konon katanya “jika benar” dimusuhi oleh mayoritas penduduk Indonesia yang Ahlusunnah wal Jamaa’ah karena keberpihakannya kepada Syi’ah. Lantas mengapa harus ditanggapinya?? Tidakkah itu menunjukkan ketakutannya? Malah dari yang saya tahu itu (berkilah sebagai “terfitnah”) justru cara lama yang biasa dilakukan seorang Syi’I untuk menutupi ke-Syi’i-annya (bertaqiyyah). Memosisikan diri sebagai korban “terfitnah” ini terakhir kali saya dengar dari Kang Jalal ketika berbicara sebagai salah seorang nara sumber dalam debat Satu Meja di KompasTV pada Senin malam lalu (16/9/2013) ketika membahas rekonsiliasi kasus Sampang.

Mengapa Beliau tak bertindak sebagai seseorang bijak saja yang mampu memahami posisi saya, yang memahami “rasa” dari tulisan tersebut, terlebih jika Beliau membaca teks dalam kolom ke-dua sebelah kiri berjudul “blog ini…” pada blog saya yang menunjukkan bahwa memang saya ini seorang yang sedang belajar, dan blog ini merupakan tempat belajar bagi saya. Termasuk belajar untuk menjadi seorang yang berpikiran dewasa. Kan Beliau itu seorang penulis yang baik, mengapa Beliau tak bisa memahami “rasa” sebuah tulisan??

Dan, mengapa pula bukannya komentar tersebut berisi klarifikasi tentang ketidakbenaran apa yang saya tulis? Toh yang saya sebut sebagai analisis pada Siapa Dina Y. Sulaeman (2) itu sama sekali bukan analisis tajam, melainkan hanya mengandalkan wawasan saya yang terbatas.

Beliau tak mungkin tak membaca dari catatan tersebut bahwa yang saya inginkan dan tunggu-tunggu sejak dulu itu sebenarnya: pernyataan jelas dan tegas dari Beliau bahwa “Saya BUKAN seorang Syi’i.. Ya, menolak tuduhan tersebut mentah-mentah. Itu saja yang saya inginkan. Tidak lebih. Simpel kan? Dengan begitu tidak akan ada lagi pandangan miring terhadap Beliau yang menuduh demikian, atau apa yang Beliau sebut sebagai “tuduhan sektarian” itu. Tapi pertanyaannya, mengapa itu seperti sangat sulit dilakukannya??? Jika Beliau ingin membersihkan nama baiknya dari apa yang disebutnya sebagai fitnahan itu, seharusnya penolakan itu dilakukannya sejak awal. Mengapa Beliau terus mempertahankan pandangan buruk publik atasnya itu? (Tapi dari sekian banyak tulisannya yang saya kumpulkan, tidak pernah ada saya temukan kalimat yang seperti itu).

Bahkan lebih dari itu, karena apa yang saya tulis, Beliau berreaksi dengan menulis sebuah artikel berjudul “Kekuatan Blogger” di blognya dinasulaeman.wordpress.com beberapa saat setelahnya (setelah menulis komentarnya pada tulisan saya) yang mencaci saya sebegitunya hanya karena saya masih belajar. Koq bocah seperti saya beliau tanggapi seperti itu ya?! pikir saya. Kan lucu --,--“ (Sama tak lucunya dengan bila Dina marah-marah terhadap anaknya saat diajak ngobrol soal konspirasi kemakmuran dan labil ekonomi yang terjadi di Suriah karena si anak gak ngerti-ngerti).

Bagaimana bisa seorang sekaliber Dina Y. Sulaeman menanggap tulisan sesederhana itu –oleh “bocah yang tak ngerti apa-apa” seperti saya--? Saya jadi tak habis pikir.

Capaian barang 1000 kunjungan pembaca saja dalam sebulan tentu tak seberapa jika dibandingkan dengan situs-situs lain yang mampu memeroleh jumlah itu hanya dalam hitungan harian atau bahkan jam, termasuk blog Dina berisi Kajian Timur Tengah yang tak mungkin sepi pengunjung.

Kejadian ini tak henti-hentinya membuat saya menggeleng kepala dan tersenyum geli. :D

Wallahu A’lamu bish-Shawaab. Arina l-haqqa haqqan wa rZuqnaa t-tibaa’ah wa arinaa l-baathila baathilan wa rZuqnaa jtinaabah. Semoga Ibu Dina yang terhormat mau mengabulkan keinginan saya yang masih belajar ini. Aamiin..

biarkan terbang

Rabbiy, izinkanlah energi positifMu senantiasa mengalir bersama tiap-tiap sel darah merah dalam tubuhku, melewati setiap milinya sehingga energi itu akan senantiasa mengiringi setiap hela nafas serta serat-serat otot kakiku untuk berlari kencang kemudian terbang mencari cintaMu,,,,